Alina menatap pantulan dirinya dengan jijik. Pasti sekarang mereka mengira dirinya wanita murahan dan hina. Bertunangan dengan putra pertama, tapi malah ketahuan tidur dengan putra kedua. Benar-benar memalukan. Entah mau Alina taruh dimana wajahnya ini. Rasanya ia ingin menghilang saja dari tempat ini.
"Bodoh kamu Alina, kok bisa-bisanya kamu terjebak seperti ini. Bagaimana bisa kamu tidur seranjang dengan Rimba. Bodoh! Bodoh!" gerutu Alina di dalam hati, mengumpat dirinya sendiri.
Alina kembali mengingat-ingat kejadian semalam. Ia datang ke rumah keluarga Yudha Tama setelah menerima pesan singkat dari Abas. Anehnya, dia tidak bertemu dengan Abas melainkan Rimba. Lelaki yang selalu berbicara sinis dan ketus padanya. Alina sudah merasa aneh dengan sikap baik yang ditunjukkan Rimba padanya.
Sekali lagi, Alina mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padanya dan Rimba. Namun sayangnya, otaknya yang biasanya cerdas serta cepat nangkap, kini tiba-tiba berubah menjadi bodoh dan tak mampu mengingat apa pun selain perdebatan kecil diantara mereka.
Untuk pertama kalinya, malam tadi Rimba mengomentari hubungan asmaranya dengan Abas kakaknya.
#Flashback#
Alina berjalan tergesa-gesa memasuki rumah yang sudah biasa ia masuki selama lima tahun ini. Selama mengenal Abas, Alina terbiasa datang ke rumah ini. Ia juga dekat dengan Mama, Papa Abas, serta para pelayan yang ada di rumah ini juga sudah menganggap Alina sebagai nyonya muda di kediaman Yudha Tama.
"Mas! Mas Abas!" panggil Alina. Namun tak ada satu pun sahutan. Alina mengerutkan keningnya. Suasana rumah yang sepi membuat ia semakin bingung. Bukannya tadi Abas mengirimkan pesan untuk datang ke rumahnya. Lalu kemana pria itu sekarang?
Volume televisi yang tiba-tiba membesar membuat Alina mengerutkan keningnya dalam. Gadis cantik itu melangkahkan kakinya perlahan ke arah ruang tamu. Dari balik sofa itu ia melihat ada seseorang yang sedang duduk santai.
"Mas ..." ucapan Alina terpotong saat melihat siapa pria yang berada di sana.
"Selamat malam," sapa Rimba dengan senyum manis. Pria itu meletakkan kuaci yang sedari tadi ia makan ke atas meja. Sampah kuaci yang berkumpul begitu banyak di atas meja. Cukup memberitahukan bahwa pria itu sudah lama duduk di situ.
Degh.
Alina terkejut. Untuk pertama kalinya Rimba tersenyum padanya. Sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya di rumah ini hingga detik ini. Pria itu selalu bersikap dingin padanya. Untuk sesaat Alina terpesona dengan wajahnya yang tampak lebih tampan jika seperti ini.
"Ternyata Monster dingin ini bisa juga tersenyum manis. Aku pikir hanya marah dan berkata ketus saja. Tapi ngomong-ngomong, senyumnya manis juga," batin Alina lagi-lagi berucap.
"Dimana Mas Abas?" tanya Alina setelah ia sadar dari pikirannya yang salah. Mengagumi senyuman calon adik ipar adalah sebuah dosa kecil yang baru saja ia lakukan. Rimba tersenyum kecut menanggapi pertanyaan gadis itu.
"Barusan saja pergi ke luar. Katanya ada sedikit urusan penting. Ia berpesan padaku, jika kamu datang. Kamu tunggu dia sebentar, dia pergi nggak lama." jawab Rimba datar. Alina yang risih dengan tatapan mata Rimba yang dingin, memilih untuk beranjak dan berencana menunggu Abas di ruang tamu.
Sebenarnya wajah Rimba tampan dan gagah, bahkan lebih tampan dari Abas kekasihnya. Hanya saja sikap dingin dan perkataannya yang ketus membuat Alina tak suka.
"Mau aku buatkan minuman, biar lebih hangat. Cuaca di luar dingin jika kamu berencana menunggunya di ruang tamu," tawar Rimba membuat Alina menghentikan langkah kakinya. Alina menoleh sambil menatap Rimba dengan bingung. Untuk pertama kalinya, pria itu berinisiatif dan berlaku baik padanya.
Biasanya selalu wajah tak bersahabat itu saja yang ia tunjukkan padanya. Sangat bertolak belakang dengan Abas yang lemah lembut, yang membuat Alina suka.
Alina tak menjawab, ia lebih memilih untuk melangkah kembali. Tak butuh waktu lama, Rimba hadir di hadapannya membawa dua gelas minuman di tangannya. Segelas kopi serta segelas teh lemon yang hangat. Lagi-lagi Alina melipat dahinya dalam. Sejak kapan pria itu tahu jika dirinya menyukai teh lemon hangat di cuaca yang dingin.
"Ada apa? Kenapa mukamu aneh gitu? Jangan terlalu senang dulu. Kak Abas yang berpesan padaku. Jika kamu datang, berikan teh lemon hangat ini sambil menunggu kedatangannya," ujar Rimba.
Mendengar nama Abas, senyum Alina terkembang. Tanpa rasa curiga sedikit pun, gadis itu meminum minumannya secara perlahan. Hingga rasa kantuk menyerang begitu hebat. Alina mengucek matanya, namun rasa kantuk yang tak tertahankan membuat ia memejamkan mata.
Rimba yang melihat Alina mulai tertidur, ia menjadi tersenyum melihat wajah cantik itu sebentar lagi akan menjadi miliknya. Ia mengangkat tubuh Alina membawanya ke kamarnya. Menutup pintu lalu meletakkan tubuh gadis itu di ranjang.
Ia mulai menjalankan rencananya, membuka kemeja gadis itu dan memberikan beberapa bercak kemerahan di leher dan dadanya. Setelah itu menutup tubuh gadis itu dengan selimut tanpa sedikit pun menyentuhnya lebih lanjut. Tanda merah yang ia ciptakan hanya sebagai jejak agar tampak menyakinkan saja.
Walau akhirnya efek dari semua itu, ia harus rela berjam-jam di kamar mandi hanya untuk meredakan sesuatu yang mulai muncul dan membuncah di tubuhnya. Seperti letupan-letupan yang begitu menyiksa, dapat ia normalkan hanya dengan bermain solo di kamar mandi. Jika tidak bisa dipastikan dirinya akan mengalami migrain semalaman.
Rimba bukanlah pria sebejat itu yang tega merampas kehormatan seorang wanita hanya untuk kenikmatan sesaat. Apalagi wanita yang sangat ia sayangi.
#Flashback end#
~Love trap for you!~
Kini mereka semua sudah berkumpul di rumah tamu. Alina duduk dengan menunduk, tangannya saling memilin meredakan rasa gugup dan takut yang ia rasakan. Berbeda dengan Alina, Rimba justru duduk dengan santai. Wajahnya tampak berbeda dari biasanya, ia tampak bahagia. Membuat Abas semakin geram melihatnya.
"Jadi siapa yang ingin menjelaskan?" tanya Herman tajam. Memandang satu persatu wajah tiga orang anak muda yang terjebak cinta segitiga. Dua orang putranya mencintai satu orang wanita yang sama, Herman akui sungguh hebat pesona seorang Alina Aurelia Khanza.
Diantara semua wajah yang ada di rungan ini, hanya wajah Rimba yang tampak biasa, bahkan ia masih bisa bermain dengan ponselnya tanpa beban. Namun Herman menangkap semburat senyum kebahagian di wajah putra bungsunya itu.
Sementara putra sulungnya duduk dengan tangan yang terkepal dan tatapan super tajam penuh amarah. Seolah siap menguliti hidup-hidup dua orang yang tertangkap basah tidur bersama itu. Hal yang wajar jika ia marah, namun dibalik semua itu. Herman juga tak dapat menyalahkan alina 100%. Sebagai orang tua tentu Herman paham betul apa saja yang dilakukan Abas di luaran sana. Mungkin semua ini bagian dari karma yang pemuda itu harus jalani.
"Ma, Pa. Semua ini tidak seperti yang kalian lihat. Ini hanya salah paham. Aku juga minta maaf sudah membuat keributan di rumah ini aku tidak bermaksud demikian. Semua ini tidak seperti itu," ujar Alina pelan mulai menjelaskan.
"Rimba Daharyadika! Jelaskan maksud dari semua ini!" ujar pria paruh baya itu geram. Ia geram melihat sikap putra bungsunya tersebut.
"Jelaskan apa, Pa? Semuanya sudah jelas seperti yang kalian lihat. Kami tidur bersama!" jawabnya santai namun tegas.
"Brengsek!" Abas menggebrak meja dan langsung meninju keras wajah Rimba yang duduk tak jauh darinya.