webnovel

Love Story in Paris

Demien Wilton seorang Chef sekaligus pemilik hotel bintang 5 di Paris, memiliki kehidupan kelam. Di balik paras dan kepribadiannya yang digandrungi banyak kaum hawa, Damien menyimpan rahasia terbesar dalam hidupnya. Di sisi lain, ada Anabeth Carlyel, perempuan yang memiliki prinsip aneh --setidaknya bagi kebanyakan wanita di benua Eropa tersebut. Anabeth, bukan penikmat sex bebas. Ia menyakini, bahwa "keperawanan" wajib diberikan pada lelaki yang menyadang status suami baginya. Hal ini, tak terlepas dari masa lalu Anabeth yang kelam. Ia hampir saja menjadi korban pemerkosaan ayah tirinya sendiri. Dan, juga rasa sakit hatinya karena dihianati orang yang paling ia cintai.

Rara_el_Hasan · Sejarah
Peringkat tidak cukup
5 Chs

Bab 2

Cuplikan Cerita sebelumnya

Aku mengenalinya. Pria yang bersandar pada dinding lift, berkemeja putih dengan lengan yang digulung sampai siku, bersedekap itu Damien Wilton

Damien menunduk. Rapi sekali tampilannya. Gaya rambut slick back perunggu memberinya kesan dewasa yang matang. Jantungku berdebar. Oh, Ana ... bernapaslah.

---------- ---------- -------- -------- -------- --------

Author @Raraelhasan

Bab 2

Mr. Damien

          Bagian tubuhnya mana yang tak menarikku. Dari kemeja itu,  otot di bahunya menonjol, otot di dadanya pun seakan tercekik ingin meloloskan diri.  Tidak hanya perhatianku, tapi juga napasku. Dia mencurinya, membuatku sesak. Dari ujung kepala sampai kaki, tak ada minusnya.  Bolehkan aku mengamatinya seperti ini?  Dia bukan patung telanjang yang sedang dipamerkan dalam musium. Pakaiannya lengkap, dan aku sudah menerobos kain-kain itu dengan imajinasiku. Sadarlah! Aku tidak biasanya memandangi pria dengan begitu liar. Dan, sadarlah Ana kau tampak menggelikan dengan mulut mengangamu.

           Mungkin merasa diamati,  Damien Wilton yang sedari tadi setia dengan style tenangnya, mendadak mengangkat kepala. Bola matanya bergeser melirikku.

            Sialan, jantungku melonjak sampai ke mulutku. Aku yakin dia mendengar pekikanku,  dan keyakinanku terbukti dengan sudut bibirnya yang tertarik sepersekian detik,  dia menertawakan kabodohanku.

            Aku berusaha untuk membuat wajahku biasa saja,  jadi aku memandang ke lantai. Merasa pipiku sudah merah muda, dan kondisi tubuhku pastilah menampilkan gesture tak nyaman. Ah, semua wanita kurasa akan bertingkah seperti ini jika ada di posisiku.  Rela terlihat bodoh asal dapat menikmati mata hazelnut tenang yang menghanyutkan milik Damien Wilton. Kami sempat saling bertukar pandang meski tak lama,  matanya jernih dan berwarna terang.

            Sungguh,  aku yang biasanya tak akan terpengaruh,  kali ini harus takluk dengan pesona pria asing. Dari sekian banyak pria di Prancis, kenapa harus Damien yang mampu melelehkan tubuhku tanpa melalui sentuhan? Aku tidak mengenalnya. Dan sangat tidak mungkin bisa mengenalnya lebih dari ini.

              Ketidak nyamananku tertolong dengan pintu lift yang terbuka.  Aku tidak menolehnya dan bergegas keluar.  Berjalan cepat,  berusaha meninggalkannya di belakang.  Pintu masuk radio yang kebetulan masih terbuka, karena ada orang yang masuk sebelum aku, langsung kudorong tergesah.  Aku terengah sembari membungkuk dan memegangi lutut.  Ya,  Tuhan, aku tidak sedang menaiki roler coaster yang kutakutkan,  tapi kenapa adrenalin di tubuhku meningkat berlipat-lipat?

             "Ana?" Itu suara Grace,  resepsionis. 

             Saat aku mendongak,  melirik ke arah meja resepsionis,  Grace berdiri --sedikit membungkuk dari dalam mejanya untuk mengintipku. Kerutan dahinya tampak dalam.

             "Kau baik-baik saja,  Ana?" tanya Grace. Suaranya terdengar khawatir.

              Buru-buru aku menegakkan badan,  berdeham sekali,  lalu menatapnya diimbangi senyum.

              "Wajahmu merah sekali?" imbuhnya.

             Sontak aku menekan pipiku dengan kedua telapak tangan.  Cari alibi Ana,  apa pun itu.

           Aku terkekeh kecut. "Ya,  kau tahu ini awal  Juni."

          Grace mengerutkan kening.  Menuntut penjelasan  lebih rasional dari pada hanya sekadar musim panas. 

             "Ah, aku harus menemui Jems," tutupku, lantas melambai pada Grace dan bergegas pergi.  Untuk beberapa saat aku lupa pada Damien,  dan untuk detik selanjutnya, aku menyadari jika dia seharusnya masuk tepat setelahku.

             Aku mengamati pintu depan  dari balik partisi transparan pemisah lobi dan ruang tunggu.  Alam bawah sadarku bergerak impulsif,  menuntut untuk melihat kehadiran Damien  yang entah kenapa makin kuharapkan.

              "Andai Doroti tahu,  dia tidak akan percaya aku seperti ini," gumamku.

              "Tidak percaya apa?" suara Jems menghentakku.  Dia meletakkan dagunya di bahuku,  pandangannya berlari ke area lobi yang sepi. Sama sepertiku.

             "Jems!" Aku menggeser badan.  Sedikit menjauh. Aku tidak menyadari kehadirannya.

             Jems menatapku penasaran.

             "Apa yang kau lihat dan kau tunggu, Ana?" Suara seraknya terkesan curiga.

              "Tidak ada--" Kebiasaannku ketika terjebak dalam situasi canggung dan tak bisa kuatasi,  selain kabur seperti tadi,  juga mengalihkan pandangan dari lawan bicara.

             "Ah, ok ... kuharap kau baik-baik saja, karena lima menit lagi Mr. Damien akan datang."

              Tanpa komando kepalaku langsung menghadap Jems tak percaya. Lima menit lagi? Apa Damien kembali turun? Biarlah,  dengan begini aku bisa mengontrol diri.

              "Siapkan dirimu, An," pintanya sembari menujukku dengan telunjuknya yang bergerak seirama,  badannya memutar hendak pergi.  Sebelum kemudian dia kembali ke posisinya semula. Dia melupakan sesuatu. "Oh ya, kau sudah baca surel pertanyaan wawancara Mr. Damien yang kukirimkan semalam?"

             Aku mengangguk cepat.

            "Sebelum memulai siaran,      sekretarisnya memintamu menyeleksi pertanyaan bersama Mr. Damien."

              "Aku?! Berdua saja?" Aku tidak percaya mengatakan hal itu. Otakku benar-benar terisi penuh oleh sosok Damien Wilton. Cukup sampai sini, Ana! Atau kau ingin Jems atau yang lain berpikir kau sangat tertarik pada Damien,  bahkan sebelum kalian sempat bertemu.

              Jems menyipitkan mata. Dia menuduhku.

              "Apa yang kau harapkan,  An? Sekretarisnya akan bersamanya."

              "Itu yang kuharapkan. Sangat tidak nyaman berbicara berdua."

              Jems mengangguk paham.

             "Kerjakan dengan baik,  An."

             "Kau selalu mengenalku,  Jems." Aku tak percaya dia masih meragukanku --meski sudah hampir satu tahun kami bekerja satu atap.

            "Ya, kau tidak akan merusak tampilan cantikmu kali ini." Dia memujiku. Aku memerah, tapi tidak terbakar seperti saat bersama Damien Wilton.

              Lima menit yang dijanjikan berlalu.  Damien konsisten datang setelahnya. Bersama pria serba hitam yang kulihat di lift tadi, yang kuyakini sebagai sekretarisnya. Mereka masuk ke dalam ruang rapat bersama Jems.  Sialan,  jika diamati dari jarak dekat seperti ini, Damien tampak makin seksi. Lagi-lagi aku memerah.

            "Ini, Anabeth Carylel, yang akan mewawancarai Anda dalam siaran radio nanti." Jems memperkenalkan.

            Aku berdiri, menyambut mereka. Tanganku terulur. Meski berusaha menekan hasrat dalam diriku yang seakan siap menerkamnya, aku mencoba menguntai senyum normal. 

Jangan terlihat memalukan, Ana , itu yang kutekankan pada diriku.

            "Damien Josh Wilton  panggil saja Damien." Bibirnya bergerak lincah,  tangannya terulur menyambutku. 

            Dan, saat permukaan kulit kami bersentuhan, listrik statis itu menyengatku, membuatku terdiam,  sejenak.  Sebelum kemudian suara Damien yang berat membangunkanku kembali. 

           "Senang bertemu denganmu untuk kedua kalinya, Miss Carlyel."

           "Ah, senang bertemu Anda.  Silahkan duduk Mr. Wilton."

          Dia mengangguk, lalu duduk. Kami saling berhadapan. Hanya terbatasi meja kaca panjang.

          "Seperti yang Anda inginkan,  saya akan memberikan daftar pertanyaan untuk nanti Mr. Wilton. Silahkan melingkari pertanyaan yang tidak Anda setujui," terangku. Daftar pertanyaan kusodorkan padanya.

           Damien mengambil lembar kertas itu,  membaca sekilas halaman depan,  lalu membalik halamannya. Membaca dengan teliti pertanyaan-pertanyaan pada halaman kedua. Sesekali dahinya mengernyit,  matanya menyipit, lalu dari balik bulu matanya itu, dia melirikku.  Adakah yang salah dari pertanyaannya? Aku mendesis cemas dalam hati.

             "Mark?" Suaranya mengalun datar. Pria berpakaian serba hitam yang sejak tadi berdiri di belakangnya, sedikit membungkukan badan. Dia  menanggapi perintah dengan begitu hormat.

          "Bisa tinggalkan kami?"

           Tinggalkan kami? Artinya aku hanya berdua saja dengan Damien di ruangan ini. Mendadak aku kehabisan napas.

          "Yes, Sir," ucap pria yang baru kuketahui bernama Mark tersebut.

          Kuikuti pergerakan Mark sampai tertelan pintu. Setelahnya, perhatianku kembali pada Damien yang tanpa kusadari terus menatapku. Apakah sejak tadi dia mengamatiku? Buang mimpimu, Ana. Bisa jadi ada yang salah di wajahmu. Dandananku? Terlalu berlebihan? Sekonyong-konyong aku mengusap-usap bibirku menggunakan ibu jari kananku.

          "Bisakah aku meminjam pena?"

           Bersyukurlah kau tidak terlalu percaya diri, Ana.  Dia menatapamu hanya ingin meminjam pena.

            Buru-buru aku mengeluarkan pena dari dalam tas dan menyerahkannya pada Damien.

           "Terima kasih," ucapnya.

            Kembali, dia larut membaca pertanyaan.  Pena yang terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya ia goyangkan seirama. Percayalah,  Damien Josh Wilton akan semakin memesona jika serius begini.

            "Aku tidak setuju dengan pertanyaan nomor lima," ucapnya.

             Aku tergesah mengangkat daftar pertanyaanku, mencari poin lima lantas membacanya dalam hati. "Apa benar keluargamu tewas dalam kecelakaan?" itu pertanyaannya.

             "Aku tidak ingin kehidupan pribadiku atau pun keluargaku menjadi konsumi publik,  bisakah kau memahami itu?"

              "Ah, ya ... tentu saja.  Kita akan melewatkannya," ujarku menyetujui. Dan dia menghadiahiku senyum singkat.

                "Ada lagi yang kau permasalahkan?" imbuhku.  Dia mengangguk. Aku mengikuti pergerakan jemari panjangnya membalik lembar pertama.

                Dia tampak keberatan pada suatu hal. 

                Lalu,

               "Gay?!" Dia mengutarakannya lantang. Bola matanya berakomodasi.

               Oh, Tuhan ... Apa ada pertanyaan itu?  Ataukah aku melewatkannya.

Kudapati dia mengangkat kepala.  Pandanganya mengancamku. Posisi tubuhnya yang rileks, langsung terbusung tegak. Dia marah? Oh,  Ana ... kau sudah membuatnya marah.

            "Kau berpendapat begitu, Miss Carlyel?  Terlihat seperti itukah aku?"

              Apa yang harus kujawab? Aku mesti menolaknya.

             "Kurasa tidak.  Kau terlihat normal Mr. Wilton.  Pertanyaan itu kami dapat dari survei pendengar. Mungkin karena kau tidak pernah terlihat menggandeng seorang wanita, mereka  mengaggapmu gay, ah, maksudku kau bisa saja memiliki orientasi seks yang berbeda."

             Damien memiringkan kepalanya ke satu sisi, telunjuk tangan kirinya menyeka bibir, sedang ibu jarinya menekan dagu. Ya, ampun ...  sedang apa dia?  Berusaha menggodaku?  Begitukah caranya menyangkal pertanyaan itu?

           "Aku tidak,  Ana ... aku bisa membuktikan itu."

             Aku memekik samar.  Benar-benar terkejut dengan penyangkalannya. Kemudian yang terjadi dengan tubuhku setelahnya, sungguh  di luar dugaan. Otakku mengarang  bayangan liar yang tak pernah kualami sebelumnya. Pahaku merapat tiba-tiba. Lalu tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku.

           Damien menyeringai. 

           "Kau menggigit bibirmu, Ana?" Aku kepergok.

           Kulepaskan belenggu di bibirku. Aku Menarik napas dalam-dalam, lalu mencoba bersikap normal.  Amat malu dengan tingkahku sendiri.

           "Bisa kita kembali kepembahasan?" Itu pengalihanku.

             Damien mengedikkan bahu.

             "Sejauh ini tidak ada lagi yang kupermasalahkan.  Kau bisa mengajukan sisanya saat kita bertemu nanti." Setelah itu Damien beranjak dari duduknya.  "Bisa aku keluar?" izinnya.

              Aku pun lantas berdiri, mengikutinya.

             "Tentu, terima kasih."

             "Sampai jumpa, Ana." Suaranya dengan lembut menekan namaku.

             "Damien." Pertama kalinnya aku memanggil namanya tanpa formal. 

             Kami menukar pandangan tajam beberapa saat.  Lalu sebuah senyum nakal jelas dia lemparkan padaku. Aku menegang. Mengekori  tubuhnya tanpa berkedip. Sungguh,  dia sudah memicu minatku.

***