webnovel

LOVE IN A JOURNEY

Apa jadinya jika warga sipil terjebak dalam pertempuran sengit antara pasukan keamanan negara dan kelompok separatisme?  Demi menemukan sang kakak yang hilang ketika kontak senjata terjadi, Dean seorang mahasiswa IT melakukan perjalanan ekstrim bersama Rain, tunangan sang kakak. Petualangan menerobos hutan dengan medan sulit, juga bahaya besar dari para pemberontak yang kejam membuat perjalanan keduanya begitu menegangkan. Niat tulus Dean mencari sang kakak, diuji ketika perasaan aneh mulai merambati hati, sosok Rain yang mampu menghangatkan dingin jiwanya sungguh membuat Dean tertekan dan merasa bersalah pada kakaknya. Akankah Rain menyadari perasaan Dean? Dapatkah Dean menemukan kakaknya, sementara nyawanya sendiri terancam?

Chea_Raa · perkotaan
Peringkat tidak cukup
17 Chs

Bab 5 — Persiapan

"Kimi! Cepatlah." Nada bicara Rain sudah mulai meninggi, kontan hal yang sangat jarang terjadi ini membuat Kimi semakin ketakutan. 

Ia segera berlari ke dapur dan mengambil satu kantong besar makanan. Dengan nafas terengah -engah perempuan berusia tujuh belas tahun itu kembali masuk ke dalam kamar Rain. "Ini, Miss."

Rain mengangguk dan menyuruh Kimi memasukkan ke dalam tas.

 "Kimi, berjanjilah kamu tidak akan menelpon papa atau mama sebelum aku pergi." 

Air mata Kimi tidak bisa dibendung lagi, tangan yang sedang menjejalkan berbungkus -bungkus makanan ke dalam ransel itu bergetar. Ia tidak ingin Rain pergi, tapi juga tidak berani membantah majikan yang sudah menolongnya selama ini. 

Kimi tidak bisa menyanggupi ataupun menolak permintaan Rain, karena baginya hal itu sangat sulit untuk dipilih.

Rain menyentuh pundak Kimi, berusaha untuk meyakinkan gadis belia itu agar menuruti permintaannya. "Kimi, aku mohon. Gabriel sangat membutuhkan bantuanku. Kau tahu betapa kami saling mencintai."

Kimi masih belum mampu menjawab, air matanya jatuh semakin deras. 

Kali ini Rain duduk di depan Kimi, hanya berjarak sebuah ransel merah muda. "Aku tidak ingin kehilangan Gabriel, bagaimanapun caranya aku harus bisa menemukan dia. Tolong Kimi, kalau sampai orang tuaku tahu rencana ini mereka akan memblokir semua akses perjalananku."

Tentu saja orang tua Rain mampu melakukan semua itu, mereka adalah orang yang berpengaruh dalam dunia bisnis maupun pemerintahan. Orang tua Rain bisa meminta bandara untuk Melakukan pembekuan izin terbang bagi putrinya, pemblokiran akun perbankan Rain dan pengawasan ketat oleh bodyguard ataupun kepolisian. 

Akan sangat sulit baginya keluar dari rumah maupun wilayah Neopolis kalau sampai orang tuanya tahu tujuan Rain mencari Gabriel.

"Kimi, aku mohon. Bantulah aku kali ini saja, simpan rahasia ini hanya sampai nanti malam. Saat orang tuaku pulang."

Kimi tidak sanggup menolak permintaan Rain, saat melihat betapa kacaunya wajah majikan cantiknya. Mata sembab dan tubuh yang semakin kurus karena sejak beberapa hari yang lalu Rain jarang sekali makan.

Suara Kimi masih bergetar, dia berusaha bicara di sela isak tangis. "Berhati -hatilah Miss. Saya akan selalu berdoa untuk keselamatan anda dan Tuan Gabriel."

Ujung bibir Rain terangkat, mata indahnya berbinar. Ia memeluk Kimi dengan hangat. "Terima kasih Kimi." 

Setelah semua barang bawaan siap, Rain langsung menuju bandara. Sesampainya disana ia meninggalkan begitu saja mobilnya di parkiran bandara.

Rain berlari untuk mengejar pesawat yang hampir boarding beberapa menit lagi. Suasana bandara yang cukup ramai dan penuh orang -orang berlalu lalang, membuat langkahnya beberapa kali terhenti. Apalagi dengan menggendong ransel yang cukup berat, gadis berhidung mancung itu sedikit kesulitan.

"Jangan khawatir, Gabriel. Aku akan segera datang," gumam Rain sambil terus berjalan menuju gate pemeriksaan barang.

Usai semua pemeriksaan dokumen, maupun barang bawaan dilakukan Rain segera diarahkan untuk naik ke pesawat. 

Akhirnya gadis itu bisa bernafas lega, kursi empuk pesawat menyambut tubuhnya yang lelah berjalan sejak tadi dengan sangat nyaman.

"Maafin Rain, Pa, Ma. Rain sayang kalian." Pelan suara gadis itu sesaat sebelum mematikan ponsel dan bersiap take off.

Perjalanan  udara selama satu jam lebih harus dilaluinya untuk sampai ke negara bagian De Charlotte. Setelah itu Rain harus menaiki kereta api menuju kota Chosce, kemudian berlayar membelah pantai New seattle. Dan harus dilanjutkan perjalanan darat selama beberapa jam hingga ke kaki gunung Laurelle.

Dari kaki gunung tertinggi di Chosce itulah perjalanan yang sesungguhnya akan dimulai. Rain tidak tahu seberapa berat keadaan yang menantinya, sesulit apa situasi wilayah konflik, serta medan terjal di pegunungan Laurelle.

Namun demi sebuah perasaan cinta yang tak berbatas, segala sulit dan bahaya akan ditempuhnya. Untuk Gabriel, lelaki yang sanggup merebut seluruh cintanya hingga tak tersisa untuk pria lain.

***

"Ayah sudah menghubungi Jenderal Norman, menurutnya misi pencarian sudah mencapai dua puluh persen di sekitar hutan. Setidaknya butuh dua minggu lagi untuk mencapai perbatasan."  Ayah Dean melepas kacamatanya dengan perlahan. Jari keriputnya mulai memijat kening yang terasa penat.

"Apa Gabriel akan baik-baik saja? Dua minggu itu lama sekali." Eve masih berusaha mengusap pipinya yang terus saja basah.

"Tentu saja, Gabriel anak yang cerdas dia pasti bisa mengatasi ini, Norman juga sudah berjanji akan membantu kita dengan maksimal." Suara William terdengar ragu, namun dia berusaha keras meyakinkan Eve agar istri yang amat dicintainya itu tidak terlalu panik.

Sementara Dean masih berdiri di ambang pintu, menimbang tentang informasi INF tadi. Akankah ia sampaikan pada orang tuanya atau tidak. Nyatanya mulutnya seperti terkunci rapat, ketika melihat wajah lesu kedua orang yang duduk di sofa itu.

Dean memilih untuk tetap menyimpannya sendiri, dia meneruskan langkah menuju kamar. Tanpa kata-kata, hanya tatapan mata yang saling bertemu dengan sang ayah. Seolah mereka tengah bertukar kesepakatan untuk merahasiakan kebenaran ini dari Eve.

Pria bertinggi 183 cm itu tengah sibuk memasukkan bekal makanan yang baru dibelinya dari swalayan, ketika William masuk ke dalam kamarnya. "Kamu mau kemana?"

Dean tidak menghentikan aktivitasnya, dia masih menjejalkan beberapa buah kering dan makanan instan dalam carrier bag biru yang telah menemaninya mendaki tiga tahun belakangan ini.

William memegang bahu Dean, seolah memaksa anak itu menjawabnya. 

Dean menoleh pada ayahnya. "Hanya tracking biasa."

William duduk di tepi ranjang, memperhatikan Dean yang kembali sibuk memilih kaos kaki dan pakaian.

"Aku kenal Terriot Kolvgan. Kami pernah satu tim di misi pembebasan New Roulle, dia orang yang disiplin dan penuh perhitungan."

Ucapan pensiunan tentara itu sontak membuat Dean sedikit kaget karena menyebut nama pemimpin FRD, ini memberi tanda jika ternyata ayahnya tahu tujuan Dean yang sebenarnya.

"Norman sudah menurunkan pasukan khusus, kita tunggu saja kabar darinya." 

"Jadi, ayah sudah tahu?"

William mengangguk. "Aku mantan tentara, Nak. Aku paham situasi seperti ini."

Dean menatap ayahnya, memperhatikan wajah yang dulu terlihat tampan dan gagah dengan seragam hijau kebanggaannya. "Tetap saja, aku harus pergi. Ayah."

"Jangan gegabah." William berusaha mengubah pendirian Dean, dia tahu betapa mengerikannya situasi di tempat konflik. Nyawa sama sekali tidak berharga, karena tujuan pemberontakan ada dia atas segalanya.

Dean tak ingin berdebat dengan William, karena dia tahu tak akan ada gunanya selain merentangkan jarak antara keduanya semakin jauh. Selama ini hubungan anak bapak itu kurang baik, karena Dean yang enggan menuruti keinginan orang tuanya untuk menjadi tentara atau dokter.

Dean tidak seperti Moreno atau Gabriel yang dengan taat menjalankan cita-cita yang dipilih William. Pemuda beriris coklat itu tetap pada keyakinannya untuk mendalami dunia teknologi komputer.