"Dengar-dengar, Arkan juga sekolah di sini."
"APA?" Lusi memekik sembari berdiri dari duduknya. "Kenapa kau baru mengatakannya hari ini? Bagaimana jika dia melihatku dan mengetahui semuanya?"
Keke menghela napas, meraih kedua bahu Lusi dan memintanya untuk kembali duduk. "Memangnya kau tahu, dia mengambil jurusan apa?"
"Tidak."
"Dan tidak mungkin kan, pria seserius Arkan berada di fakultas yang kau datangi?"
Helaan napas Lusi sampai terdengar oleh kedua telinga Keke. "Kau benar. Bisa saja dia berada di fakultas mesin atau matematika. Di dalam diri Arkan, aku tidak melihat ada darah seni atau yang berkaitan dengan Sastra."
"Ya sudah. Apa lagi yang kau takuti? Lebih baik kita lanjut bersiap. Sebentar lagi acaranya akan segera dimulai."
Lusi mengangguk dan kembali merias wajahnya di depan cermin. Perasaannya yang gugup, membuat wajah Lusi sedikit pucat. Dia memilih lipstik berwarna merah muda yang Keke bawakan dengan sengaja sebagai persiapan.
Kedua wanita itu menoleh, tatkala mendengar suara ketukan pintu dari luar.
"Masuk!"
"Loucy, acaranya sudah mau dimulai. Kalian bisa pergi sekarang," ucap salah satu staff yang mengkonfirmasi penjadwalan.
Lusi mengangguk dan merapikan kembali pouch make up tersebut. Dia berdiri, menghirup udara sebanyak-banyaknya dan mengembuskannya pelan.
"Jangan gugup. Aku akan duduk di barisan paling depan untuk melihatmu."
"Aku sudah tidak gugup. Kau tenang saja."
Keke mangusap bahu Lusi. Memberi rasa hangat sekaligus menyalurkan rasa percaya diri yang ada di dalam dirinya.
Pintu utama gedung olahraga dibuka oleh salah satu staff. Lusi dan Keke berjalan masuk, lalu berpisah karena Keke pergi ke kursi penonton.
Kedua lutut Lusi terasa sangat lemas. Dia tidak berani menoleh ke arah barisan peserta seminar yang sudah bertepuk tangan dengan meriah.
'Mereka terlalu berlebihan,' batin Lusi.
"Silakan duduk, Loucy," ucap pembawa acara yang tidak Lusi ketahui namanya.
"Selamat pagi semuanya. Senang sekali rasanya, karena hari ini kita kedatangan penulis yang digemari oleh mahasiswa di kampus ini."
"Terima kasih," ucap Lusi, sambil tersenyum.
"Terima kasih, Loucy, karena sudah meluangkan sedikit waktu di tengah kesibukanmu. Perkenalkan, namaku Aurel, pembawa acara hari ini."
"Terima kasih, Aurel dan teman-teman semua. Seharusnya aku yang berterima kasih, karena kalian sudah menyambut kedatanganku dengan semeriah ini." Lusi tersenyum dan baru berani menatap seluruh penonton yang jumlahnya diluar ekspetasi.
"Baik, Loucy, silakan perkenalkan dirimu secara resmi di sini."
"Terima kasih, Aurel. Halo semuanya, namaku Loucy Aldis Delina. Atau yang akrab dipanggil Lusi," ucap Lusi. Senyumnya selalu mengembang, dan sepertinya ia sudah mulai terbiasa.
"Lusi, apa saja karyamu yang sudah dipasarkan di masyarakat?" tanya Aurel, seperti para pembawa acara lainnya.
"Untuk sejauh ini baru tiga yang terbit. Yang pertama adalah Cinta Yang Hilang, yang kedua Jodohku Bukan Jodohmu, dan yang terakhir, ini baru saja terbit tiga hari yang lalu, berjudul Para Pencari Cinta."
Suara tepuk tangan kembali terdengar riuh. Lusi sampai tidak percaya, ternyata masih ada orang yang menyukai buku bacaannya.
"Wow! Lalu, apakah karya terbaru ini sudah tembus ke pasaran?"
"Sudah. Tapi kami mendahulukan pembelian melalui online. Mungkin kakak-kakak di sini ada yang sudah pernah membeli karyaku sebelumnya, pasti sudah tahu cara pembelian yang kami adakan."
"Baik. Lusi, apakah kau bisa menceritakan kisahmu kepada seluruh mahasiswa di sini? Untuk menjadikan motivasi mereka, karena jurusan dalam bidang ini sangat minim diminati. Bahkan setiap tahunnya, hanya fakultas Bahasa dan Sastra yang jumlah mahasiswa barunya paling rendah."
Lusi terdiam. Ia tidak tahu akan mengatakan apa. Karena sejujurnya, dia sendiri tidak pernah belajar dan masuk dalam bidang yang dimaksud oleh Aurel.
"Em.. aku tidak tahu akan mengatakan apa. Karena aku sendiri hanya menempuh pendidikan sampai tahap Sekolah Menengah Atas."
Keadaan mulai sedikit canggung. Banyak orang yang berbisik tentang Lusi. Mungkin mereka kecewa, karena orang yang selama ini mereka kagumi tidak memiliki basic pendidikan yang tinggi.
Lusi menautkan kedua tangannya. Sekarang ia benar-benar gugup. Lusi takut, jika semua orang kecewa terhadapnya.
"Oke, baiklah. Sekarang kita masuk ke sesi pertanyaan. Lusi akan menjawab pertanyaan yang kalian ajukan. Silakan yang ingin bertanya acungkan tangan."
Aurel dan Lusi saling menatap, ketika banyak sekali orang yang mengacungkan tangan mereka.
"Lusi, bagaimana kalau kau saja yang pilih?"
Lusi mengangguk pelan. Matanya mulai mengedar, lalu dia menunjuk seorang gadis yang mengenakan kaus berwarna putih.
"Silakan, kakak yang berkaus putih," ucap Aurel mempersilakan.
Gadis itu berdiri. Di tangan kanannya sudah ada mikrofon agar suaranya terdengar jelas.
"Aku ingin bertanya. Kau tidak pernah kuliah, lalu bagaimana caranya kau bisa menjadi seorang penulis? Bahkan buku-bukumu sangat laris terjual. Aku juga memilikinya satu." Gadis itu mengacungkan salah satu buku karya Lusi yang berjudul Cinta Yang Hilang.
"Terima kasih, atas kesukaanmu terhadap karyaku," ucap Lusi terjeda. "Baik, aku akan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh kakak tadi. Sebenarnya menulis dan menjadi penulis tidak dilihat dari segi pendidikan terakhir kita. Tapi aku melihat diriku yang ternyata memiliki bakat dan kesempatan dalam bidang ini. Aku bukanlah orang yang terlahir dari keluarga kaya raya, keluarga kami sangat sederhana."
"Lalu aku memutuskan untuk lebih menggali potensi yang sudah dimiliki. Mulai menekuni dunia kepenulisan dengan lebih serius, hingga akhirnya bertemu dengan orang-orang hebat yang sudah lebih berpengalaman dariku."
Suara tepuk tangan terdengar lebih meriah, bersamaan dengan berakhirnya kalimat atas jawaban Lusi.
"Terima kasih, Lusi, karena sudah menjawab pertanyaan. Selanjutnya."
Kini Lusi menunjuk seorang laki-laki yang terlihat sangat antusias. Laki-laki itu berdiri, sambil menyeka keringat yang mengalir di wajahnya.
"Perkenalkan, namaku Satria. Aku adalah penggemar beratmu," ucap lelaki itu sambil menjerit tertahan.
Lusi tertawa melihat antusiasme Satria yang luar biasa. "Terima kasih, Satria," ucapnya dengan tulus.
"Aku ingin bertanya. Mengapa kau tidak pernah memperlihatkan wajahmu di internet? Bahkan aku, yang sudah mengikutimu sejak pertama, baru bisa melihat wajah penulis yang aku sukai. Ternyata kau begitu cantik, Lusi!"
Lusi melirik Keke yang tengah menertawainya. Dia sepertinya sangat senang, melihat Lusi dikagumi sampai seperti ini.
"Silakan dijawab, Lusi."
"Baik. Terima kasih Satria, atas pertanyaannya. Kau sangat antusias sekali."
Semua orang yang ada di dalam ruangan itu tertawa. Ekspresi Satria ketika mengatakannya sangat lucu dan sangat senang.
"Aku memang tidak suka mengekspos diri. Aku juga sebenarnya malu untuk bertemu kalian. Aku juga tidak pernah mengadakan sesi tanda tangan atau peluncuran buku baru. Semuanya aku lakukan secara tertutup yang hanya dihadiri oleh orang-orang yang terlibat saja."
"Mengapa? Padahal kau cantik. Untuk apa malu bertemu publik?" tanya Aurel, membuat Lusi menoleh.
"Karena... karena pandangan orang lain yang sangat berbeda kepada kami, para penulis." Lusi terdiam. Dia tidak percaya, pada akhirnya ia akan mengatakan semua ini di depan ruang publik.
"Pandangan berbeda seperti apa yang kau maksud?"