Pagi kembali menyapa. Tidak terasa hari berjalan dengan begitu cepat. Lusi kembali dengan aktivitas seperti biasanya. Sudah cukup ia bermain dan meminum kopi di beberapa tempat yang belum pernah Lusi kunjungi sebelumnya.
"Keke, apa kau sudah siap?"
"Sebentar!"
Lusi duduk di depan meja pantri sembari mengecek kembali pekerjaan yang akan ia perlihatkan pada Arman. Ditemani oleh secangkir kopi dan dua potong roti bakar yang ia buat sendiri.
Tidak tahu kenapa, pagi ini Lusi sangat produktif sekali. Mungkin karena ia merasa telah terlalu lama menenangkan diri.
Keke yang baru saja keluar dari kamarnya langsung duduk di hadapan Lusi. Menyesap susu putih yang sudah dibuatkan oleh sahabat terbaiknya dan menggigit sepotong roti bakar.
"Kau masih mengecek apa lagi?"
"Semuanya. Aku tidak ingin ada yang terlewatkan. Jika boleh mengatakan yang sebenarnya, aku ingin segera menerbitkan buku ini, Keke. Agar aku segera mendapatkan jodoh."
Keke yang sedang mengunyah seketika menghentikan gerakan mulutnya. "Kukira kau lupa dengan rencana bodohmu itu," ucapnya pelan.
"Mana mungkin aku lupa. Kau tahu, itu adalah rencana terbesarku. Aku tidak sabar ingin segera bertemu dengan pria yang akan menjadi kekasihku. Aku ingin kembali menikmati indahnya cinta seperti dulu."
Keke hanya mengangguk perlahan. Ia masih ingat ketika Lusi menceritakan kisah masa lalunya yang menyedihkan. Di mana wanita itu diselingkuhi oleh mantan kekasihnya.
Keke sempat bertanya, memang seperti apa wajah mantan kekasih Lusi, dan ia sangat terkejut setelah melihat foto yang ditunjukkan wanita itu.
Tidak berniat untuk body shaming atau menghina ciptaan Tuhan. Namun Keke selalu merasa, kenapa lelaki seperti ini masih tidak bersyukur? Padahal Lusi sangat cantik dan baik, tapi pria bajingan itu justru memilih pergi dengan wanita lain.
"Jangan terburu-buru, Lusi. Semua yang kau inginkan akan segera terwujud. Hanya saja, kau harus lebih bersabar sedikit lagi."
Lusi menutup laptop dan menghabiskan sisa susu di dalam gelasnya. "Sudahlah, lupakan sejenak urusan percintaan. Saat ini waktunya kita bertemu Mas Arman."
Kedua wanita itu bergegas pergi. Setengah jam lagi Arman pasti akan datang ke tempat biasa yang telah mereka tentukan sebelumnya.
Lusi menutup pintu rumahnya dan menyusul Keke yang sudah berdiri di depan pintu lift. Wanita itu menoleh sekilas ke arah rumah Arkan yang terlihat sangat sepi. Mungkin pria itu sudah pergi lebih dulu darinya.
Keduanya sudah berada di dalam lift. Sembari menunggu, Keke dan Lusi berbincang seperti biasanya. Mengobrolkan sesuatu dari hal yang penting sampai tidak penting.
Tidak memerlukan kendaraan mewah untuk menemui Arman. Kedua wanita itu hanya perlu berjalan kaki beberapa ratus meter dan akhirnya sampai di Morning Cafe. Tempat biasa mereka bertemu.
"Selamat pagi, Mas Arman," sapa Lusi sembari menjabat tangan Arman.
"Halo Lusi, Keke. Silakan duduk." Mereka bertiga duduk saling berhadapan. Di atas meja Arman, sudah terlihat beberapa kertas dan laptop dengan keadaan menyala.
"Jadi yang akan kita bahas hari ini adalah, revisi pertengahan ya, Lusi."
"Iya, Mas. Sebenarnya saya ingin segera menyelesaikan revisi ini, dan segera terbit."
"Sudah kubilang, jangan terburu-buru, Lusi," ucap Keke.
"Sebenarnya tidak masalah, jika kau ingin buku ini segera terbit. Tapi, kau harus segera menyelesaikan semuanya. Apa kau sanggup?"
Lusi mengangguk pelan. "Saya sanggup, Mas. Saya ingin buku ini terbit sebelum tanggal yang sudah ditentukan oleh pihak kalian."
"Oke. Kalau kau memang sanggup, aku tidak masalah. Tapi aku ingatkan, banyak penulis yang tidak memikirkan dirinya sendiri hanya demi semua ini. Aku juga pernah mendengar dari Keke, bagaimana pola tidurmu selama ini."
Lusi menoleh ke samping dan menatap Keke datar. Sedangkan Keke, wanita itu bahkan berpura-pura menatap ke arah lain seolah sedang mencari sesuatu.
"Mas Arman tenang saja, saya tidak akan mengecewakan siapa pun.
Arman hanya mengangguk dan meminta Lusi untuk menyerahkan hasil pekerjaannya selama ini.
Mereka bertiga mulai fokus dengan pekerjaan yang dikerjakan secara bersamaan itu. Selain mengedit naskah, Arman juga menanyakan tentang pembuatan cover.
Untuk buku yang akan terbit, tentu saja memerlukan sampul atau cover yang lebih menarik daripada sampul yang biasa digunakan dalam novel web, atau buku yang sudah lebih dulu Lusi terbitkan di salah satu platform.
"Saya sudah menemukan salah satu ilustrator terbaik, Mas. Coba Mas Arman lihat hasilnya." Lusi memperlihatkan ponselnya, menunjukkan profil salah satu ilustrator yang menurutnya terbaik di antara yang lain.
"Oke. Sepertinya dia sangat profesional. Hasil gambarnya juga halus dan tajam. Saya suka, dan kau juga pasti menyukainya."
"Ya. Saya sudah menyiapkan orang ini untuk membuat sampul buku saya. Jika Mas Arman setuju, saya akan segera menghubungi orang ini."
"Atur saja olehmu, Lusi. Aku tidak memiliki banyak waktu dan harus kembali ke kantor."
Lusi dan Keke mengangguk. Mereka berdiri dari duduknya.
"Terima kasih sudah meluangkan waktunya. Saya berharap semuanya akan berjalan dengan sesuai rencana."
"Terima kasih juga, Mas Arman. Dan hati-hati di jalan."
Setelah berjabatan tangan dan melihat kepergian Arman, Lusi akhirnya bisa bernapas lega. Ia tidak menyangka jika Arman akan memercayainya untuk menyelesaikan buku ini dalam waktu yang singkat.
"Lusi, apa kau yakin dengan rencanamu? Jika kau tetap mengikuti jadwal yang ada, mungkin kau memiliki banyak waktu dan bisa sedikit bersantai."
"Aku sudah beristirahat kemarin, Keke. Dan sekarang sudah saatnya aku bekerja lebih keras lagi."
"Lho, hai."
Kedua wanita itu menoleh ke samping. "Kau...."
"Ya. Aku Jevon, teman baik Arkan," ucap lelaki bernama Jevon sambil mengulurkan tangan.
"Aku Lusi, dan ini temanku Keke." Lusi meraih tangan Jevon dan mempersilakannya duduk.
"Kalian berdua sedang apa di sini?" tanya Jevon sedikit penasaran. Pasalnya, ia melihat beberapa kertas dan laptop di atas meja.
"Urusan pekerjaan. Kami bertemu klien di sini," jawab Keke mewakili. Ia tidak ingin Lusi keceplosan atau menimbulkan kecurigaan.
"Oh, begitu. Tempat ini memang cukup lumayan, tapi rasanya tidak senikmat di Evening Cafe."
Lusi menendang kaki Jevon dari bawah meja, hingga lelaki itu meringis kesakitan.
"Mengapa kau menendang kakiku?" tanya Jevon, dengan ekspresi wajah memelas.
"Kau tidak boleh berbicara sembarangan. Ini adalah daerah kekuasaan mereka, tidak boleh memuji tempat lain!"
Keke hanya memutar bola matanya malas. Dasar bocah!
"Aku minta maaf. Aku hanya mengatakan sebuah kejujuran," ucap Jevon.
"Lusi, aku ke toilet dulu."
"Biklah."
Kini hanya ada Lusi dan Jevon. Kedua manusia berbeda jenis itu saling menatap, namun tidak berbicara apa pun.
"Ada yang ingin kau tanyakan?" tanya Jevon.
"Sedikit. Aku ingin bertanya tentang hubunganmu dengan Arkan."
"Hubunganku dengan Arkan? Bukankah sudah jelas, kami hanya teman baik."
"Ya, aku tahu. Tapi waktu itu kalian berselisih di depan rumah----"
"Oh... kau jangan salah paham. Arkan hanya ingin mengusirku dari rumahnya."
"Mengusir?" tanya Lusi. Untuk apa Arkan harus mengusir Jevon? Bukankah mereka berdua teman?