webnovel

Kisah Masa Lalu

Tiga tahun yang lalu, seroang gadis berusia dua puluh dua tahun tengah merapikan tempat tidurnya. Ia baru terbangun lima menit yang lalu.

Sembari merapikan tempat tidur, tidak sengaja sudut matanya menangkap sebuah buku yang tergeletak di bawah kaki ranjang.

Ia meraih buku tersebut dan menatapnya lekat, lalu menghela napas berat.

"Kapan, ya, aku bisa bikin buku kayak gini? Aku juga ingin berkarya. Apalagi aku sangat suka menulis. Bagiku para penulis adalah para pencipta seni yang harus diberikan apresisasi juga."

"Lusi, kamarmu sudah rapi?"

Dengan cepat Lusi menyembunyikan buku tersebut di bawah bantal kesayangannya.

"Sudah, Bu" jawabnya pelan.

"Apa yang terjadi? Dan apa yang kau sembunyikan?"

Lusi menggeleng cepat. Alva tidak boleh melihat ada buku di kamarnya.

"Bohong. Biar Ibu lihat." Alva menyingkirkan bantal di balik tubuh Lusi, ia terkejut melihat sebuah buku yang ada di sana.

"Kau membaca buku lagi, Lusi?"

Lusi mengangguk pelan. "Aku ingin menjadi seorang penulis seperti mereka, Ma" ucapnya takut-takut. Lusi hanya melihat sang Ibu tersenyum hambar. Memang ada yang salah, dengan penulis?

"Memang para penulis itu memiliki masa depan yang cerah? Mereka hanya mencetak buku, Lusi. Berapa uang yang mereka dapat dari memasarkan buku seperti ini?"

"Bu, menjadi seorang penulis adalah impian Lusi. Lagi pula, jika Lusi menjadi penulis, maka Lusi tidak akan bekerja di luar sana seperti orang-orang. Bukankah Ibu menjadi lebih tenang?"

Alva terdiam. Ia memang sangat khawatir jika Lusi bekerja di luar atau bahkan hanya sekadar berjalan-jalan di malam hari.

Namun satu, apa yang bisa dilihat dari seorang penulis? Apa mereka mendapat tunjangan dari negara? Jaminan kesehatan? Asuransi?

"Tidak, Lusi. Ibu tidak akan membiarkanmu menjadi seorang penulis. Mereka tidak memiliki masa depan!"

Lusi sangat terkejut ketika Alva melempar buku miliknya. Apa ia tidak tahu, Lusi membeli buku tersebut dari hasil uang tabungannya selama berbulan-bulan. Untung saja tidak dirobek.

"Tapi Lusi akan tetap menjadi seorang penulis. Jika Ibu tidak setuju, itu terserah Ibu."

"Lusi! Apa yang dikatakan Ibumu itu benar. Untuk apa kau menjadi penulis, hah? Bukankah upah di pabrik jauh lebih besar?"

Lusi memejamkan mata kuat-kuat. Belum selesai dengan Alva, kini Henri datang dan ikut mengeluarkan pendapatnya yang sama sekali tidak Lusi butuhkan.

Maaf Jika Lusi bersikap dan berpikir tidak sopan terhadap orang tuanya. Ia hanya ingin bebas melakukan apa yang ia suka. Lusi tidak suka dilarang, apalagi menyangkut masa depannya.

"Ayah, memang berapa gaji buruh pabrik di kota ini? Bukankah hanya cukup untuk makan satu bulan? Lalu bagaimana dengan keinginanku?"

"Apa seorang penulis juga memiliki banyak uang? Bukankah mereka hanya berdiam diri di rumah dan mencetak buku? Berapa besar yang bisa mereka hasilkan?"

Lusi kembali terdiam. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Henri, karena ia sendiri tidak tahu, berapa banyak penghasilan para penulis di luar sana.

"Lusi, lebih baik kau mendengarkan ucapan kami. Kami berdua adalah orang tua kamu, Nak. Yang jauh lebih mengerti untuk masa depan kamu."

"Tidak, Bu. Aku akan tetap menjadi penulis. Aku akan buktikan kepada Ibu dan Ayah, kalau aku bisa mendapat uang dengan cara menulis."

"Dasar, anak bebal!"

PLAK!

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi kanan Lusi. Gadis itu membeku tak percaya. Selama dua puluh dua tahun, baru kali ini Henri berani menamparnya.

"Kau kenapa, Lusi?"

Tubuh Lusi tersentak ketika seseorang menepuk bahunya. Siapa lagi, kalau bukan Keke?

"Aku tidak apa-apa" kilahnya sembari menyeruput es cendol yang ia beli di Jalan Braga dua puluh menit yang lalu.

"Kau pasti mengingat kembali kejadian tiga tahun lalu, kan?"

Bagaimana Keke bisa tahu? Apa gadis itu memiliki kemampuan lebih?

"Keke, sampai saat ini hatiku masih sakit. Pukulan ayah selalu mengganggu pikiranku."

Keke melepas tas selempang dan meletakkannya di sofa lain. "Sudah kuduga. Apa tidak ada hal lain, yang harus kau pikirkan? Bagaimana dengan naskahmu?"

Lusi mendengkus kesal. Baru saja ia lepas dari Arman yang berubah menjadi rentenir di pagi hari. Sekarang Keke kembali dan melakukan hal yang sama.

"Hari ini aku ingin hidup tenang, Keke. Mas Arman hanya memintaku melakukan revisi untuk bagian satu, selebihnya bisa aku urus lain hari."

Keke menaikkan sebelah alisnya. Tumben? Apa Lusi sedang kerasukan? Atau, ia memiliki kegiatan lain, yang lebih menyenangkan daripada menulis?

"Kau tidak seperti Lusi yang aku kenal. Ada apa dengan dirimu, hari ini?"

"Tidak usah menanyaiku. Kau dari mana seharian ini, hah? Aku menunggumu sedari tadi!."

Keke berdeham. Setelah selesai berbincang dengan Alva dan Henri, Keke memutuskan untuk mengantar keduanya kembali ke hotel. Oleh karena itulah, ia baru kembali ke rumah.

"Sorry. Aku ada banyak kesibukkan hari ini, Lusi" ucap Keke sambil merebut es cendol milik Lusi.

"Kesibukkan apa? Bukankah kesibukanmu hanya mengurusiku? Mengatur jadwal dan memesankan makanan dari ojek online?"

Keke yang sedang menyeruput es cendol, menggeleng cepat. Sebelum menjawab, ia akan mengunyah cendol yang sangat nikmat itu. Minuman lokal memang jauh lebih enak ya, bund.

"Meskipun aku adalah asisten dan manager pribadimu, tapi aku juga memiliki kesibukkan lain, Lusi. Aku pergi mencari tempat yang cocok untuk menempel poster pencarian jodohmu."

Lusi langsung tersenyum mendengarnya. "Lalu, apa kau sudah menemukannya?"

Keke mengangguk pelan. Ia sudah berbohong. Semoga Lusi tidak akan mengetahui kebohongannya ini.

"Sudah. Aku sudah menemukan beberapa tempat yang cocok. Dan biasanya, akan ada banyak orang yang berlalu-lalang di tempat tersebut."

"Oke. Jadi, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?"

Sial! Keke merasa bersalah saat berhasil melihat raut wajah Lusi yang sangat bahagia. Jangankan memikirkan tempat, membuat posternya pun, Keke masih tidak ingin.

Keke berdeham untuk kedua kalinya. Ia merapatkan tubuhnya dengan Lusi. "Bagaimana kalau begini saja, kau selesaikan dulu untuk pemasaran buku Para Pencari Cinta. Bukankah itu bisa membuat namamu lebih terkenal?"

Lusi terdiam sejenak. Semakin lama, ia merasa apa yang Keke katakan benar. Memangnya ia siapa, membuat poster pencarian jodoh di jalanan? Memangnya ada yang mengenal dirinya?

"Baiklah. Aku harus menunggu dengan sabar, karena proses kali ini akan lebih sulit dari sebelumnya."

Akhirnya Keke bisa bernapas lega. Paling tidak, ia mendapat waktu cukup panjang untuk memikirkan semuanya lebih matang lagi.

Lusi benar-benar nekad. Bagaimana kalau teman-teman penulisnya, tahu? Oh, tidak. Bagaimana kalau teman-teman sekolahnya juga tahu?

Keke memijat pelipisnya pusing. Semakin tua, kelakuan Lusi sudah semakin di luar nalar.

"Keke, apa kau sakit?" tanya Lusi menyentuh bahu kanan Keke lembut.

"Tidak, Lusi. Aku hanya ingin mati saja."