seperti apa yang sudah ia katakan, kalau hari ini Lusi ingin pergi mencari ketenangan. Saat ini ia tengah berjalan di Jalan Asia Afrika.
Di mana jalan tersebut sangat terkenal di Kota Bandung. Jalan yang saling terhubung dengan Jalan Braga itu sangat ramai dikunjungi oleh para pejalan kaki, atau orang yang sengaja berjalan kaki.
Menurut Lusi, jalan tersebut memang pantas untuk dikagumi banyak orang. Bagaimana tidak, tata letaknya yang aestetik bisa mengundang banyak orang hanya untuk sekadar berfoto ria.
Apalagi anak muda yang berburu senja di jalan tersebut. Lho, berburu senja di tengah kota?
Lusi sampai mengerutkan kening, ketika melihat dua orang yang gadis yang tengah berfoto di sekitar batu berbentuk bulat dan berukuran besar. Apa mereka tidak malu, dilihat oleh banyak orang? Pikirnya.
Gadis itu berbelok dan masuk ke sebuah kafe. Ia memesan kopi latte dan duduk di meja paling ujung.
Lusi ingin merenung untuk hari ini. Ia sangat lelah, dan baru kali ini ia merasakan hal seperti ini.
"Permisi."
Lusi mendongak. Menatap seorang pria yang tengah tersenyum ke arahnya.
"Ya? Ada apa?"
"Bolehkah aku duduk bersamamu?"
Lusi terdiam sejenak. Siapa pria itu? Apa dia adalah jodoh yang Tuhan kirimkan untuknya? Meski ragu, akhirnya Lusi mengangguk dan pria tersebut langsung duduk di depannya.
"Kau pasti baru pertama kali datang ke kafe ini."
Lusi memicingkan mata. "Bagaimana kau tahu?"
Pria itu terkekeh dan menyesap secangkir kopi miliknya. "Aku adalah pengunjung setia kafe ini. Hampir setiap hari aku berada di sini, dan baru hari ini aku melihatmu."
Tunggu, sepertinya Lusi memikirkan sesuatu. Apa katanya? Berada di kafe ini setiap hari? Apakah ia tidak memiliki pekerjaan?
Di tengah lamunannya, Lusi tersadar oleh suara tawa yang berasal dari pria yang ada di hadapannya.
"Aku adalah pemilik kafe ini. Sudah pasti aku berada di sini setiap hari."
Sial! Lusi menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Ia berdeham dan sangat merasa bersalah.
"Maaf. Aku kira, kau tidak bisa membaca pikiran seseorang" ucap Lusi. Bagaimana pun juga, ia harus meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Bukan, begitu?
"Tidak masalah. Mungkin semua orang akan berpikiran sama denganmu, jika aku tidak mengatakan yang sebenarnya."
Lusi mengangguk pelan. Ia menyesap kopi miliknya sendiri. "Hmm... rasanya enak. Ini memang pertama kalinya aku masuk ke kafe ini. Tak disangka, kau memiliki kopi yang sangat nikmat" puji Lusi dan kembali menyesap kopinya.
Ia tidak sedang berbohong. Kopi di tempat pria ini jauh lebih baik dibanding kafe sebelah.
Oh, kalian jangan salah, berpikiran tentang Lusi. Ia tidak bermaksud jahat, bukankah membandingkan suatu rasa sudah menjadi kebiasaan manusia? Lusi hanya menjalankan kelebihan yang diberikan oleh Tuhan.
"Kau terlalu memuji. Perkenalkan, namaku David. Kau boleh memanggilku, Dave."
Lusi menatap tangan yang tengah menjulur di depannya. Apa ia harus menerima uluran tangan tersebut? Tapi, apakah Dave pria yang baik?
"Lusi" ucap Lusi yang akhirnya menyambut uluran tangan Dave. Mulai hari ini, mereka adalah teman. Siapa tahu, Dave akan memberinya potongan harga setiap hari.
"Kau tinggal di mana, Lusi?"
"Aku tinggal di Apartemen Jongjon yang tidak jauh dari sana. Apa kau tahu?"
"Ya. Itu adalah apartemen yang lumayan mewah, menurutku. Lalu mengapa kau baru terlihat di kafe ini? Bukankah hanya berjarak beberapa meter saja?"
Lusi meletakkan cangkirnya di atas meja dan melipat kedua tangan di dada. "Selama ini, aku tidak pernah keluar kamar, Dave. Pekerjaannku tidak bisa ditinggal sedikit pun. Biasanya aku akan meminta sahabatku untuk membeli kopi, tapi ia selalu membeli kopi tersebut di Morning Kafe."
"Memangnya, apa pekerjaanmu?"
Lusi terdiam. Ia tidak ingin orang tahu, bahwa ia adalah penulis. "Pekerjaanku...." Lusi menggantungkan kalimatnya, ia sembari memikirkan pekerjaan yang pas untuk dilakukan di rumah selain penulis.
"Ah, asisten akuntan di sebuah perusahaan" jawab Lusi cepat. Jika dilihat dari ekspresi wajah, seharusnya Dave tidak merasa curiga.
"Oh... pantas saja wajahmu terlihat sedikit kacau. Sepertinya, kau terlalu pusing dengan pekerjaannmu."
Lusi tersenyum hambar. Bukan pekerjaan yang membuatnya pusing, tapi Mas Arman yang selalu menghubunginya dan lagi-lagi menanyakan hal yang sama.
Lihat saja, Lusi bahkan tidak membawa ponselnya. Ia tidak ingin diganggu oleh siapa pun, termasuk Keke. Mungkin wanita itu tengah sibuk mencarinya.
Lusi memang sengaja tidak memberitahu Keke. Karena, Keke akan memaksa ikut jika tahu Lusi akan pergi.
"Kau sendiri, hanya mengurus kafe?" tanya Lusi pada Dave, sebagai tanda saling menghormati.
"Ya. Aku di sini untuk memeriksa pekerjaan, tapi jika senggang, aku akan membantu para barista."
"Kau bisa meracik kopi?" kedua bola mata Lusi terbuka. Ia tidak percaya, kalau pria yang saat ini berada di depannya adalah seorang barista.
Lusi sangat kagum pada pria yang berprofesi menjadi barista. Menurutnya itu sangat keren! Apalagi, ketika meracik kopi mereka sering memperlihatkan sedikit akrobat untuk menghibur para pengunjung. Dikira sirkus kali, ah.
"Bisa. Kau ingin melihatnya?"
Lusi mengangguk antusias. Ia seperti anak kecil yang bertemu dengan idolanya sejak kecil.
"Ikut aku."
Mereka berdua beranjak, meninggalkan dua cangkir kopi di atas meja. Lusi mengikuti langkah Dave dari belakang. Pria itu membawanya ke arah meja pantri, di mana terdapat beberapa mesin kopi dan para barista yang tengah meracik kopi di depannya.
"Gio, pergilah dulu. Biarkan aku yang meracik semuanya."
Lelaki bernama Gio itu pergi, mematuhi perintah bos nya.
"Kau tunggu di situ, aku akan membuat secangkir kopi untukmu."
Lusi memperhatikan tangan Dave yang sepertinya sudah terbiasa. Memiliki kafe yang menu utamanya adalah kopi, memang harus bisa meracik kopi sendiri. Agar bisa menjadi contoh untuk para pegawainya.
Setelah menunggu selama hampir tujuh menit, Dave akhirnya membawakan secangkir kopi buatannya kepada Lusi.
"Cobalah, dan berikan pendapatmu."
Lusi tidak menjawab. Ia segera mengambil kopi tersebut dan menyesapnya.
"Luar biasa! Rasanya sungguh nikmat, Dave!" Lusi berseru dengan kedua mata berbinar. Rasanya lebih nikmat dari kopi yang tertinggal di mejanya tadi.
Dave tertawa pelan. Ia berjalan ke arah Lusi dan duduk di sampingnya. "Itu adalah espresso yang diberi sedikit almond. Apa kau menyukainya?"
Tentu saja Lusi mengangguk kuat. Ini adalah kopi ternikmat di sepanjang sejarah hidupnya!
"Pantas saja kafe mu selalu ramai, Dave" ujar Lusi sembari melihat sekeliling kafe tersebut.
Dave mengerutkan kening dan menatap Lusi heran. "Bukankah kau baru pertama kali, datang ke kafe ini? Lalu, dari mana kau tahu, kalau kafe ini selalu ramai?"
"Lihat saja sekarang, banyak sekali pengunjung di sini, Dave. Dan aku yakin, pasti setiap hari mereka datang dan memenuhi kafemu. Apa kau selalu mendapat banyak keuntungan?"
Untuk nama Apartemen dan tempat-tempat lainnya, itu murni karangan saya ya, Kak. Jadi, kalau ada yang merasa asing, saya mohon maaf :)