Joy menatap buku pelajarannya sambil memutar pensil ditangan kanannya. Matanya memang melihat kearah buku, tapi dia tidak benar-benar membaca.
Pikirannya masih mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Ibunya pergi dengan terburu-buru dan kini ayahnya juga pergi entah kemana.
Sejak dia mengajukan pertanyaan itu, ayahnya hanya menjawabnya dengan senyuman. Kemudian beliau pergi meninggalkannya di rumah.
Dia mengira karena hari ini adalah hari Minggu, dia bisa menghabiskan waktu seharian bersama kedua orangtuanya. Kenyataannya, untuk kesekian kalinya dia ditinggalkan sendiri.
Joy mulai tidak berminat untuk belajar dan kepalanya kini berada diatas bukunya. Dia menatap ke arah pintu kamarnya dengan tatapan kosong.
Papa, mama.. apa kalian tahu saat ini Joy merasa kesepian? tanya Joy dalam hatinya dengan sedih.
Joy memejamkan matanya berusaha untuk menyingkirkan pikiran negatif dari kepalanya. Dia tidak ingin jatuh terpuruk dan kembali membenci kedua orangtuanya.
"..." samar-samar terdengar suara wanita diluar.
Apakah mungkin ibunya telah kembali?
Memikirkan kemungkinan ini membuat Joy kembali bersemangat dan segera berdiri menyambut ibunya.
Sayangnya yang ada di ruang depan bukanlah ibunya, melainkan wanita itu.
Tante Febe... salah satu saudara ibunya yang terus menganjurkan perceraian orangtuanya.
"Kau dalam perjalanan ke kantor? Untuk apa? Aku malah sudah di rumahmu. Kembali saja."
Joy bisa menduga yang ada diseberang telpon Tante Febe adalah ibunya.
Tante Febe adalah satu-satunya tante yang paling sering berkunjung ke rumah ini. Dia bahkan merasa tante yang satu ini sudah menganggap rumah ini seperti rumahnya sendiri. Dia sering menyuruh pembantu keluarga untuk kepentingan dirinya sendiri.
Joy tidak ingin berbicara dengan wanita itu dan memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Namun keberuntungannya tidak bagus, tantenya menyadari kehadirannya dan memanggil namanya.
"Joy, lama tidak bertemu. Kau kemana saja?"
Aku selalu di rumah, tapi tidak pernah mau keluar kamar jika kau datang. Jawab Joy dalam hati. Ya, dia tidak mungkin menjawabnya seperti itu.
"Joy tidak kemana-mana tante." jawab Joy dengan senyum sopan.
"Ayo sini, temani tante sebentar sambil menunggu mamamu kembali."
Joy mendesah pasrah saat berjalan dan duduk disamping tantenya. Joy bergidik saat rambutnya dielus-elus oleh tangan wanita itu. Dan suara Tante Febe terdengar lebih manis daripada biasanya saat berbicara.
"Joy sayang. Tante dengar kamu berhasil mendapatkan salah satu produk Reine ya? Kok tidak bilang-bilang? Kan sayang kalau harus diberikan ke teman. Kalau Joy tidak mau, bisa berikan ke tante saja atau sepupumu."
Tangan Joy yang ada diatas pangkuannya mencengkeram kain bajunya dengan erat. Dia berusaha agar emosinya tidak meluap keluar.
"Iya tante. Kebetulan Joy belum menemukan hadiah yang cocok untuk Meryl, tiba-tiba berhasil dapat. Jadi Joy langsung memberikannya pada teman Joy."
"Oh begitu. Lain kali kalu dapat lagi bilang-bilang ya. Lalu, tante boleh tahu tidak, bagaimana caranya Joy bisa mendapatkan Reine?"
Mana aku tahu. Yang mendapatkan tas itu adalah papa. Jawab Joy dengan ketus didalam hatinya.
"Joy tidak tahu tante. Coba tante tanya papa."
"Papa? Maksudmu papamu yang tidak berguna itu? Mana mungkin dia tahu."
Ingin rasanya dia membentak wanita ini. Berani sekali dia menghina ayahnya didepannya.
"Tapi yang membantu Joy mendapatkan Reine adalah papa Gardnerr." Joy menjawabnya dengan sesopan mungkin.
Dia cukup merasa puas bisa menahan emosinya menghadapi wanita tua ini. Namun kesabarannya mulai mencapai batasnya saat mendengar tawa menghina dari tantenya.
"Apa aku tidak salah dengar? Mungkin kau belum sepenuhnya bangun dari tidurmu. Joy sayang, pria itu tidak pantas dipanggil papa. Dia lebih baik ber..."
Sebelum dia mendengar kata 'cerai', Joy bangkit berdiri dengan satu sentakan yang kuat membuat tangan tantenya yang dari tadi memainkan rambutnya terdorong dengan kasar.
"Tante, Joy masih harus belajar. Jadi Joy permisi dulu."
Joy terus berusaha untuk tidak menunjukkan emosinya. Dia hendak melangkah kembali ke kamarnya. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar tantenya berbicara lebih lanjut.
Sepertinya wanita satu ini tidak tahu kapan harus berhenti berbicara.
"Ini semua pasti gara-gara si Gardnerr. Dia benar-benar tidak becus mendidik anaknya. Sudah tidak bisa bekerja, malas, malah mendidik anaknya meniru kelakuannya. Tidak sopan, kurang ajar, nilainya disekolah juga pasti buruk seperti ayahnya. Kasihan sekali adikku, Helen. Dia harus tinggal bersama keluarga yang tidak tahu diri. Tapi Helen memang bodoh. Kenapa juga dia memilih pria seperti itu untuk dijadikan suami?"
Mendengar serentetan kalimat ini membuat dinding penahan emosinya yang sudah dia jaga untuk tetap kokoh tak tergoyangkan, kini hancur berkeping-keping.
Dia memutar tubuhnya berbalik kearah tantenya yang sedang minum tehnya dengan santai.
"Benar. Kasihan sekali mama harus menutupi kebodohan, kemalasan, kecerobohan, ketakutan saudara-saudaranya yang tidak tahu diri. Setelah memeras usaha, tenaga, keringat mama, mereka malah bersekongkol merusak keluarganya. Bukankah mereka lebih jauh tidak tahu dir..."
Kata-katanya terputus seketika. Semula pandangannya menatap lurus kearah mata wanita tua tersebut. Semakin dia melihat ekspresi pucat wanita itu, semakin dia tidak ingin berhenti.
Dia tahu apa yang dilakukannya salah. Tidak seharusnya dia membiarkan emosinya mengambil alih dan mengeluarkan kata-kata jahat seperti itu.
Akan tetapi, dia sudah tidak sanggup mendengar hinaan mengenai kedua orangtua. Terlebih lagi terhadap ayahnya, dia tidak ingin siapapun menghina ayahnya maupun ibunya.
Tidak masalah jika dirinya dihina, tapi dia tidak akan membiarkan siapapun.. bahkan tantenya sekalipun; menghina kedua orangtuanya sesuka hatinya.
Sebenarnya masih ada banyak yang ingin dia luapkan. Sayangnya, kata-katanya terhenti saat kepalanya terdorong kesamping dengan paksa.
Dia sempat merasakan seperti ada listrik yang mengalir di daerah pipinya. Sedetik kemudian, dia merasakan rasa aneh di bibirnya disusul dengan rasa sakit yang luar biasa pada bagian rahangnya.
Apakah.. dia baru saja ditampar?
Sepanjang ingatannya tidak ada yang pernah memberinya pukulan. Bahkan kedua orangtuanyapun tidak pernah melukai satupun bagian tubuhnya.
Kalaupun dia nakal atau tidak menurut, dia hanya dihukum berdiri dipojokan, atau dikurung dalam kamarnya selama dua jam.
Tidak peduli seberapa nakalnya dia, atau semarah apapun ayah ibunya, mereka berdua tidak pernah memukulnya.
Kini dia menerima pukulan... tamparan lebih tepatnya dari seseorang yang bukan ayah ataupun ibunya.
Secara refleks, tangan Joy bergerak menutupi pipinya yang baru kena tampar tersebut sambil menahan sakit.
Mungkin karena dia sudah sering mengalami luka baik besar maupun kecil di dalam ingatannya, rasa sakit ini tidak bisa membuatnya menangis. Rasa sakit ini justru membuatnya semakin tidak hormat pada wanita yang ada dihadapannya.
"Tante tidak takut kalau mama tahu tante memukulku?"
"Kenapa harus takut? Anak durhaka sepertimu sudah sepantasnya dihajar. Waktu kau masih kecil, kedua orangtuamu juga pasti menghajarmu."
"Tidak. Tidak pernah sekalipun papa mama memukulku! Ini pertama kalinya seseorang dari luar memukulku. Apa hak tante memukulku?"
"..."
Semula Febe tidak percaya apa yang dikatakan keponakannya. Tapi ada satu hal yang membuatnya ketakutan. Anak remaja ini tidak seperti Joy yang ia kenal.
Khususnya pada sinar matanya. Sinar matanya yang sekarang sangat tajam dan jernih. Disaat bersamaan mata gadis ini menatapnya seolah-olah dia adalah mangsa yang siap diterkamnya.
Febe menelan ludah dengan gugup. Jika apa yang dikatakannya memang benar, maka adiknya akan marah besar padanya. Lebih parah lagi, ada kemungkinan adiknya tidak akan mau membantu usahanya atau adik-adiknya yang lain.
Febe merasa semakin gugup menyadari keponakannya tidak bergerak dan hanya menatapnya dengan penuh amarah.
Sedangkan Joy sendiri, dia berusaha menahan diri untuk tidak berbicara. Karena dia tahu, begitu dia berbicara lebih lanjut, tidak hanya ucapan jahat yang akan keluar, tindakan kejinyapun juga akan keluar.
Di dalam pikirannya terus terbayangkan dia ingin membalas tamparan ini, tapi dia berusaha membuang pikiran itu sejauh mungkin.
Disaat dia mulai agak tenang, tindakan wanita selanjutnya membuat emosinya timbul kembali.
Tantenya mengambil cangkir yang masih ada teh hangat didalamnya. Sebelum isi cangkir tersebut mengenai wajahnya, Joy menahan tangan wanita itu dengan kuat.
Sebelumnya dia lengah dan tidak siap sehingga dia terkena pukulan keras di wajahnya. Tapi tidak untuk kedua kalinya, dia tidak akan membiarkan wanita itu berhasil menindasnya.
Dia berhasil menahan tangan kanan tantenya dengan tangan kirinya. Di luar perkiraannya, tantenya malah membiarkan isi cangkir tersebut tertumpah diwajahnya sendiri. Dengan cekatan, tangan kiri wanita itu mengambil cangkir dan membantingnya ke lantai.
Tindakan selanjutnya membuatnya tidak bisa berkata apa-apa.
"Ah.. apa yang kau lakukan? Kenapa kau menindas tantemu seperti ini."
Mulut Joy terbuka lebar saat melihat tantenya duduk lemas di lantai sambil menangis dengan keras. Dia harus mengacungkan jempol untuk akting wanita tersebut.
Sayangnya dia sama sekali tidak mengetahui maksud dibalik akting tantenya.
"JOY!"
Tubuh Joy menegang saat mendengar suara ibunya dari belakangnya. Dia melihat raut muka yang sangat mengerikan dari wajah ibunya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya ibunya dengan marah yang besar.
Sebelum Joy menjawab, tantenya sudah menjawab pertanyaan itu lebih dulu.
"Padahal tante hanya ingin meminum teh ini. Tapi kenapa Joy malah mengambil paksa dan melemparkan cangkir ini ke arah tante? Tante tahu Joy tidak suka sama tante, tapi Joy tidak perlu melempar barang ke tante kan?"
APA?! Sejak kapan ada adegan seperti itu. Apa wanita ini juga berbakat dalam mengarang cerita?
"Mama, Joy bisa menjelaskan. Inj sama sekali bukan..."
"Mama tidak mau tahu. Cepat minta maaf pada tantemu. Sekarang!"
"..."
Satu detik.. tiga detik.. satu menit.. hingga dua menit penuh, tidak ada satupun yang bergerak maupun bersuara.
"Joy..." nada ibunya mulai membahayakan. "Peringatan terakhir, cepat minta maaf!"
Kedua tangan Joy mulai bergemetar dan ia segera mengaitkan kedua tangannya satu sama lain untuk menghentikan gemetarnya.
"Joy.. minta maaf.. minta maaf karena tidak bisa minta maaf pada orang ini."
Dengan segenap tenaganya, Joy mengatakannya dengan serendah mungkin sebelum akhirnya dia berlari keluar rumah.
Joy menabrak seseorang begitu keluar dari pintu gerbang. Tanpa melihat siapa yang ditabraknya, Joy segera berlari menjauh setelah mengucapkan maaf pada orang yang ditabraknya.
Pikirannya sangat kacau, hatinya terasa sakit bagaikan ditusuk oleh benda yang tajam sehingga telinganya tidak bisa mendengar seseorang memanggilnya.
Hatinya berteriak kesakitan dan menangis, tapi anehnya, dia sama sekali tidak meneteskan air mata. Apakah mungkin, karena dia tidak bisa menangis, dadanya menjadi terasa sesak?