Beberapa hari setelah menikah, Rizky kembali menjual putu...
"Putu!!! Putu!!! Pak… Bu... Putunyaaa... Murah meriah dijamin halal... teng teng teng teng..." Teriak Rizky yang masih tidak jauh dari komplek tempat tinggalnya bersamaan dengan suara sendok yang beradu dengan mangkok kaca.
Tanpa ia sadari, dari kejauhan terlihat seorang wanita muslimah, membawa sekantong plastik berisikan sayuran yang perlahan mendekatinya dengan sedikit ragu.
"Rizky???" Tanyanya pelan.
"Iya, Mbak? Benar, nama saya Rizky, mau beli putu? Berapa banyak?" Jawabnya sopan.
"Kamu benar Rizky? Masa gak ingat saya? Saya Diana, teman sekelasmu dulu waktu SMA."
Rizky berpikir keras, "Ah... Iya, Diana Rahmawati, ya? Bendahara kelas, kan? Yang gayanya agak tomboi itu?" Tanya Rizky meyakinkan. Ia melanjutkan, "Masyaa Allah, sudah berubah sekali, ya. Pakai jilbab juga sekarang. Alhamdulillah..."
"Hehe, Iya. Alhamdulillah saya sudah hijrah setelah tamat SMA. Allah masih memberikan kesempatan bagi saya untuk bertaubat. Ya.. di sisa umur yang tidak tahu sampai kapan ini, saya menghabiskan waktu untuk membenahi diri. Alhamdulillah..." Ia berhenti sejenak dan melihat tulisan di gerobak Rizky "Kue Putu" , ia melanjutkan "Hm.. Kamu sekarang jualan putu?"
"Sebenarnya sih enggak." Jawab Rizky spontan.
"Apa?"
"Eh, maksudnya iya. Kenapa?"
"Tidak apa. Hm.. Kamu sekarang tinggal di mana?"
"Di Hanania Residence."
"Oya? Sama dong. Saya juga tinggal di sana. Rumah kamu nomor berapa?"
"21B"
"Berarti rumah kita sebelahan. Rumah saya nomor 21A. Kebetulan sekali, ya!" Katanya kegirangan.
"Oh.. Iya? Kebetulan sekali." Jawabnya singkat. Rizky merasa hanya membuang-buang waktu jika terus berbicara dengan Diana, sementara ia juga harus berjualan.
"Diana, maaf. Saya lanjut jualan lagi, ya. Assalamu'alaikum.."
"Eh, tunggu. Saya beli lima porsi."
"Baik."
Setelah transaksi di antara mereka selesai dan Rizky sudah mulai menjauh, Diana masih berada di tempatnya.
Rizky adalah teman sekelas Diana saat SMA yang pernah diam-diam ia sukai. Bahkan sampai sekarang perasaan itu masih tinggal dan tidak berubah sedikit pun. Bisa dibilang hijrahnya Diana untuk menutup aurat hanya karena ia tahu bahwa setelah lulus SMA Rizky lanjut ke pesantren.
Ky.. Aku masih di sini. Masih menunggumu dengan perasaan yang sama. Batinnya.
***
Kira mulai bergegas menuju kafe karena beberapa saat yang lalu The Girls mengatakan ingin bertemu. Ia mengacak-acak isi tasnya untuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Tiba-tiba langkahnya terhenti karena menabrak seorang wanita yang juga sibuk dengan belanjaannya, Diana.
"Eh, maaf Mbak, gak sengaja, saya buru-buru ngambil barang yang ada di tas jadi gak lihat jalan."
"Iya, tidak apa, Mbak. Saya juga gak fokus tadi."
Pandangan Kira mengarah ke putu yang jatuh. "Beli putu di mana, Mbak?"
"Itu tadi sama mas-mas di depan. Kebetulan teman SMA saya dulu."
Rizky bukan, ya? Ah.. Entahlah, dia juga sudah pergi dari tadi. Gak mungkin masih di daerah sini. Lagipula penjual putu kan gak cuma dia. Pikirnya.
Kira tersentak. "Oh, ya sudah Mbak, saya duluan ya."
Saat Kira sudah terlihat jauh di depan komplek perumahan untuk mencari taksi, Diana lagi-lagi berpikir. Perempuan itu ke luar dari rumah nomor 21B, itu kan rumah Rizky. Dia siapa? Bukannya Rizky anak tunggal?... Oh.. Mungkin saudaranya. Ia mencoba berpikir positif.
Terkadang rasa cinta itu membuat kita terus berhusnudzon terhadap orang yang kita cintai, sekalipun kita tidak tahu fakta sebenarnya hanya karena tidak ingin rasa kecewa itu hadir.
***
Rizky melirik jam di tangannya, pukul 10:30. Ya Allah... Hampir kelewatan. Pikirnya. Kemudian ia menghentikan langkah kakinya dan menuju ke masjid di seberang jalan untuk melaksanakan sholat dhuha. Namun, lagi dan lagi langkahnya terhenti saat seorang laki-laki memanggilnya dari belakang.
"Rizky?!"
"Ya, Mas? Ada yang bisa dibantu?"
"Mas.. Mas... Ini gue, Ivan. Yang waktu pernikahan kalian gue juga datang. Masih ingat?"
Rizky berpikir keras. "Oh, iya. Masih. Hm.. Ngapain di sini, Van? Gak kerja?"
Ivan sedikit gugup menjawab pertanyaan Rizky. "Hm..Tadi gue mau pergi kerja, eh ngelihat lo di sini. Yaudah sekalian saja gue singgah mau tahu kabar Kira."
"Kabar Kira?"
"Eh, bukan. Maksudnya kabar kalian berdua. Gue kan 'teman' Kira, berarti suaminya juga teman gue, dong. Ya kan?" Jawab Ivan ngeles.
Rizky hanya mengangguk yakin.
"Lo sama Kira baik-baik saja setelah kebakaran waktu itu, kan?"
"Kamu kok tahu ada insiden kebakaran waktu acara pernikahan kami? Bukannya kamu datang agak malam, ya?"
DEG.
"Iya, gue dengar dari orang-orang sih..."
"Oh, iya juga ya. Alhamdulillah saya dan Kira baik-baik saja sejauh ini."
Ivan melirik gerobak yang terparkir di halaman masjid, "Lo jualan putu?"
"Iya, begitulah."
"Bukannya dengar-dengar lo tinggal di perumahan elit, ya? Kok jualan putu?"
Dia kok tahu banyak info sih? Kan saya gak pernah bocorin ini ke siapapun? Rizky bertanya-tanya. "Oh, itu. Perumahan itu? Yaaa gitulah."
"Gitulah apanya?"
Rizky kembali melirik jam di tangannya."Sudah jam segini, saya duluan ya. Takut gak terkejar waktu dhuha." Rizky bergegas meninggalkan Ivan.
Sementara Ivan, pikirannya masih berkelabut tanda tanya.
Seperti ada yang ia rahasiakan. Pikirnya.
Kini, ia beralih ke 'kereta besar' yang terparkir di halaman masjid menuju ke salah satu tempat yang sebelumnya sudah dijanjikan teman satu geng balapnya.
Ia terduduk di motornya sejenak, "Jangan sembunyiin apapun dari gue. Kebahagiaan Kira itu nomor satu. Lo bikin dia nangis, mati lo! Gue gak akan bikin hidup kalian berdua tenang. Gue akan bongkar siapa lo sebenarnya. Masa iya pedagang putu bisa tinggal di Hanania Residence? Pft! Dongeng..."
***
Aroma kopi mencuri indra penciuman setiap orang yang memasuki kafe.
Kira mencari The Girls dan didapatinyalah mereka duduk di kursi belakang yang jaraknya cukup jauh dari tempat ia berdiri.
"Ada apa ngajak ketemu?"
"Datang juga lo." Sahut Caca.
"Eh.. Kira datang... Ngapain di sini? Rizky mana? Your husband mana? Kok gak diajak?" Pika melanjutkan.
"Apaan sih, Pik. Kita itu ada perlu sama dia, bukan suaminya." Jawab Luna acuh.
"To the point saja, ya. Lo masih ada perasaan gak sama kakak gue?" Kali ini Caca bertanya serius.
"Kenapa nanya gitu?" Ekspresi Kira sontak berubah, ia terkejut ketika dihadapkan dengan pertanyaan seperti itu. Jantungnya berhenti untuk kembali memompa lebih cepat.
"Tinggal jawab iya atau enggak saja susah." Kata Caca yang sedikit menaikkan volume suaranya.
"Gue gak tahu."
"Apa?!" Jawab Dara, Luna, dan Caca bersamaan.
"Apanya yang apa?" Pika bingung.
"Kok lo bisa gak tahu? Jawaban tidak masuk akal apa itu? Bukannya lo cinta mati sama Ivan? Atau... Lo sudah jatuh cinta sama suami lo yang penjual putu itu, ya?!" Intonasi suara Luna bertambah.
"Apa? Jatuh cinta? Ya kali. Heh, gue nikah sama dia juga karena dipaksa bokap. Bukan karena cinta."
"Gak usah muna' deh, Ra. Buktinya waktu lo pingsan dan baru sadar, lo langsung nyari Rizky tuh." Sambung Caca.
"Nyari Rizky? Kapan. Ca? Kapan? Mana ada gue nyariin dia." Kira berpura-pura tidak tahu.
"Gak usah pura-pura lupa, Ra. Oke, gue mau tanya untuk yang kedua kalinya. Lo masih ada rasa sama kakak gue gak?"
"Kalau lo semua nyuruh gue datang ke sini cuma untuk menjawab pertanyaan itu, gue permisi." Kira pergi dengan wajah kesal dan sedikit emosi.
Air mata yang sedari tadi ia bendung kini tumpah tanpa ia sadari, membanjiri pipi yang merona merah itu. Ia berlari sekuat yang ia bisa menuju salah satu taman yang tidak jauh dari kafe.
"Loh? Kok malah pergi, sih?" Caca bertanya-tanya.
"Kalian sih kasar banget sama Kira, kan kasihan." Kata Pika.
"Bukan kasar, Pik. Lo semua tahu gak apa yang terjadi sama kakak gue setelah dia datang ke pernikahan Kira?"
Mereka hanya menggelengkan kepala.
"Dia kacau. Teriak-teriak gak jelas rumah. Banting-banting pintu, nyerakin barang-barang di kamarnya. Pokoknya kaya orang gila gitu deh. Untung saja bokap sama nyokap gue lagi di luar negeri. Kalau gak... Gak tahu deh gue gimana kelanjutannya." Jelas Caca.
Bukannya saat itu dia terlihat biasa saja, ya? Batin Dara.
"Perlu obat anti depresi gak kakak lo? Biar gue beli nih sekarang." Kata Pika.
"Mending lo pulang, Pik." Kata Luna dengan ekspresi datar.
"Apa yang salah, sih." Pika memajukan bibirnya beberapa senti.
"Terus?" Tanya Dara.
"Ya.. Makanya itu gue tanya Kira apa dia masih ada rasa sama Kak Ivan atau enggak. Gue kasihan sama dia, secara ni ya, Kira itu cinta pertamanya, dan... Dia juga jatuh cinta pandangan pertama sama Kira waktu tuh anak datangin kita ke klub pertama kali. Dan gue rasa sampai sekarang dia belum bisa lupain tuh cewe."
"Jadi rencana lo sekarang apa?" Tanya Luna.
"Gue mau balas dendam. Gue mau buat hidup Kira menderita kalo dia gak bisa buat kakak gue bahagia lagi."
"Lo gak salah? Bokap Kira.. Lo tahu, kan?" Kata Luna ragu.
"Bokap Kira? Ya tahulah. Bokap gue lo tahu juga kan?" Caca bergurau.
"Apaan sih, Ca..." Tepis Luna.
Tiba-tiba sahutan terdengar, "Gimana kalau kita sewa bodyguard saja untuk ngejalani rencana ini?" Kata Pika.
Mereka semua mengangguk.
"Tumben lo pintar, Pik." Kata Dara.
"Gue emang pintar. Cuma gue gak mau dibilang sombong dan sok pintar, nanti kalian tersaingi, kenapa? Karena selain cantik gue juga pintar. Yakan?? Tidak bisa dipungkiri lagi itu.." Jawab Pika santai dengan senyum melebar.
"Pik, pernah keselek golok gak?" Kata Caca dengan wajah datarnya.