"Perkenalkan, saya adalah CEO baru di perusahaan ini. Nama saya adalah Arifin Putra. Senang mengenal kalian. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik," kata Arifin saat aku kembali duduk di kursiku. Dia melirikku sekilas lalu meninggalkan ruang kerja kami setelah perkenalan, dia sok cuek, sok tidak mengenalku. Aku sendiri merasa malu pernah dilamar olehnya. Masih segar diingatanku insiden semalam.
FLASH BACK
"Maukah kamu menikah denganku?" Tanya Arifin Padaku.
"Apa aku seperti perempuan jablay yang sangat ingin menikah?" bentakku. Arifin tidak terpengaruh, dia masih tenang, begitu beribawa di depanku.
"Aku tidak pernah bilang seperti itu," kata Arifin.
"Lalu? Apa maksudmu melamarku di jalanan," teriakku.
"Aku sudah menyentuhmu. Aku tidak ingin ada fitnah," kata Arifin.
"Tidak akan ada fitnah," kataku kemudian mendorong tubuhnya menjauh dariku. Aku berlalu dari hadapannya. Arifin tidak tinggal diam, dia berusaha menjejeri langkahku.
"Kau mendengar teriakan orang-orang yang beranggapan kita bermesraan di jalanan?" Tanya Arifin tenang.
"Kau tidak berfikir bahwa aku punya suami?" tanyaku, kemudian menghentikan langkahku, menatapnya tajam untuk melihat reaksinya.
"Tidak.. kau masih muda, tidak mungkin sudah punya suami. Pikirkanlah baik-baik tawaranku ini," kata Arifin kemudian berlalu meninggalkanku setelah memberikan salam tanpa sempat aku jawab. =.=
BACK TO REALITY
Aku menatap ruang CEO dengan tatapan putus asa. Di balik dinding kaca yang menghubungkan ruanganku dengan ruangan CEO, aku melihat Arifin sedang sibuk mengetik di laptopnya. Aku langsung gelagapan saat Arifin tiba-tiba melihat ke arahku.
"Kau jatuh cinta pada CEO kita?" Tanya padaku dengan senyum jahilnya.
"Sudah pasti dia jatuh cinta, tetapi ceo sudah pasti menolak cintanya," kata Dian sambil terus sibuk di depan komputernya. Aku hanya mencibir.
"Cinta tidak bisa memilih pada siapa dia akan berlabuh," kata Alma bak pujangga.
"Terserah, bermimpilah setinggi langit tapi hati-hati kamu bisa jatuh, sebagai sahabat, aku hanya mengingatkanmu," kata Dian. Meski Dian seperti itu, tetapi aku tahu kalau Dian selalu bicara apa adanya, seakan menunjukkan padaku tentang kenyataan pahit tanpa harus membumbuinya.
"Ich.. kamu jahat," kata Alma.
"Terserah, aku hanya realistis," kata Dian. Alam menatapku dengan wajah cemberut, aku tersenyum kemudian mengelus lembut pundak Alma sehingga Alma kembali tersenyum.
"Lagi pula," kata Dian membuat kami kembali menatap ke arahnya. "Dia itu seorang ustad, kuliahnya aja di Kairo, dia menundukkan pandangan, tidak bersentuhan dengan perempuan bukan mahram, dan yang terpenting dia tidak pernah jatuh cinta," jelas Dian dengan bangganya.
"Ada ya orang seperti itu?" tanyaku pada Dian. Dian langsung memukul jidatku, membuatku cemberut.
Kring..kgirng…kring…
Telfon di sampingku berbunyi. Dengan sigap aku mengangkatnya.
"Assalamu alaikun, ini dengan Arifin," kata seseorang di seberang sana. Aku melihat masuk ke ruang CEO yang juga sedang memegang gagang telfon sambil menatap keluar ruangan.
"Tolong masuk ke ruanganku," kata Arifin.
"Baik pak," jawabku kemudian menutup telfon.
"Ada apa?" Tanyaku saat berada di hadapan CEO tampan tetapi terkenal dingin ini.
"Orang tuaku memintamu untuk datang ke rumahku," kata Arifin begitu dingin, dia tidak menatap mataku saat berbicara denganku, dia tetap sibuk memainkan lepatopnya. Aku merasa tersinggung.
"Untuk apa?" tanyaku penasaran.
"Datanglah, kau akan mengetahuinya," kata Arifin.
"Kalau aku menolak?" tanyaku sambil memperhatikan reaksinya. Dia menghentikan aktifitasnya, menatapku sekilas lalu kembali sibuk dengan kegiatannya. Aku merasa dikacangi.
"Jika sudah tidak ada yang perlu dijelaskan, kau bisa keluar dari ruangan ini," kata Arifin begitu dingin.
"Kau yang memintaku datang dan sekarang kau yang mengusirku," gumamku lalu meninggalkan Arifin tanpa pamit.
"Assalamu alaikum," kata Arifin saat aku akan membuka pintu ruangannya.
"Waalaikum salam," kataku lemah.
"Ada apa?" sambul Alma saat aku tiba di meja kerjaku.
"Tentu saja masalah kantor, masa masalah asmara," kata Dian. Aku berbalik menatap Diam dengan tatapan tajam, Dian menatap heran padaku.
"Kenapa?" Tanya Dian tanpa merasa bersalah.
"Bisakah kau berhenti mengangguku?" tanyaku dengan putus asa.
"Tidak," kata Dian sambil tersenyum. "Membuatmu resah adalah kebahagiaan tersendiri bagiku sejak kita duduk di bangku kuliah," kata Dian lalu beranjak pergi menuju pantry. Aku menarik nafas putus asa.
"Ada apa? Apakah CEO baru lebih sulit dihadapi dari pada CEO lama?" Tanya Alma penasaran. Aku menggelengkan kepalaku.
"Lalu?" Tanya Alma penasaran.
"Jika lelaki yang baru kamu kenal. Melamarmu di jalan. Lalu tiba-tiba orang tuanya meminta bertemu, menurutmu bagaimana?' tanyaku pada Alma.
"ITu berarti dia serius dengan lamarannya," kata Alma.
"Apakah CEO lama dan CEO baru sudah serah terima pekerjaan?" Tanya Dian yang datang dengan membawa cangkil yang mengepulkan asap. Aroma kopi menyeruak dari cangkir itu.
Aku terdiam.. aku menyadari sesuatu. Mungkin Pak Burhan, ayah Arifin ingin melakukan serah terima pekerjaan. Aku akan menjelaskannya pada Arifin dan Pak Burhan, dan demi rasa nyaman untuk putranya maka kami akan membahasnya dalam keadaan santai. Pasti itu yang akan kami bahas.
"Huft…" aku menarik nafas berat lalu menghembuskannya lewat mulut.
"Kenapa?" tegur Dian.
"Jangan membuatku marah," kataku pada Dian.
"Kau sensifit, apakah kau akan menopause?" Tanya Dian membuatku terbelalak. Aku berdiri siap untuk menyerangnya. Dian berlari meninggalkanku.
"Untuk kali ini saja. Aku ingin melampiaskannya padamu," teriakku sambil mengejar Dian. Alma hanya menggelelngkan kepala melihat tingkah kami yang tidak pernah berubah sejak kami kuliah. Hanya Alma yang bersikap dewasa dan selalu menjadi penengah diantara kami.=-=
Aku berdiri di hadapan rumah mewah. Selama bekerja di perusahaan Pak Burhan, tidak sekalipun aku datang ke rumah ini. Semua masalah pekerjaan di selesaikan di kantor dan rumah untuk mereka berbagi cerita dengan keluarga. Bagiku itu adalah keluarga sempurna.
"Assalamu alaikum," kata Arifin saat membuka pintu untukku. Aku hanya menatap heran. Apakah rumah sebesar ini tidak punya asisten rumah tangga?
"Assalamu alaikum," tegur Arifin lagi.
"Waalaikum salam," jawabku.
"Silahkan masuk," kata Arifin. Aku mengangguk kemudian mengikuti langkah Arifin.
"Masya Allah," teriak seorang perempuan yang sangat cantik, berkulit putih, hidung mancung, dagu terbelah, alir bagaikan semua berbaris. Dia sempurna dengan pakaian syar'I, dia terkesan elegan. "Putriku sudah datang," kata perempuan itu lalu memelukku. Tentu sana aku cemas. Apakah karena perempuan cantik tapi gila ini sehingga pintu rumah Pak Burhan selalu tertutup untuk orang kantor?
"Silahkan duduk," kata perempuan itu sambil menuntunku ke sofa.
"Namaku Aisyah. Ibu dari Arifin," kata perempuan itu membuatku terbelalak. Bu Aisyah sangat muda, bahkan terlihat lebih muda dariku. Bu Aisyah menolak untuk tua, sedangkan aku yang masih perawan ini penuh dengan kerutan dan berwajah kusam.
Pak Burhan memasuki ruang tamu dengan wajah sumringah, sangat berbeda saat berhadapan dengannya di kantor.
"Apa kabar?" sapa Pak Burhan.
"Baik pak," jawabku.
Pak Burhan mengeluarkan amplop cokelat. Aku tersenyum lega. Kali ini pikiranku benar, kami akan membahas serah terima pekerjaan ceo lama pada ceo baru.
"Lihatlah," kata Pak Burhan. Aku langsung meraih amplop yang Pak Burhan letakkan diatas meja. Aku terkesima saat membuka amplop itu. Aku membekap mulutku sendiri. Tertunduk malu di hadapa Pak Burhan dan Bu Aisyah. Tamat sudah riwayatku kali ini.=-=