webnovel

Lelaki Dalam Kabut

Bagi Mimi, mimpi adalah bagian dari kenyataan. Apapun yang hadir dalam mimpinya akan hadir pula di dunia nyata. Namun ada satu mimpi yang tak kunjung jadi nyata, mimpi tentang lelaki yang wajahnya selalu tertutup kabut. Berbagai petunjuk hadir tentang lelaki dalam kabut tersebut, namun Mimi tak juga menemukan lelaki itu didunia nyata. Sahabatnya menganggap Mimi sudah gila karena jatuh cinta pada lelaki dalam mimpi yang bahkan tak diketahui wajahnya seperti apa. Dia juga mengabaikan cinta yang nyata ada dihadapannya karena lelaki kabut itu. Apakah lelaki itu memang benar-benar ada? Dan apakah yang dirasakan Mimi adalah cinta atau obsesi semata? Akankah pencarian Mimi membuahkan hasil? 

Zianaabia_79 · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
74 Chs

Obrolan di Meja Makan

"Kak Mimi sama Bang Rendra dua bersaudara saja ya?" tanya Rani saat kami tengah menikmati makan malam.

"Iya Ran, kami hanya berdua saja. Aku pernah minta adek lagi sama Bunda, tapi ngga dikasih," jawab Mimi sambil tertawa.

"Mimi tuh beruntung Ran, punya saudara cuma satu, ganteng pula," kata Rendra sambil mengerlingkan matanya pada Mimi.

"Ish, Pe De banget Bang," cibir Mimi, yang disambut tawa Tama dan Rani.

"Kita senasib nih Kak Mimi, ngga punya saudara perempuan. Jadi kita saudaraan aja yuk?" kata Rani lagi.

"Maksudnya?" tanya Mimi bingung.

"Ya Kak Mimi jadi kakak aku, syukur-syukur jadi ipar aku. Aku punya kakak laki-laki tiga, kalau ngga mau sama Kak Tama, nanti aku kenalin sama yang dua lagi," kata Rani sambil melirik Tama.

Wajah Mimi memerah mendengar perkataan Rani. Sementara Tama hanya tertawa mendengar ocehan Rani.

"Ngga usah dimasukin hati Mi, Rani tuh paling suka nyuruh kami kakak-kakaknya cepat menikah. Karena dia punya cita-cita nikah muda. Kalau dia melangkahi kami bertiga, nanti dia berat dipelangkahnya," ledek Tama.

"Ih, kakak nih, ngga gitu juga kali. Gini lho kak Mimi, aku tuh punya tiga kakak laki-laki yang udah pada cukup umur. Tapi ngga ada satupun yang menampakan tanda-tanda mau ngasih aku ipar. Padahal Ayah dan Ibu juga udah kepengen punya cucu."

"Eits, aku baru 20 mau 21 lho, masih belum masuk kategori layak nikah kalau untuk laki-laki, yang kan Bang?" tanya Tama pada Rendra.

"Betul Tam, laki-laki itu makin banyak umurnya, makin tinggi kharisma nya," jawab Rendra dengan pe de nya.

"Abang sih ngga nikah-nikah karena terjebak friendzone. Padahal dia udah kepengen sebenarnya," kata Mimi.

Rendra langsung melotot kearah Mimi, sementara Tama dan Rani memandang kearahnya dengan rasa ingin tahu.

"Jangan lihat aku seperti itu lah, jadi kayak penjahat rasanya," gurau Rendra.

"Tenang, nanti aku ceritain kalau Abang ngga lagi sama kita," kata Mimi masih dengan nada meledek.

"Kak Mimi nginep disini aja, biar bisa ngobrol kita. Aku tuh paling bosan di rumah, karena ngga ada teman."

"Wah, kalau sekarang ngga bisa Ran. Aku udah 5 hari pergi, sekarang harus pulang dulu. Kalau ngga, nanti dianggap anak hilang sama Ayah dan Bunda,. Atau kamu aja yuk ikut aku. Nginep di rumah aku."

"Jangan sekarang Mi, kamu kan capek juga. Nanti-nanti ajalah," sela Tama.

"Kalau gitu aku minta nomor telepon Kak Mimi ya?".

" Ada sama Tama kok Ran, nanti kamu minta aja sama dia," jawab Mimi.

"Udah malam, kita pulang yuk Dek!" ajak Rendra yang langsung disetujui oleh Mimi.

"Tam, makasih ya udah ngajak Mimi liburan. Dan Rani, terima kasih untuk makan malamnya," kata Rendra saat mereka berjalan keluar paviliun.

"Sama-sama Bang, senang bisa kenalan sama Abang. Sering-sering main kesini ya Bang. Atau mampir ke cafe aku Bang, sepertinya ngga jauh dari kantor Abang."

"Ooo cafe nya dimana Tam?"

"Nanti aku share location Bang."

Sebelum naik ke mobil, Rendra memindahkan barang-barang Mimi dulu.

"Ampun ini kamu ngeborong Mi?"

"Ngga Bang, itu dikasih Tama semua. Aku cuma beli yoghurt."

"Sekali lagi makasih ya Tam!" kata Rendra sambil menepuk bahu Tama. Lalu mereka pun berpamitan.

---

"Tama itu anaknya baik ya Dek?" kata Rendra sambil melirik Mimi yang duduk disampingmya.

"Iya Bang." jawab Mimi sambil setengah mengantuk.

"Kamu naksir dia ngga?"

"Hah?!" tanya Mimi seolah tak jelas mendengar jelas pertanyaan Rendra.

"Kamu naksir dia ngga?" ulang Rendra lagi.

"Abang nih aneh-aneh aja. Kami kan berteman aja Bang."

"Ya lebih dari teman juga ngga apa-apa."

"Ngga lah. Teman adalah teman," jawab Mimi sekenanya.

"Jangan gitu, ikutin alurnya aja. Takdir Allah siapa yang tahu," nasehat Rendra.

"Iya Bang, aku akan berusaha untuk ngga kayak Abang, terjebak dalam friendzone," ledek Mimi.

Rendra mengacak-ngacak rambut Mimi dengan gemas, "kamu tuh ya, kerjaannya ngeledek terus."

"Ya soalnya Abang juga iseng sih!".

" O iya Dek, Abang tuh penasaran soal yang waktu itu."

"Soal apa Bang?".

" Itu lho, waktu kamu minta Abang bawa payung dan jaket. Terus kamu juga tahu soal kejadian Maya, padahal Abang belum cerita."

Mimi memainkan jarinya, bingung mau menjawab apa. Kalau dia jujur, apa Rendra akan mempercayainya?

"Kok ngga dijawab Dek?".

" Kalau aku cerita, abang percaya ngga?".

"Ya cerita aja, Abang akan percaya."

Lalu Mimi mulai bercerita tentang keunikannya. Tentang mimpi-mimpinya yang selalu menjadi nyata di keesokan harinya. Mimi ceritakan semua pada Rendra, kecuali tentang Lelaki Kabut.

"Wah, sejak kapan kamu punya keistimewaan itu Dek?".

" Sejak kecil Bang, hanya saja aku ngga pernah cerita, takut disangka dukun," gurau Mimi.

"Ngga lah, Abang ngga akan nganggap kamu dukun kok. Terima kasih ya Dek, berkat kamu kemarin, Abang jadi bisa bantu menenangkan Maya."

Mimi mengangguk kecil sebagai jawaban.

---

"Duh, yang liburan, sampai lupa sama Bunda," kata Bunda sesampainya mereka di rumah.

Mimi hanya memeluk Bunda tanpa memberi jawaban. Sementara Rendra menurunkan barang-barang milik Mimi.

"Wah, banyak banget oleh-olehnya?" kata Ayah.

"Itu dari teman Mimi Yah, namanya Tama. Dia yang punya villa tempat kami liburan kemarin.."

"Baik banget, sampaikan terima kasih ya sama dia," kata Ayah lagi.

"Aku ke kamar dulu ya Yah, Bun, ngantuk sekali," pamit Mimi.

Mimi merebahkan tubuhnya di ranjang kesayangannya. Tubuhnya terasa kaku karena terlalu banyak duduk. Lima hari liburan terasa menyenangkan sekaligus melelahkan.

Bip.. Bip... Bip..

suara notifikasi pesan masuk terdengar dari ponselnya.

081********* : Assalamu'alaikum Kak Mimi, ini aku Rani. Kakak sudah sampai?

Mimi tersenyum membaca pesan itu,

Mimi : Wa'alaikumussalam Rani. Baru sampai nih. Aku save ya nomor kamu.

Lalu Mimi menyimpan nomor Rani di kontaknya.

Rani: Alhamdulillah, selamat istirahat ya Kak!

Mimi : Makasih Ran. Salam buat Tama ya. Tolong sampaikan kalau Ayah dan Bundaku titip ucapan terima kasih atas oleh-olehnya.

Rani : Kenapa kakak ngga bilang sendiri aja?

Mimi : Rencana besok aku mau sampaikan, tapi kebetulan kamu sedang ngobrol sama aku jadi, sekalian aja titip pesan 😁.

Rani : Kak Tama udah masuk kamar Kak. Besok aja aku sampaikan ya.

Mimi : Kalau begitu, biar besok aja aku hubungi dia.

Mimi menatap langit-langit kamarnya. Ada sesuatu yang aneh yang tengah dia rasakan. Namun dia sendiri tak mampu menjabarkannya.

Kadang manusia selalu takut melihat isi hatinya, sehingga memilih untuk pura-pura bodoh dan mengabaikan segala rasanya. Berharap Mimi bukan masuk kategori manusia penakut itu. Semoga Mimi hanya tengah berada dalam proses menilai isi hatinya sendiri, dan kemudian dia akan mendapat jawaban terbaik atas apa yang dia rasakan.