webnovel

Legenda Dewa Harem

Dulu dia dikenal sebagai Ares, dewa perang yang tak terkalahkan, tak tertandingi! Sekarang dia adalah Randika, penjual mie ayam pinggir jalan Akibat siasat busuk musuh bebuyutannya, dewa perang yang tegap dan kekar ini terpaksa menjadi pedagang kaki lima untuk memastikan teman-teman seperjuangannya tidak dihabis. Tanpa kawan, tanpa uang, tanpa apa-apa, Randika dipaksa menanggalkan masa lalunya yang penuh darah. Namun takdir berkata lain! ”Aku mau kamu jadi suamiku! Sekarang!” Teriak perempuan yang tidak mau menerima jawaban ‘tidak’ dari Randika. Perempuan sinting macam apa yang mau kawin dengan penjual mie ayam? Apalagi perempuan itu adalah Inggrid Elina, CEO super kaya yang bisa mendapatkan laki-laki siapapun yang dia ingini! Apa yang membuat Elina memaksa penjual mie ayam ini menikahinya? Bagaimana Radinka bisa menolak tawaran Elina yang kaya dan cantik jelita? Apapun jawaban Randika, sebuah sosok akrab dari masa lalunya akan segera kembali menghantuinya. Akankah ia menghadapi sosok itu seorang diri? Akankah kehadiran CEO sinting nan cantik ini membantu atau justru memperburuk keadaan Radinka?

Lao_Ban69 · Fantasi Timur
Peringkat tidak cukup
420 Chs

24 Namaku adalah Agus

Kota Cendrawasih, terminal bus

Terminal bus kota Cendrawasih hanya ada 1, jadi di sini selalu ramai. Bus antar kota menjadi salah satu alternatif kendaraan para warga ketika mereka ingin berpergian.

Sebentar lagi, bus yang menuju ke Desa Jagad akan tiba. Desa Jagad adalah destinasi terjauh yang bisa diantarkan oleh terminal ini. Tempat tersebut sangat terpencil dan terkenal masih belum maju. Tempat inilah yang menjadi tujuan Randika.

Sambil menunggu bus datang, Randika sempat berpikir bahwa dia sudah lama sekali meninggalkan tempat dia dibesarkan tersebut. Saat dia merasa sudah bisa hidup mandiri, dia mulai berkelana sendirian dan keluar dari negeri ini dan mendapatkan julukannya sekarang yaitu sang Dewa Perang Ares. Kenangan-kenangan masa lalu segera menghampirinya.

Ketika dia naik ke dalam bus, dia tidak ingin berada di belakang dan di dekat jendela. Dia hanya ingin mencari tempat duduk yang sepi karena suasana hatinya sedang tidak ingin berinteraksi dengan orang. Dia juga merasa lelah sejak dia datang di kota Cendrawasih. Dia kewalahan terhadap serangkaian peristiwa yang menimpanya dalam waktu berdekatan itu.

Setelah satu jam berkendara, akhirnya dia tidak bisa melihat lagi kota Cendrawasih. Karena desa Jagad ini dipenuhi oleh pegunungan, maka pemandangan kota berubah menjadi pemandangan alam.

Randika mulai merasa ngantuk di dalam bus. Pada saat dia memejamkan matanya, dua orang perempuan di samping kanan belakangnya sedang berbincang-bincang dan suaranya cukup keras. "Hei, tempat ini penuh dengan hutan. Apakah menurutmu ada orang jahat yang akan keluar dari balik sana?"

"Ah kamu itu ya! Bisa-bisanya berpikiran negatif seperti itu?" Temannya menambahi, "Berpikirlah yang positif-positif saja, toh ini juga bukan pertama kalinya kita pergi dengan bus ini."

"Bahkan kalau ada orang jahat yang muncul, kalian tidak perlu takut." Di saat ini, seorang lelaki muda menghampiri kedua perempuan ini dan ikut nimbrung dalam percakapan mereka. Wajah lelaki ini terlihat biasa-biasa saja.

"Kok bisa begitu?" Tanya Dewi kepada lelaki itu. Beberapa perempuan lainnya juga ikut tertarik dengan percakapan ini.

"Karena aku ada di sini!" Lelaki itu tersenyum dan mengatakan, "Aku adalah pemegang sabuk hitam di karate. Kalau cuma penjahat saja bisa kupukul dia sampai mati dalam 10 detik."

"Oya?" Dewi terdengar ragu dengan pengakuan lelaki ini. Perempuan yang mendengarnya pun juga ikut ragu ketika memperhatikan tubuh lelaki ini yang biasa-biasa saja.

"Hmm? Sini kutunjukkan."

Setelah berkata demikian, pria itu berdiri di tengah-tengah jalan dan menunjukan otot bisepnya. Otot bisepnya yang sekepal tangan itu dipadu dengan dada yang bidang.

Ketika melihat perubahan ini, para perempuan mulai teriak kagum. Si Dewi pun juga tidak ketinggalan, dia kagum dengan otot yang dimiliki pria tersebut.

Randika sudah malas mendengarkan mereka lagi. Dia kemudian menoleh ke samping kirinya dan berusaha tidur.

Sosok Randika yang memutar badannya itu telah dilihat oleh lelaki ini. Dia merasa bahwa lelaki yang sedang berusaha tidur itu terlihat menyedihkan. "Kalian lihat pria yang sedang tidur itu? Aku bisa menghabisi 10 orang semacam itu hanya dalam satu gerakan."

Ketika semua yang ada di sana melihat Randika, mereka tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.

Randika bahkan tidak ingin menggubrisnya dan masih berusaha untuk tidur.

"Hei, hei, bagaimana kamu melatih ototmu hingga sebesar ini?" Seorang perempuan menghampiri pria itu dan ingin menyentuhnya.

"Tentu saja dengan latihan dan makan makanan yang sehat." Pria ini kemudian berpose lagi. "Kalau kau melihat ototku ini, kau bisa merasakan bahwa otot ini terbentuk secara alami."

"Apakah kita bisa memperkecil perut kita dengan cepat?" Tanya perempuan yang lain.

"Tentu saja!" Pria itu menoleh ke perempuan tersebut. "Selama metode kalian benar maka mengecilkan perut hanyalah masalah gampang. Kalau kalian mau, aku akan membantu kalian mendapatkannya hanya dalam waktu 10 hari!"

Perempuan-perempuan yang lain segera berteriak riang. "Wah! Bagaimana caranya? Ajarkan kami dong tolong!"

"Kalau begitu, aku minta nomor kalian dulu. Ketika kita kembali ke kota Cendrawasih, aku akan mengajarkan kalian secara privat."

"Baiklah kalau begitu."

Semua perempuan di sana setuju.

Randika dalam hati benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Caranya merayu cewek benar-benar hina menurutnya. Apakah lelaki itu perlu segitunya? Kalau dia sabar seperti dirinya maka cewek akan datang sendirinya dan mengajaknya menikah suatu saat nanti seperti dirinya ini.

Bus berkendara dengan kecepatan yang lumayan pelan karena jalannya yang menanjak. Pemandangan alam di luar jendela semakin lebat. Dalam beberapa jam lagi, kota Kebon Raya akan terlihat.

Kota Kebon Raya terkenal akan alamnya yang sangat rindang dan tempat ini sering menjadi tujuan wisata orang-orang. Tempat yang Randika tuju adalah salah satu desa terpencil yang ikut bagian dari kota ini. Saking terpencilnya, jarang orang mengetahui keberadaan desa ini karena letaknya yang ada di bawah kaki gunung.

Sekumpulan anak muda itu masih berbincang-bincang. Pada saat ini, bus ini berhenti untuk mengisi ulang bahan bakar dan mendapatkan 5 penumpang baru. Setelah semua selesai, mereka kembali melaju.

"Kalian tahu gak, ketika aku berlomba dulu dan menjadi juara 1 nasional, aku hanya membutuhkan 3 gerakan dan lawanku terpental jauh dari ring." Lelaki itu terus-terusan membual.

Randika masih terus menutup matanya. Pria ini benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti.

Namun nyatanya para perempuan mendengarnya dengan antusias. Perjalanan antar kota ini membosankan, jadi mendengarkan cerita ataupun bercakap-cakap adalah salah satu hiburan.

Untuk mencapai destinasi terakhirnya yaitu desa Jagad, bus harus melewati jalanan gunung. Oleh karena itu, jalan yang dilaluinya sangatlah sepi. Di saat itu juga, terdengar sebuah teriakan dari dalam bus, "Jangan bergerak! Keluarkan semua uang kalian!"

Penumpang baru yang berjumlah 5 orang sebelumnya mengeluarkan pistol. Satu orang dengan cepat menuju kursi supir dan sisanya menodong ke arah penumpang.

Ckit!!!

Suara rem bus terdengar keras dan bus perlahan berhenti. Suasana di dalam bus juga menjadi hening.

"Kalian semua turuti kata-kata kami dan tidak akan ada yang terluka. Sekarang keluarkan semua barang berharga dan uang kalian!" 3 orang bertugas untuk mengumpulkan barang jarahan dan 1 orang mengawasi keadaan dari belakang.

Semua orang tampak menundukkan kepala dan Dewi gemetar ketakutan, "Bagaimana mungkin bus kita didatangi perampok."

Teman-teman perempuan Dewi juga ketakutan semua, ini pertama kalinya mereka mengalami hal seperti ini.

Seorang perampok mendatangi Randika dan orang yang duduk di samping Randika segera mengeluarkan dompet dan handphonenya.

"Bisakah aku meminta KTP dan SIM milikku?" Tanya penumpang itu.

"Baiklah." Perampok itu kemudian mengambil dompetnya dan melihat kartu ATM. Di saat yang sama, dia bertanya. "Berapa nomor pinnya?"

"Ah!" Penumpang ini tidak menyangka akan ditanyai.

"Kau tuli atau apa? Aku tanya sekali lagi, berapa nomor pinnya atau kutembak kau sekarang!" Perampok iki mulai geram.

"123412" Kata penumpang itu sambil gemetar.

"Anak pintar." Setelah itu dia melemparkan dompetnya kembali.

"Hei sekarang giliranmu! Jangan pura-pura tidur." Perampok itu mendorong Randika.

Randika yang baru bangun masih setengah sadar, "Hmm? Ada apa?"

"Keluarkan barang berhargamu." Kata perampok itu sambil menodongkan pistolnya.

Randika pura-pura ketakutan. Dia mulai meraba-raba kantongnya dan setelah beberapa saat dia hanya mengeluarkan sebuah tiket. Setelah menyadari keadaannya, Randika hanya menoleh ke arah si perampok dan mengatakan, "Aku sudah menghabiskan seluruh uangku untuk membeli tiket ini, aku sudah tidak punya apa-apa lagi."

Si perampok kemudian mengambil tiket itu dan memeriksanya, "Desa Jagad? Ternyata bocah desa ini memanglah miskin." Teman-teman perampoknya ikut tertawa.

Randika sendiri ingin tertawa sekaligus menangis. Reputasi desa Jagad sebagai desa miskin ternyata sudah menyebar.

Melihat bahwa percuma terus-terusan memalak si bocah desa itu, si perampok segera menuju penumpang yang lain.

Kali ini, si perampok mendatangi sekumpulan perempuan. "Keluarkan barang berharga kalian!"

Semua perempuan itu ketakutan dan menuruti perampok ini.

"Hei, bukannya kau mengatakan bahwa kau sabuk hitam di karate?" Tanya seorang perempuan kepada lelaki yang sebelumnya membual terus.

Lelaki itu merasa jantungnya berhenti berdetak. Musuh membawa pistol dan dia hanya tangan kosong. Terlebih lagi, mereka berlima dan dia sendirian. Bagaimana bisa dia menjatuhkan mereka semua hanya dengan tangan kosong?

"Apa yang barusan kau bilang?" Si perampok samar-samar mendengar percakapan mereka dan mulai mengokang senjatanya.

Lelaki ini segera ketakutan. Tolong todong orang lain saja bukan aku.

Namun pada saat itu juga, seorang perempuan berdiri dan mengatakan. "Dia ini adalah pemegang sabuk hitam karate dan juga juara tingkat nasional!"

Mati aku!

Lelaki itu segera menjadi pucat. Matanya tampak berair dan mulutnya tampak mengering.

"Oh?" Si perampok segera menoleh ke arah lelaki itu dan para perempuan juga memberikan tatapan penuh makna.

"Juara nasional?" Kata perampok itu sambil tersenyum. "Kalau begitu berdirilah!"

Lelaki itu sudah tidak ingin menjaga citranya dan berusaha menyelamatkan dirinya dengan mengatakan, "Haha bohong itu, aku berbohong kepada para perempuan itu. Aku hanya bocah yang membawakan air."

Sesaat setelah kata-kata itu keluar, Dewi dan teman-temannya merasa kecewa dan bodoh karena sudah mempercayai kata-kata orang itu.

Bisa-bisanya dia bohong?

"Ha? Memangnya aku peduli?" Si perampok menodong kepala lelaki itu dan mengatakan, "Aku ingin kau berdiri sekarang juga."

Lelaki itu tidak punya pilihan dan berdiri sambil mengangkat tangannya.

"Kalian tadi ngomong kalau orang ini adalah pemegang sabuk hitam karate? Aku tidak pernah melihat sabuk hitam menari jadi aku harap kau bisa menghiburku."

Lelaki itu merasa bingung. Si perampok segera menambahkan, "Kenapa? Kau ingin mayatmu menari-nari di lantai? Cepatlah menari atau kutembak kau!"

"Baiklah, baiklah aku akan menari."

Lelaki itu segera menari. Karena tidak pernah menari sebelumnya, gerakannya sangat kaku bagai katak yang melompat.

"Bah! Merusak mata saja." Si perampok menendang lelaki itu dan melemparnya kembali ke tempat duduknya. Para perempuan berteriak melihat kekerasan ini.

"Jika kau tidak segera mengeluarkan uang kalian, akan kutambahkan satu lubang di kepalamu." Kata si perampok.

Lelaki itu segera mengeluarkan isi kantongnya dengan cepat. "Ini semua yang kupunya."

Si perampok melihat sekumpulan uang itu dan tersenyum, "Wah ternyata kau orang kaya."

Uang yang diberikan lelaki itu lebih dari 5 juta, jumlah yang melebihi harapan para perampok ini.

Pada saat ini, salah satu perampok lainnya datang. Dia bukan ingin menghajar lelaki ini tetapi matanya tertuju pada para perempuan. Tatapan matanya dipenuhi oleh nafsu.

"Kak, lihatlah para perempuan ini. Mereka cantik-cantik dan muda-muda." Matanya tertuju pada Dewi. "Kita sudah lama tidak mencicipi hidangan seperti ini dan jumlah mereka juga ada 5, bagaimana kalau seorang mengambil satu dan bersenang-senang?"

Si perampok itu kemudian melihat wajah-wajah para perempuan itu dan mengangguk.

Dia kemudian menoleh ke temannya yang menyandera si supir. Dia kemudian berteriak kepadanya, "Hei, kita akan membawa kelima perempuan ini juga. Malam ini akan menyenangkan!"

"Tidak!" Dewi segera diseret paksa oleh salah satu perampok. Dewi segera meronta-ronta sambil menangis, dia tahu bahwa kalau dia sampai dibawa oleh mereka maka dia tidak akan bisa kembali melihat keluarganya.

Semua lelaki di bus cuma terdiam. Mereka aslinya ingin menghentikan ini tetapi para perampok ini memiliki pistol jadi mereka tidak bisa berbuat macam-macam.

Ketiga perampok lainnya segera menarik keempat perempuan sisanya. Mereka juga meronta-ronta sambil memohon ampun, karena mereka perempuan mereka tidak bisa melawan tarikan para perampok ini.

Namun pada saat ini, sebuah suara muncul. "Baiklah, kalau kalian hanya mengambil uang dan barang berharga orang-orang aku akan tetap diam. Tetapi sampai ingin menculik orang khususnya perempuan, aku sudah tidak bisa tinggal diam melihat kalian para sampah masyarakat ini bertindak semaunya."

Para perampok segera berhenti dan melihat sosok Randika yang berdiri. Randika menatap tajam setiap perampok tersebut. Para perampok ini melihat sesama mereka dan tertawa. Bocah miskin dari desa berani berulah?

Dalam sekejap mereka merasa bahwa bocah itu sudah gila.

"Hei bocah miskin, jangan ikut campur. Bisa apa kau memangnya?" Kata salah satu orang. "Aku penasaran apa yang memangnya kau bisa lakukan? Jika kau ingin sok menjadi jagoan, aku akan dengan senang hati membunuhmu."

"Omong kosong." Kata Randika sambil menggelengkan kepalanya. "Aku bisa menghabisi kalian semua dalam sekejap."

Setelah mendengar perkataan Randika, para perampok ini segera menodongkan pistolnya ke arah Randika. Semua yang ada di sana segera tiarap.

Namun tiba-tiba, sosok Randika sudah menghilang dan tiba di hadapan salah satu perampok. Dia segera menggenggam erat pergelangan tangannya. Ketika dia meremasnya, orang tersebut segera berteriak kesakitan dan menjatuhkan senjatanya. Randika segera mengamankan pistol tersebut.

Berhasil merebut satu pistol, Randika segera mengokangnya dan membidik ke arah perampok yang berada di sebelah kursi supir. Dia lalu menembaknya.

Klik! Klik!

Randika kaget, ternyata selama ini pistol ini tidak ada pelurunya. Pistol palsukah?

Namun di saat ini, salah satu perampok membidik Randika dan menembakkan pistolnya. Satu peluru tengah mengarah ke Randika!

Dengan kecepatannya yang luar biasa, Randika segera mengelak dan melempar pistol palsunya itu. Teralihkan perhatiannya, Randika segera berubah menjadi bayangan dan melesat ke arah perampok itu. Tangan kanannya memiliki momentum kecepatan sehingga sekali pukul saja sudah berhasil membuat perampok itu pingsan.

Keempat perampok lainnya hanya bisa melihat sosok Randika berada di atas tubuh kawan mereka yang pingsan dan sedang membidik mereka dengan pistol asli.

"Dari lima orang, seharusnya satu adalah pistol yang asli." Kata Randika dengan santai.

Salah satu perampok merasa panik dan menyandera salah satu orang, berusaha menutupi laju tembakkan Randika. Namun dalam sekejap Randika berhasil menembak pergelangan tangannya.

"Ah!"

Ringkikan kesakitan terdengar dan ketiga perampok lainnya tidak berani bertindak macam-macam.

Randika segera menghampiri mereka semua dan memukul mereka hingga pingsan.

"Ikat mereka dan serahkan mereka ke pihak berwenang." Setelah memastikan semua aman, Randika memutuskan untuk kembali tidur.

Semua orang yang ada di dalam bus tercengang. Dewi melihat Randika dengan mata yang terkagum-kagum. Bagaimana mungkin orang biasa sepertinya bisa begitu kuat dan berani? Dia merasa malu karena sudah mengejeknya sebelumnya. Orang ini telah melumpuhkan para penjahat dengan tangan kosongnya. Bisa dipastikan kalau dia menginginkannya, dia bisa membunuh mereka kapan saja.

Para perempuan lainnya juga memandang Randika dengan tatapan penuh syukur. Kalau bukan karena Randika, mungkin mereka sudah tidak akan pernah melihat keluarga mereka lagi.

Meskipun mereka sempat mengejek Randika sebelumnya, Randika masih mau menyelamatkan mereka. Sungguh dermawan sekali.

Tatapan mata Dewi benar-benar tidak bisa lepas dari Randika. Dia tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya, "Terima kasih atas pertolonganmu. Bolehkah aku tahu siapa namamu?"

"Tidak perlu berterima kasih padaku." Randika masih menutup matanya. "Namaku Agus."