webnovel

POV Maya

“Kamu hampir 30 tahun nduk... Terus kapan kamu nikah?”

Sekali lagi, pertanyaan itu terlontar dari perempuan paruh baya di depanku. Kecantikannya tak memudar meski kulitnya mulai diliputi keriput.

“Maya belum ingin menikah Bu. Bukankah hidup kita sudah cukup bahagia sekarang ini. Hanya Ibu dan aku, kita tidak memerlukan orang lain masuk ke dalam keluarga kita.”

Ibu menatapku sendu, kulihat bulir bening mulai mengambang di sudut matanya.

“Ini salah Ibu... Karena membuatmu membenci laki-laki.”

Kupeluk bahu Ibu dengan erat, air matanya mulai mengalir.

“Ibu tidak salah... Ibu hanya mencoba bertahan membesarkan Maya seorang diri.”

Tak bisa kupungkiri, trauma masa kecilku masih membekas di benakku.

Hingga detik ini masih bisa kurasakan perihnya pelipisku saat tangan yang besar dan kasar milik seorang laki-laki yang kupanggil bapak, menghantam kepalaku.

Lengan kiriku retak saat tubuh kecilku menghantam meja, hingga meja kayu itu terbelah menjadi dua bagian. Sedangkan di pojok ruangan, ibuku meringis kesakitan. Sekujur badannya memar setelah dijadikan sansak oleh bapak.

“Hehhh...” Aku mendengus kesal

Mencoba mengusir sekelebat bayangan masa lalu yang sangat ingin kubuang jauh-jauh.

“Maya tidur dulu ya Bu... Besok harus berangkat pagi-pagi ke bandara.” Kataku sambil beranjak.

“Iya... tidurlah. Ibu masih belum mengantuk.”

“Jangan terlalu larut Bu... Biar kaki Ibu tidak linu-linu karena udara dingin.”

“Iya Nduk...”

****

Jam 7 pagi aku sudah bersiap di samping mobil dengan Pak Yadi sebagai supirnya.

Pak Yadi adalah Sopir di kantor tempatku bekerja.

Tugas utamanya adalah mendistribusikan barang-barang yang berhubungan dengan inventaris kantor, termasuk mengantar barang penjualan ke konsumen, mengantar team pemasaran ke lapangan dll.

Aku hanya meminta bantuannya di luar jam kerjanya, kali ini aku memintanya mengantarku ke bandara. Tentunya dengan memberinya tip dari uang pribadiku.

Setelah aku memastikan bahwa semua kebutuhan Ibu selama sebulan sudah tersedia, aku masuk ke dalam mobil.

“Bulek ... Titip Ibu ya.” Kataku pada Bulek Tatik.

Tetangga yang sehari-hari menjaga dan menemani Ibuku.

“Iya mbak.... Jangan khawatir.”

Bulek Tatik adalah seorang janda 2 anak. Suaminya meninggal karena kecelakaan.

Berhubung sejak setahun lalu aku mutasi ke kantor cabang yang lumayan jauh dari rumah Ibu, Bulek Tatik lah yang menemani dan menjaga Ibu.

Selama perjalanan, pembicaraan tadi malam masih terngiang di di telingaku.

Bukan tanpa sebab Ibu memintaku segera menikah. Kesibukanku, yang telah membuatku tak lagi selalu ada di samping Ibu, membuat rasa kesepiannya semakin menyiksa. Beliau sangat berharap aku segera menikah dan memberikannya cucu, menjadi hiburannya dan menghilangkan rasa kesepian di hari-hari tuanya.

Tapi, sampai saat ini aku belum mampu memenuhi harapannya.

Bukan karena tak ada satupun laki-laki yang mencoba mendekatiku, hanya saja aku yang tak membiarkan siapapun mendekat.

Sejak di sekolah menengah, entah berapa banyak teman laki-laki yang mencoba menarik perhatianku, dari yang hanya sekedar mengucapkan selamat pagi lalu diam-diam mencuri pandang, sampai yang terang-terangan mengucapkan cinta di lapangan saat upacara akan berakhir.

Belum lagi surat, coklat, pernak-pernik dan bunga yang setiap pagi memenuhi laci mejaku di kelas. Walaupun pada akhirnya semuanya berakhir di tangan teman-teman sekelasku.

Jika mengenang masa-masa itu, dalam hati kecilku aku sangat bersyukur memiliki teman-teman sekelas yang sangat sportif, dengan banyaknya perhatian yang aku terima, tak ada satupun teman sekelasku yang menjadikanku bahan bullyan.

Entah karena mereka memang segan padaku atau justru takut dengan sikap dinginku.

Aku hanya merasakan ketenangan karena tak ada yang menggangguku, karena selain termasuk siswi berprestasi, aku juga pemegang sabuk hitam karate yang beberapa kali berhasil mendapatkan medali dari arena pertandingan.

Yang kutahu, setiap laci mejaku penuh dengan barang-barang, mereka dengan senang hati membantuku membersihkannya.

Semua surat akan menjadi penghuni tetap laci mejaku (walaupun pada akhirnya aku membawanya pulang dan kubakar di tempat sampah). Bunga dan pernak-pernik menjadi bagian kaum Hawa sedangkan coklat dan camilan menjadi bagian kaum Adam.

Dan aku hanya memandang sekilas melihat antusias mereka saat memilih barang yang disukainya.

Selama tak mencoba masuk lebih jauh dalam hidupku, mereka tahu aku tak keberatan bila mereka membagi-bagikan barang2 pemberian itu. Toh jika mereka tak mengambilnya pun, semua barang itu hanya akan berakhir di tempat sampah.

Saat kuliah pun tak jauh berbeda, beberapa mahasiswa datang dan pergi seperti angin lalu saja bagiku.

Mereka mencoba berbagai cara untuk menarik perhatianku. Namun pada akhirnya mereka hanya akan berlalu begitu saja saat tak satupun dari mereka berhasil mendekatiku.

Bagiku sendiri, masa kuliah adalah masa penuh perjuangan. Masa-masa penuh peluh dan keringat yang takkan pernah terlupakan.

Kuliah sambil kerja adalah 2 hal yang tak pernah bisa dipisahkan dari hidupku.

Demi membiayai kuliahku sendiri, disela-sela jadwal kuliah, aku bekerja sampingan sebagai freelance Sales Promotion Girl. Mulai dari produk kecantikan, rokok, minuman ringan sampai mobil pernah aku lakukan.

Sejak usiaku 11 tahun, Ibuku menjadi single parent yang membesarkanku seorang diri. Beliau adalah seorang guru di sebuah Sekolah Menengah.

Walaupun seorang PNS yang digaji negara, namun gaji Ibu sebagian besar harus di potong untuk membayar hutang yang ditinggalkan oleh Bapakku. Hanya sebagian kecil saja dari gajinya yang bisa kami gunakan untuk membiayai hidup kami sehari-hari. Oleh karena itu, untuk biaya kuliah aku harus berjuang mendapatkannya sendiri.

Selain aku harus berpikir keras untuk mempertahankan IPK sebagai syarat melanjutkan beasiswa, aku juga harus bekerja keras untuk mendapatkan biaya hidup selama kuliah. Demi kedua hal itu, aku tak punya waktu untuk terlibat cerita cinta seperti umumnya dunia mahasiswa.

Pada akhirnya aku lulus dengan predikat cumlaude tanpa pernah sekalipun memiliki pacar.

Dan inilah aku....

Sampai usiaku genap 28 tahun pun, hatiku seolah membeku, belum ada satupun laki-laki yang mampu mencairkannya.

Apa yang pernah kulalui dalam hidupku begitu sulit kulupakan.

Luka di masa kecil itu masih terasa perih, tak hanya meninggalkan bekas di lenganku, tapi juga di hatiku....

*****

Jam 9.30 WIB aku sampai di bandara, masih ada 45 menit lagi sebelum take off.

Sambil menarik koper, aku melangkah santai menuju tempat check in. Suasana antrian agak sedikit panjang, aku segera ikut mengantri di barisan belakang.

Sempat kudengar keributan dari sisi kiriku saat tiba-tiba seseorang menabrak koper di tanganku dan membuat pegangannya terlepas dari genggaman.

Bruuuk... bruk.. bruk...

Saking kerasnya tabrakan itu membuat koperku terhempas beberapa meter jauhnya hingga beberapa kali membentur koper2 yang berjajar.

Aku yang terkejut setengah mati, hanya berdiri menatap tak percaya saat koper2 itu saling bertubrukan.

Seorang laki-laki berjaket kulit, setengah berlari mengejar koper yang meluncur tak tentu arah.

Tak lama dia kembali menuju arahku sambil menenteng koper milikku.

“Maaf kak.. Maaf. Aku tidak sengaja menabrak kakak.” katanya penuh penyesalan.

Kedua tangannya tertangkup di depan dada memohon maaf.

“Iya gak apa-apa... Lain kali tolong hati-hati.” Jawabku singkat seraya mengambil koper di depannya.

“Maaf ya Kak...” Katanya sekali lagi, aku hanya tersenyum tipis menanggapi.

Setelah beberapa saat waktu seolah berhenti karena insiden itu, antrian di depanku mulai bergerak maju. Aku segera mengarahkan pandanganku pada beberapa orang yang masih ada di depanku.

Sedangkan laki-laki yang menabrakku tadi, sekarang tepat berdiri di belakangku ikut mengantri.