"Iya." Utari menghentikan sikap kekanakkan Ara dengan menepis tangannya dari bajunya. "Maka dari itu jaga sikap kamu!" Desis Utari memperingatkan, kemudian ia menatap Naraya. "Kamu juga, ingat yang tadi tante bilang! Jangan bikin malu!"
Rafael hanya bisa geleng- geleng kepala melihat tingkah Utari dan Ara, serta bagaimana Utari memperlakukan Naraya.
Ara masih terperangah tidak percaya dengan siapa dia akan bertemu nanti, kalau tahu akan seperti ini tentu saja Ara tidak akan hanya berdandan asal di rumah, tentu ia akan pergi ke salon dan memanjakan diri seharian disana sebelum datang ke undangan makan siang ini.
Ara ingin marah kepada ibunya karena tidak memberitahukannya terlebih dahulu, tapi sayangnya pintu ruangan sudah dibuka oleh Rafael seraya ia menahannya untuk mempersilahkan ketiga wanita itu masuk.
Saat berjalan memasuki ruangan, Ara tanpa sadar melongo melihat ruang kantor yang luas dan mewah yang kesemua temboknya terbuat dari kaca, sehingga orang di dalamnya dapat melihat pemandangan seluruh kota.
Ruangan tersebut terkesan minimalis tanpa banyak perabotan yang tidak perlu dengan dominasi warna putih dan ungu.
Di sisi kiri ruangan terdapat meja besar dengan kursi kerja yang terlihat nyaman dan mahal, sementara tepat di hadapan Ara saat ini adalah sofa yang membentuk leter 'U' berwarna putih.
Walaupun Ara pernah memasuki ruang kerja seorang direktur di tempatnya magang, tapi apabila dibandingkan dengan ini, sungguh jauh berbeda dan tidak bisa di bandingkan karena kemewahan dan elegansi yang terpancar dari ruang ini berada di kelas yang tidak sama.
Utari pun memeliki reaksi yang tidak jauh berbeda dari Ara, tapi ia mampu menguasai dirinya dengan baik dan menyembunyikan kekagumannya dengan senyum yang dibuat- buat.
Sementara Naraya, ia tidak memiliki reaksi apapun, karena tidak ada kemewahan dan keindahan dari tempat ini yang dapat memanjakan matanya.
"Silahkan di sebelah sini." Rafael mempersilahkan mereka masuk dan berjalan ke arah sebelah kanan ruangan.
Dan di sisi kanan ruangan merupakan meja pertemuan yang menyerupai meja meeting, dengan kapasitas cukup untuk menampung 10 sampai 12 orang disana.
Uniknya, bagian di sisi kanan sedikit naik dengan dua anak tangga, menjadikan bagian ini seperti sebuah panggung teater.
Kemungkinan meja tersebut lebih sering di gunakan untuk internal meeting apabila tidak ada acara seperti ini.
Dan disana, sudah duduk lima orang dengan aura yang berbeda dari orang- orang yang biasa Ara dan Utari temui.
Sosok mereka saja mampu membuat kedua perempuan tersebut fokus kepada mereka dan merasa terintimidasi.
Sambil berjalan, Utari menggenggam tangan Naraya dan menariknya untuk mengikuti langkahnya.
"Ingat apa yang tante katakan tadi." Desis Utari yang hanya dapat di dengar oleh Naraya saja, ia mencengkeram tangan Naraya sebagai peringatan kalau- kalau perempuan ini tidak menanggapi serius perkataannya.
Namun sayangnya peringatan Utari membuat Naraya tersentak kaget dan karena Utari pun tidak memperingatkan Naraya mengenai adanya dua anak tangga di depannya, Naraya yang tidak bisa melihat itu tersandung dan jatuh tersungkur.
Hal ini tentu saja mengejutkan semua orang yang hadir disana, kecuali dua orang yang duduk dengan santai di bangku mereka masing- masing tanpa adanya ekpresi terkejut di wajah keduanya.
Kedua orang tersebut adalah Liam dan Amira Prihadi. Kedua ibu dan anak tersebut menyaksikan kejadian tersebut tanpa sedikitput tergerak untuk membantu Naraya atau sekedar bertanya apakah perempuan muda tersebut terluka atau tidak.
Karena biar bagaimanapun juga, Naraya adalah tamu yang telah mereka undang untuk datang ke acara makan siang ini.
"Sepertinya kamu sama sekali tidak terkejut…" Amira berkomentar dengan santai sambil melirik Liam yang duduk di sebrang kursinya.
Pebisnis muda tersebut menopang sisi wajahnya dengan kepalan tangan kanannya dengan menumpukan sikunya di atas meja. Gestur Liam tersebut menampilkan sikap malas dan cuek yang justru sangat menarik untuk diperhatikan.
Ada senyum sinis yang terukir di sudut bibir Liam ketika ia menjawab komentar ibu tirinya tersebut. "Ibu mau sebuah kejutan?" Tanya Liam sambil menatap Amira.
"Jangan panggil aku 'ibu'! aku bukan ibumu!" Sergah Amira dengan suara pelan sehingga orang- orang yang beranjak berdiri dari bangku dan menghampiri Naraya tidak dapat mendengarnya.
Dia tahu kalau Amira sangat tidak suka kalau Liam memanggilnya dengan sebutan 'ibu', justru karena itulah Liam terus memanggilnya dengan sebutan 'ibu' untuk membuatnya jengkel.
Liam tidak membalasnya dan hanya tertawa pelan sambil berdiri untuk menghampiri calon istrinya yang malang.
Sementara itu, Ara tidak memiliki waktu untuk perduli pada sepupunya tersebut, karena saat ia melihat sosok asli Liam secara nyata, seluruh fokusnya hanya tertuju pada pria yang tampil sangat sempurna ini.
Dari caranya berjalan, mengerutkan dahinya, memiringkan kepalanya dan dari cara ia tersenyum dengan sinis, seluruhnya tampak sangat menarik di Ara.
Ia tertegun, terhipnotis saat melihat Liam. Seluruh foto yang Ara telah lihat merupakan kebohongan, karena Liam jauh lebih memikat saat ia melihatnya secara langsung.
Di lain sisi, Liam, yang merasakan sorot mata Ara yang penuh dengan pemujaan, sengaja untuk tidak menatapnya kembali.
Sorot mata seperti itu bagi Liam sangatlah menjijikkan. Dia bisa memiliki ratusan wanita yang akan menatapnya seperti itu dan Ara bisa bergabung bersama mereka.
"Bisa berdiri?" Tanya Asha sambil mengulurkan tangannya, namun tidak disambut oleh Naraya, hal ini membuat Asha bingung, karena ia mengulurkan tangannya tepat di depan perempuan muda tersebut.
Asha merupakan seorang wanita yang sudah menginjak usia senja namun masih terlihat sangat enerjik dan awet muda karena perawatan- perawatan mahal yang rutin ia lakukan setiap hari.
Utari yang melihat ekspresi Asha sedikit berubah, buru- buru menjelaskan. "Oh, maaf." Utari kembali meminta maaf sambil menggenggam tangan Naraya dan meletakkannya di atas tangan Asha yang terulur. "Naraya tidak bisa melihat…" Sambil meminta maaf berulang kali pada Barata, Narendra dan Asha atas kecerobohan Naraya.
"Tidak bisa melihat?" Asha membantu Naraya untuk berdiri dengan di bantu oleh Narendra, putranya. "Apa maksudnya"
Bukan hanya Asha tapi juga Narendra dan Barata sama bingungnya dengan dirinya.
Melihat hal ini, Utari justru melirik Rafael yang masih berdiri di sebelahnya sambil berkata tanpa pikir panjang. "Mereka belum tahu mengenai kondisi Naraya?" Tanya Utari tidak mengerti.
"Kondisi Naraya? Ada apa dengannya?" Narendra kemudian memperhatikan Naraya dengan lebih seksama sampai ia menyadari apa yang salah dari diri perempuan calon menantunya ini.
Tapi, sebelum Narendra dapat mengatakan sesuatu, ibunya, Asha, sudah lebih dulu mengucapkannya.
"Dia buta…" Ucapnya dengan tidak percaya.
Kata- kata ini membuat Barata mengerutkan keningnya. "Apa!? Buta?" Suaranya sedikit meninggi saat ia mengulangi kata- kata Asha.