"Coba katakan sekali lagi." Tiba- tiba suara Liam berubah menjadi dingin.
Mungkin karena Naraya merasakan perubahan nada bicara Liam atau juga karena dia merasakan aura yang berbeda dari Liam yang membuat udara menjadi lebih berat, Naraya kemudian menurunkan pandangannya, meletakkan tangannya di atas pahanya.
"Aku mau kembali ke sekolahku yang lama." Ucap Naraya dengan nada yang sangat pelan, namun di ruangan senyap ini, tentu saja Liam dapat mendengarnya dengan jelas.
Entah kenapa Naraya bisa berkata seberani itu pada Liam dengan mangatakannya memiliki pemikiran yang dangkal.
Tapi, kalau Naraya memikirkannya lagi, mereka berdua memang seperti ini sejak pertama kali bertemu. Terutama disaat Liam mulai memaksakan kehendaknya dengan berkata seenaknya saja pada Naraya.
"Tidak." Ujar Liam dengan tegas. Kali ini, nada bicara Liam seperti seorang atasan yang menolak dengan keras ide bawahannya karena tidak sesuai dengan pemikirannya. "Kamu akan homeschooling."
Naraya menggigit bibir bawahnya dan turun dari bangku bar, kemudian berjalan dengan terhuyung- huyung karena kakinya yang sakit, menjauh dari Liam. Gadis itu terlalu kesal untuk berlama- lama berada di dekat Liam.
Tapi, Naraya tidak mau bicara sembarangan lagi, takut Liam naik pitam dan mengembalikannya ke rumah tante Utari.
Biarlah Naraya menghadapi sikap otoriter Liam, setidaknya dia tidak membiarkannya kelaparan dan memberikan tempat tinggal yang layak padanya, dan juga perlindungan…
Kata terakhir itu membuat amarah Naraya sedikit menurun. Setidaknya Liam melindunginya, kan?
"Berjalan agak ke kiri, di depanmu ada guci antik ku."
Naraya mendengar suara Liam dari arah belakang, memperingatkannya. Dan benar saja, Naraya dapat merasakan permukaan guci yang dingin, yang ia perkirakan setinggi dirinya, tepat berada dihadapannya.
Mengikuti kata- kata Liam, Naraya berjalan ke arah sebelah kiri, menuju kamar.
Walaupun Naraya pun kesal pada Liam, tapi dia tidak berani membanting pintu, takut Liam akan semakin murka.
Naraya cukup tahu diri untuk tidak membuat si pemilik tempat ini marah.
Di bar counter di dapur, Liam menatap pintu kamarnya yang menutup, menghalangi sosok mungil Naraya di baliknya.
Saat Liam kembali mengalihkan perhatiannya ke laptop di hadapannya, di saat yang bersamaan ponselnya berdering.
Nama Raka tertera di layarnya.
"Ya?" Ucap Liam singkat saat ia mengangkat panggilan tersebut, lalu mendengarkan suara Raka yang menjelaskan padanya mengenai suatu hal. "Tunggu saya disana." Liam kemudian mematikan sambungan telepon tersebut dan laptopnya.
Dia kemudian beranjak untuk mengambil kunci mobil dan kemudian berjalan menuju pintu keluar, namun langkahnya terhenti begitu melihat pintu kamarnya yang tertutup.
Liam menghembuskan nafasnya dengan berat sebelum akhirnya memutuskan untuk menghampiri gadis yang tengah merajuk.
Merajuk?
Entah kapan terakhir kali ada orang yang merajuk padanya, atau mungkin memang sama sekali tidak pernah ada? Entahlah, Liam tidak pernah mengingat hal- hal semacam ini.
Begitu pintu kamar terbuka, Liam mendapati Naraya tengah duduk di lantai, bersandar pada kasur di belakangnya sambil mendengarkan sesuatu dari walkman tua di tangannya.
Walkman itu sangat tua, Liam bahkan tidak tahu kalau benda seperti itu masih dapat berfungsi.
Ia kemudian duduk di lantai di samping Naraya yang secara tidak langsung mengumumkan kehadirannya pada gadis ini.
"Liam?" Naraya mencabut earphone dari telinganya dan meraba orang disebelahnya, karena tidak ada suara jawaban darinya. "Liam?"
Tangan Naraya merraba pundak pria tersebut, kemudian kewajahnya, namun dia masih juga tidak bersuara ataupun bergeming. Hingga jemari Naraya menyentuh telinganya, lalu dengan kesal menarik cuping telinga pria tersebut dengan kesal.
Barulah saat Liam menyadari apa yang gadis itu lakukan, dia berteriak dan dengan kesal melepaskan tangan Naraya dari telinganya.
"Oh, benar Liam…" Ucap Naraya seolah merasa lega. Dia memasang wajah polos hingga Liam harus memelankan suaranya.
Dia benar- benar tidak habis pikir bagaimana caranya menghadapi makhluk satu ini. Liam terbiasa dengan kehidupan yang penuh dengan intrik dan plot.
Liam terbiasa mengkalkulasi setiap tindakan dan keputusan yang akan di ambilnya karena itu akan berdampak pada hidupnya juga.
Liam terbiasa bersama wanita hanya untuk memuaskan kebutuhannya sebagai pria tanpa perlu memikirkan kata- kata apa yang harus ia ucapkan ataupun sikap yang harus dia jaga.
Liam terbiasa dengan itu semua, tapi Naraya tidak bisa di samakan dengan mereka.
Gadis ini bukan musuhnya dan tidak bisa juga disamaratakan dengan perempuan- perempuan yang selama ini mendampinginya untuk urusan ranjang.
Dia masih terlalu muda dan Liam tidak mungkin sampai hati untuk merusaknya, tak peduli apa yang telah ia katakan dengan seenaknya pada Naraya.
Baru kali ini Liam sadar kalau dia masih punya hati. Biasanya ia tidak peduli.
Mungkin karena Naraya buta? Mungkin karena Naraya memiliki hidup yang menyedihkan? Atau karena dia masih sangat muda?
Entahlah… tapi, Liam sendiripun menyadari sikapnya pada Naraya berbeda.
"Kamu pikir memang siapa?" Gerutu Liam sambil melirik walkman di tangan gadis itu.
Naraya mengendikkan bahunya. "Mana aku tahu, kan kamu tidak bersuara dari tadi."
"Seharusnya kamu tahu kalau hanya ada aku di rumah ini." Sergah Liam dengan gusar. Ah, argument tidak berbobot seperti ini lagi…
Liam tidak habis pikir mengapa dia terus- menerus berdebat dengan Naraya mengenai hal sepele. Liam merasa bodoh karena terpancing emosi oleh pembangkangan gadis muda di hadapannya ini.
"Aku buta, ingat?" Naraya melambaikan tangannya di hadapan wajahnya dengan dramatis. "Mana aku tahu kalau hanya ada kamu di rumah ini."
Liam baru akan membuka mulutnya, tapi kemudian menelan komentarnya lagi.
Dia tidak mau berpikiran dangkal seperti yang dituduhkan Naraya tadi. Kenapa juga dia harus memperdebatkan hal ini?
"Aku hanya mau bilang, kalau aku akan pergi. Pintu akan aku kunci dari luar. Kalau ada yang datang selain aku, biarkan saja." Ucap Liam yang kemudian bangkit berdiri. "Tidur saja lebih dulu."
"Okay." Jawab Naraya dengan patuh. "Liam… mengenai sekolah…"
"Tidak." Liam memutuskan kata- kata Naraya bahkan sebelum dia dapat mengakhirinya. "Aku tidak suka keputusanku di pertanyakan."
Suara Liam begitu datar namun penuh tekanan, menandakan tidak ada ruang lagi untuk bernegosiasi.
Dengan wajah sedih, Naraya menundukkan wajahnya dan kemudian memasang earphone ke telinganya lagi. Entah apa yang dia dengarkan dari walkman tua itu.
Setelah melihat Naraya yang kembali pada kegiatannya yang semula tanpa mengindahkan Liam, seolah dia tidak berada disana, Liam berjalan keluar dari kamar dengan perasaan yang sedikit terusik.
# # #
Di sebuah gudang tua, seorang lelaki muda dengan tangan yang terikat dan mata yang tertutup, berusaha membebaskan dirinya. Dia terlihat panik dan beberapa kali berteriak meminta tolong.
Mengancam, menyerraph, hingga memohon agar di bebaskan, namun pria- pria kekar di sekitarnya menganggap lolongannya tersebut hanyalah angin lalu.
Sampai seorang pria dengan jaket kulit hitam datang. Aura keras dan dingin yang di tunjukkannya benar- benar terasa kalau dia sedang tidak dalam mood yang baik.
Salah seorang dari mereka kemudian membawa kursi untuk ia duduki.
"Buka penutup matanya." Suara itu begitu dingin dan jauh dari kesan bersahabat. Bahkan pria muda yang terikat itu sampai berhenti berteriak, hanya untuk merasakan rasa takut yang kemudian menjalarri seluruh tubuhnya.
Siapa pria ini? Dan mau apa dia?