Naraya menggenggam gelas susu yang telah di buatkan Liam untuknya dengan kedua tangannya.
Rasa hangat yang terasa di telapak tangan Naraya membuat dirinya sedikit lebih tenang dan walaupun Naraya tidak bisa melihat ekspressi wajah Liam, tapi dia dapat merasakan kemarahan pria tersebut dari pertanyaan yang dia lontarkan padanya.
"Angga…" Jawab Naraya dengan pelan, dia berharap Liam tidak bertanya lebih jauh mengenai apa yang terjadi karena dia tidak sanggup untuk mengulangi ingatan buruk tersebut dan menuturkannya dalam sebuah kalimat untuk disampaikan pada Liam.
Tapi, Liam tidak perlu penjelasan Naraya untuk dapat mengerti apa yang telah terjadi dan ia juga mengerti kalau ini bukanlah saat ang tepat untuk mempertanyakan masalah tersebut terhadap Naraya.
Oleh karena itu, pertanyaan Liam hanya berhenti sampai disana saja. "Minum." Ucapnya dengan nada yang datar.
Naraya kemudian meminum susu tersebut secara perlahan dalam pengawasan Liam. Saat tegukan pertama, barulah Naraya sadar kalau dia ternyata sangat haus dan tanpa disadari dia telah menghabiskannya dalam waktu singkat.
Liam kemudian mengambil gelas kosong dari tangan Naraya dan menggantinya dengan gelas lain.
Dahi Naraya yang berkerut saat menerima gelas baru, membuat Liam menjawab pertanyaan yang belum sempat Naraya lontarkan.
"Air putih." Ujar Liam, memberitahukan isi gelas tersebut.
Di saat yang sama terdengar suara bel pintu yang menggema ke seantero ruangan, mengindikasikan seseorang sedang menunggu Liam untuk membukakan pintu untuk dirinya.
Tanpa berkata apa- apa, Liam segera bangkit berdiri dan dengan langkah yang panjang, dia sudah berdiri di belakang pintu dan membuka kuncinya.
Sosok Raka terlihat begitu Liam menarik pintu terbuka, assistant pribadinya tersebut membawa satu kantong plastic berwarna putih dan menyerahkannya pada Liam dengan sopan.
Liam mengambil kantong plastic tersebut dan membiarkan pintu apartmentnya terbuka, membiarkan Raka untuk masuk kedalam.
Kemudian Liam mengambil gelas air putih dari tangan Naraya yang sudah separuh kosong sambil menariknya berdiri. "Ikut aku." Perintahnya dengan nada tenang yang sama.
Naraya sebenarnya bingung, kemana lagi Liam akan membawanya dan siapa orang yang telah menekan bel pintu? Apakah itu Raka?
Karena tidak ada satupun yang bersuara, baik itu Raka ataupun Liam, Naraya tidak mengetahui kalau ia baru saja berjalan melewati Raka menuju kamar Liam.
Naraya hanya berjalan menuju arah yang Liam tuju tanpa tahu kemana Liam akan membawanya. Dari suara pintu yang terbuka, sepertinya Liam membawa Naraya menuju ruangan lain.
Dan seperti sebelumnya, Liam membuat Naraya duduk, tapi kali ini buka di atas sofa yang empuk melainkan di atas ranjang Liam yang besar dengan cover sheet yang lembut.
Menyadari di mana dia duduk, Naraya segera berdiri dengan panik.
Kenapa Liam justru membuatnya duduk di atas ranjangnya? Apa yang akan dia lakukan padanya? Apa dia akan melakukan hal yang sama yang Angga telah perbuat kepadanya?
Dengan pertanyaan- pertanyaan yang memborbardir kepalanya dan perasaan tidak nyaman, Naraya berusaha menjauh dan meskipun dia tidak tahu arah mana yang ia tuju, suara di kepalanya menyuruhnya untuk segera pergi dari sana.
Tapi, Liam kembali menarik tangannya dan menghempaskan tubuh Naraya ke atas ranjang sambil berkata dengan suaranya yang dalam.
"Aku tidak akan melakukan apapun padamu." Sergah Liam dengan gusar, melihat Naraya kembali mencoba untuk melarikan diri darinya. "Jadi berhenti bertindak seperti itu."
Naraya kemudian terdiam. Tubuhnya kaku. Dia menggigit bibirnya dengan gugup sambil mendengarkan gerakan Liam dengan seksama.
Entah apa yang tengah Liam lakukan, tapi ada suara bunyi gemerisik dari kantong plastic diikuti dengan suara sesuatu terbuka.
Naraya mengerutkan keningnya dan secara reflek menepis tangan Liam yang hendak menyentuh lehernya. Walaupun dia tidak bisa melihat apa yang akan Liam lakukan, tapi tubuhnya membeku dengan waspada.
"Mau apa kamu?" Tanya Naraya dengan alis yang bertaut dan suara yang bergetar.
"Jangan bergerak, ini akan membantu mengurangi memar di leher mu." Jawab Liam sambil berusaha menarik Naraya mendekat, tapi lagi- lagi tangannya di tepis oleh gadis itu.
"Tidak usah, tidak apa- apa." Gumam Naraya.
Liam kemudian duduk di pinggir kasurnya sambil memegang salep yang dia telah minta Raka untuk membelikannya.
"Kamu mau terus menerus memiliki tanda cupangan di lehermu seperti itu? Kamu tidak malu ketika teman- teman di sekolah mu tahu kalau seorang pria telah menciummu?" Tanya Liam dengan sengit.
Biasanya, Liam tidak memiliki kesabaran cukup panjang untuk membujuk seseorang, tapi kali ini, walaupun kesal dia tetap meladeni Naraya.
Naraya tersentak akan ucapan Liam yang sedikit vulgar, tapi kemudian menyentuh lehernya yang terasa sakit akibat gigitan Angga, dan dia merasa muak ketika mengingatnya.
"Aku akan bilang kalau ini jatuh…" Gumam Naraya. Karena dia tidak pernah melihat seperti apa bentuk sebuah cupangan, jadi mana mungkin Naraya menanggapinya dengan benar dan tidak berpikir kalau memar ini akan berakibat serius.
Tapi kemudian dia merasakan Liam mengetukkan sesuatu ke kepalanya, walaupun tidak terlalu kencang, tapi cukup membuatnya terkejut.
"Kamu pikir mereka akap percaya?" Liam bertanya sambil memukul pelan kepala Naraya dengan tube salep di tangannya.
Naraya kemudian melindungi kepalanya dengan kedua tangannya sambil berkata. "Ini kan hanya sebuah memar."
Namun jawabannya di balas Liam dengan memukulkan tube salep ke ujung hidung Naraya. "Tentu saja itu memar yang berbeda."
Naraya kemudian menutupi hidungnya dengan tangannya yang lain. "Apa bedanya!?" Sergah Naraya dengan kesal.
"Tentu saja berbeda." Liam kemudian memukulkan tube salep ke pipi Naraya.
"Berhenti memukulku!" Naraya berteriak dengan gusar, walaupun yang di lakukan Liam tidak menyakitinya, tapi cukup membuatnya jengkel.
"Remaja seusiamu pasti langsung mengetahui kalau kamu habis di cium oleh seorang pria dengan bekas gigitan seperti itu. Kalau kamu tidak percaya, silahkan buktikan." Liam mengangkat bahunya dengan tidak peduli kemudian bangkit berdiri untuk pergi dari kamar tersebut.
"Tunggu!" Naraya segera panik. Mungkin kata- kata Liam benar, lagipula Naraya tidak banyak memiliki pengalaman seperti ini.
Naraya akan sangat malu kalau orang lain mengetahui hal ini.
"Apalagi?" Tanya Liam dengan kesal.
"Mm…" Naraya bergumam. "Boleh aku minta obatnya? Biar aku pakai sendiri saja." Ucapnya dengan suara yang pelan.
"Nih." Liam kemudian melempar tube salep di tangannya ke pangkuan Naraya sebelum dia keluar dari kamar, tapi sebelum itu dia berbalik dan menginformasikan sesuatu pada Naraya.
"Kamar mandi ada di sebelah kananmu, berjalan saja lurus kesana." Liam memberitahukan Naraya.
"Baik…" Jawab Naraya sambil mengambil tube salep yang tadi Liam lemparkan padanya.
"Kalau kamu mau menggunakan kamar mandi, kunci pintunya. Aku terbiasa tinggal sendiri disini, jadi ada kemungkinan aku akan lupa dan masuk ke dalam lalu melihat hal yang tidak seharusnya kulihat." Liam memperingatkan, tapi ada sebuah senyum di bibirnya.