The kind where the connections can't be explained and knocks us off our feet because we never planned for it.
Mary Oliver.
***
Pria yang tadi mengantarkan Liam dan Naraya kemudian berjalan di depan mereka sambil menunjukkan jalan menuju resort yang telah mereka pesan.
Pemandangan malam yang cantik dengan lampu- lampu yang menyala terang dan deburan ombak di belakang mereka, memberikan kesan romantis dan menakjubkan.
Seandainya Naraya dapat melihat semua ini, tentunya dia juga akan berdecak kagum dan terkesiap atas apa yang dia lihat.
Semilir angin meniupkan angin di sekitar mereka, menerbangkan pasir yang kemudian mengusap lembut ke kulit Naraya.
Mereka berjalan untuk beberapa saat sebelum akhirnya sampai di tempat mereka menginap. Setelah itu pria tadi menyerahkan kunci cottage kepada Liam dan pamit pergi.
Cottage yang mereka tempati merupakan sebuah tempat yang seperti apartment type studio dan memiliki kolam renang mini di beranda yang menghadap ke laut. Di pintu kedua di cottage ini.
Di teras Naraya telah menunggu Liam untuk membukakan pintu, dia merasa sangat lelah dan ingin cepat- cepat beristirahat.
"Sampai berapa lama kita di sini?" Tanya Naraya saat Liam tengah membuka pintunya.
"Satu minggu." Jawab Liam yang kemudian memasukkan ke dua koper mereka dan menuntun Naraya masuk ke dalam.
"Satu minggu ya…" Naraya bergumam sendiri saat Liam mendudukkannya di atas ranjang yang empuk dan menikmati semilir angin yang bertiup dari arah balkon yang terbuka. "Lalu apa yang akan kita lakukan?" Tanyanya dengan antusias.
"Tidak ada." Jawab Liam sambil mengeluarkan baju dari kopernya dan mencari baju ganti untuk Naraya juga dari koper miliknya.
Semua ini sudah di persiapkan oleh nenek Asha, jadi tidak ada satupun dari mereka yang tahu apa saja yang telah di masukkan sang nenek ke dalamnya.
"Tidak ada?" Naraya mengulangi kalimat Liam dengan nada kecewa. Dia sudah membayangkan liburan dengan berbagai macam kegiatan yang belum pernah dia coba, tapi kenapa Liam bilang mereka tidak akan melakukan apa- apa?
"Tidak ada." Liam menjelaskan sambil bergumam. "Aku banyak pekerjaan."
Liam masih berusaha mencari baju untuk Naraya tidur, tapi yang Liam temukan justru lingerie- lingerie menggoda dengan warna- warna menantang.
Semakin Liam mencari, semakin berkerut wajahnya.
'Nenek!' Gerutunya dalam hati.
Lelah mencari, akhirnya Liam justru menyambar kaos dan boxernya untuk di berikan ke Naraya. "Pakai ini." Ucapnya dengan kaku.
Naraya mengambil pakaian yang di berikan oleh Liam dan merabanya, sebelum akhirnya menyadari sesuatu yang janggal. "Bukankah ini kaos dan boxermu?" Tanya Naraya yang menyadari betapa besar atasan yang Liam berikan padanya.
Naraya tahu karena belum lama ini juga Liam memberikan bajunya untuk di kenakan oleh Naraya.
"Nenek Asha tidak membawakanmu baju tidur." Jawab Liam asal yang membuat Naraya semakin bingung.
"Tidak mungkin…" Ucap Naraya dalam penyangkalannya.
"Terserah kamu percaya atau tidak." Liam mengendikkan bahunya lalu mengambil handuk, berniat untuk mandi. "Kalau kamu tidak mau pakai bajuku, aku tidak masalah kalau kamu mau telanjang disini."
Kerutan di dahi Naraya semakin dalam. Dia kesal karena Liam selalu mengatakan hal- hal seperti ini begitu entengnya.
Sesaat kemudian terdengar suara pintu di tutup dan air yang jatuh dari shower.
# # #
"Apa?" Tanya Liam sambil mengalihkan perhatiannya dari laptopnya ketika menyadari Naraya tengah berdiri di sisi lain ranjang, terlihat ragu- ragu.
Karena cottage ini tidak begitu besar, jadi Liam hanya perlu memberitahukan letak- letak perabotan di tempat ini dan letak bathroom.
Liam juga memperingatkan Naraya untuk tidak berjalan mendekati balkon, karena di sana ada kolam renang dan apabila Naraya tergelincir atau terjadi sesuatu, dia bisa saja jatuh ke laut.
Jadi untuk amannya, Liam mengunci balkon tersebut walaupun Naraya sudah bilang dia tidak apa- apa, tapi Liam tidak mau mengambil resiko.
"Kita akan tidur di satu ranjang?" Tanya Naraya ragu- ragu. "Aku bisa tidur di sofa saja kok." Ucapnya sambil menggigiti bibirnya.
Rasanya Liam juga ingin mengigiti bibir itu juga. "Pertama, kita suami isteri dan kedua, ini bukan pertama kalinya kita tidur bersama."
"Tapi, kamu berjanji untuk tidak melakukan apapun bukan?" Naraya mengingatkan Liam akan janjinya dulu.
"Iya." Liam menutup matanya dan menghela nafas dengan frustasi, kini dia menyesalinya. Itu artinya dia harus 'puasa' selama satu minggu penuh, sebelum mereka kembali pulang dan dia bisa bermain dengan wanita- wanitanya. "Kasur ini sangat besar. Kamu bisa tidur di ujung sana dan aku di sisiku. Asalkan kamu tidak banyak bergerak maka semuanya akan baik- baik saja."
"Apa maksudmu tidak banyak bergerak?" Naraya berkerut bingung.
"Artinya, kalau kamu dalam tidurmu yang menghampiriku, maka jangan salahkan aku." Jawab Liam sambil kembali mengalihkan fokusnya ke laptopnya.
Naraya cemberut dengan pipi memerah. "Tenang saja, tidurku tidak berantakkan kok." Gerutunya sambil beranjak naik ke atas kasur.
Naraya kemudian menumpuk empat bantal di antara dirinya dan Liam. Tindakannya ini membuat Liam tersenyum.
"Kamu pikir empat bantal ini cukup untuk menahanku untuk tidak menyerang dirimu?" Tanya Liam dengan senyum di bibirnya.
Naraya kemudian menambahkan satu bantal lagi tanpa bicara apa- apa dan kemudian menarik selimut hingga ke batas dagunya, mangacuhkan Liam yang tertawa dengan jahil di sebelahnya.
Ugh! Seharusnya Naraya masih marah pada Liam! Tapi, kenapa pria itu tidak menanggapinya dengan serius!?
Kesal dan lelah, membuat Naraya terlelap begitu cepat.
Tidak butuh waktu lama bagi Liam untuk kemudian mendengar dengkur halus Naraya di sisinya.
Sepertinya pengalaman pertamanya dan perjalanan seharian ini benar- benar telah menguras energy gadis kecil itu.
Naraya bahkan tidak sadar lagi ketika dia sudah hampir menendang selimutnya seluruhnya dari yang tadi hampir menutupi semua tubuhnya.
Liam terdiam.
Dia menutup laptopnya dan berjalan menuju balkon, membuka kuncinya dan mengeluarkan rokokk dari saku celananya.
Hembusan angin laut yang dingin membuat satu- satunya benda yang terselip di antara jemarinya lah sebagai penghangatnya.
Liam tidak menyangka dia akan berada di titik ini. Menikahi seorang wanita yang hampir tidak ia kenal.
Sebuah senyum mengolok terukir di sudut bibirnya ketika dia mematikan bara kecil di ujung rokokknya dan memasukkannya ketempat sampah.
Liam kemudian kembali dan mendapati Naraya sudah menendang selimutnya.
Melihat pemandangan seperti ini, Liam hanya bisa geleng- geleng kepala dan naik ke atas ranjang di sisinya.
Namun sesaat kemudian dia merasa bantal- bantal yang di tumpuk oleh Naraya tadi sungguh mengganggu, jadi Liam melemparnya ke lantai. Tidak menyisakan pembatas apapun di antara dirinya dan Naraya.
Liam membalikkan badannya dan kini ia berhadapan dengan wajah tidur Naraya.
Bibirnya sedikit terbuka dengan rambutnya yang berantakan di sisi- sisi wajahnya yang manis. Tanpa berpikir, Liam mengulurkan tangannya untuk merapihkan rambut Naraya yang kemudian menariknya ke dalam pelukannya dengan hati- hati.
Naraya sama sekali tidak terbangun dan Liam tertidur dengan memeluk tubuh Naraya yang terasa hangat.
Entah kenapa, dengan hanya mendengarkan irama nafas Naraya yang teratur, Liam merasa tenang dan mulai mengantuk.