Selesai makan, Liam tidk kembali ke kantor melainkan mengajak Naraya mengelilingi apartment tersebut, terutama letak dapur, walaupun Liam tidak yakin Naraya akan bisa melakukan kegiatan apapun di sana.
Tapi, apa peduli Liam?
Naraya mengikuti Liam dengan patuh dan mencoba untuk mengingat keadaan dan letak- letak ruang di dalam apartment tersebut, berharap dia tidak akan menabrak apapun lagi nanti.
Ruangan di dalam apartmentnya tidak terlalu luas, hanya terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu, ruang tengah dan dapur.
"Kalau memang ada dua kamar kenapa aku tidak tidur di kamar satunya saja?" Tanya Naraya sambil duduk di atas kursi bar di counter top dapur.
Naraya masih mengingat kejadian memalukan pagi ini, bagaimana mungkin dia bisa dengan tidak tahu malunya meraba- raba wajah Liam sementara pria itu tidur? Kalau mengingat hal ini, Naraya benar- benar ingin membenamkan wajahnya ke dalam bantal saja.
"Silahkan saja kalau kamu mau tidur di lantai." Ucap Liam dengan santai sambil membuat kopi untuk dirinya sendiri dan segelas susu hangat untuk Naraya.
Walaupun Liam jarang berada di rumah ini, namun segala kebutuhan lengkap tersedia. Liam membayar seseoran untuk memastikan hal tersebut.
Naraya menggumam. "Tidak apa- apa… aku bisa tidur di lantai…" Walaupun dengan wajah yang murung.
"Minum ini." Liam meraih tangan Naraya dan membiarkannya menggenggam sendiri gelas susu hangat yang telah ia buat.
"Terimakasih." Ucap Naraya dengan wajah berseri, dia mencicipi rasanya. Enak. Entah merk susu apa yang Liam gunakan, tapi Naraya menyukai rasanya. Dia sangat jarang sekali dapat menikmati minum susu seperti ini. Pemborosan kalau kata tante Utari.
"Oh, iya…" Naraya memutar kursinya menghadap Liam, dia mendengar saat pria itu menarik kursi di sisinya dan duduk di sana sambil menyeruput sesuatu yang dari aromanya adalah kopi.
"Hm?" Liam mulai membuka laptopnya tanpa terlalu menanggapi Naraya.
"Bagaimana dengan sekolahku?" Tanya Naraya. "Seragam sekolahku masih ada di tempat tante Utari, juga buku- buku ku…"
"Hm." Tatapan Liam fokus pada grafik dan angka yang tertera di laptopnya, mengamati dengan serius, seolah suara Naraya hanyalah backsong yang tidak terlalu penting.
"Aku tidak mau kembali ke rumah tante Utari." Naraya menundukkan kepalanya, menyatakan keengganannya untuk kembali kerumah tersebut.
"Hm." Tanggapan yang sama.
"Aku tidak masalah kalau harus tidur di lantai." Naraya membujuk. Dia benar- benar tidak mau kembali kesana dan bertemu dengan Angga lagi. Dia menakutkan. Dan Naraya tidak pernah setakut ini pada Angga.
Hal yang akan dia lakukan pada Naraya pada malam itu jauh lebih buruk daripada hanya sebuah kegiatan usil semata.
Liam menghembuskan nafasnya dengan kesal, dia tidak bisa berkonsentrasi kalau begini. Liam kemudian memutas bangkunya dan menghadapi Naraya, gadis ini mengedipkan matanya, wajahnya menunggu tanggapan dari Liam, ada kerutan halus diantara kedua alisnya.
"Dengar." Ucap Liam lambat- lambat. "Pertama kamu tidak akan kembali ke rumah itu dan kamu tidak akan kembali kesekolah."
Liam menatap dengan tertarik saat ia melihat wajah Naraya terkejut kemudian cemberut. "Kan aku sudah minta dan kamu sudah setuju kalau aku…"
"… Kamu akan homeschooling." Jawab Liam, memotong protes Naraya.
"Apa?" Naraya mencondongkan tubuhnya kedepan.
"Homeschooling." Liam mengulangi perkataannya.
"Tapi kenapa aku harus homeschooling?" Naraya tidak suka dengan ide itu.
"Kenapa tidak?" Liam balik bertanya.
"Aku tidak bisa bertemu dengan teman- temanku." Jawab Naraya dengan segera. Salah satu alasan Naraya untuk kembali bersekolah adalah agar ia dapat bertemu dengan teman- temannya.
"Kamu bisa menemui mereka kapanpun kamu mau setelah kamu bebas dari pernikahan ini." Jawab Liam sambil kembali mengalihkan fokusnya ke laptop di hadapannya.
"Menikah saja belum…" Naraya bergumam pada diri sendiri, namun cukup jelas terdengar oleh Liam.
"Setelah perceraian kita." Jawab Liam sambil menyeruput kopinya.
"Yang dibicarakan selalu perceraian." Naraya masih bersungut- sungut dengan nada yang sama.
Sekali lagi Liam menarik nafas, lalu mengalihkan fokusnya dari pekerjaan menumpuk di hadapannya, untuk menghadapi gadis ini.
Kesabaran Liam benar- benar di uji saat bersama Naraya. Dalam menghadapi orang lain Liam tidak akan mungkin masih menggunakan nada datar yang biasa di tingkat kekesalannya yang sudah seperti ini.
Liam tidak mungkin untuk menatap tajam Naraya dan membuatnya gemetar ketakutan karena tatapan dinginnya, karena Naraya tidak mungkin melihat itu.
Sementara untuk berkata kasar pada Naraya, Liam merasa sangat tidak pantas berkata kasar pada seorang gadis yang usianya hampir setengah umurnya.
Seberengsek apapun Liam, Naraya tetaplah gadis belasan tahun yang tidak mengerti apa- apa mengenai kerumitan permasalahan di keluarga Prihadi.
Kalau ada satu orang yang sama sekali tidak bersalah dalam prahara dan dendam di keluarga Prihadi, maka Naraya adalah orangnya.
"Mau kamu apa?" Tanya Liam dengan nada yang sama.
"Kamu berjanji akan melanjutkan pendidikanku." Ucap Naraya dengan gusar. Kenapa dia harus menjalani homeschooling sementara dia bisa kembali ke sekolahnya yang biasa? Dia baru saja sehari menikmati bersekolah di sana, masa Naraya harus berhenti lagi?
Memangnya Liam tidak sayang dengan uangnya yang telah di bayarkan ke sekolah tersebut, untuk mengizinkan Naraya melanjutkan pendidikan? Seragam? Buku? Bukankah semua itu membutuhkan uang?
Tapi, kemudian Naraya berpikir lagi. Okay, sepertinya Liam memang tidak menganggap uang segitu sebagai sesuatu yang significant. Bodohnya Naraya untuk memperhatikan keuangan Liam.
"Aku tidak bilang aku akan menghentikan pendidikanmu, kamu akan tetap melanjutkannya, hanya saja melalui homeschooling." Liam berargumentasi.
Dia sudah memikirkan hal ini. Membatasi Naraya untuk terekspos dunia luar adalah cara terbaik apabila dia ingin mengakhiri pernikahan ini dalam jangka waktu satu tahun. Mengurangi pertanyaan dan masalah yang akan timbul nantinya.
"Aku bilang aku mau kembali sekolah dan kamu setuju." Naraya tidak mau kalah dalam argumentasi ini.
"Aku memang menyetujuinya, tapi persetujuan itu tidak menjelaskan apapun mengenai detail bukan?" Liam mengeluarkan argumennya sendiri.
"Ah…" Naraya membuka mulutnya tapi, tidak ada kata- kata yang keluar. Dia benar- benar tidak bisa membalas kata- kata Liam.
Tentu saja mana mungkin seorang gadis delapan belas tahun yang terbiasa menjadi minoritas di keluarga dan di lingkungan sekitarnya mampu mematahkan argument seorang pebisnis handal yang terbiasa menangani proyek milyaran rupiah dan pandai melihat kelemahan dalam setiap kata- kata seperti Liam?
"Kamu akan mulai homeschooling tiga hari lagi." Ucap Liam. "Dan jangan berargumen denganku karena kamu tidak akan menang."
Naraya kemudian menyipitkan matanya ke arah Liam. "Lalu? Apa kamu bangga karena memenangkan argument dari perempuan yang jauh lebih muda usianya darimu?"
Liam mengangkat alisnya, ada seulas senyum di bibir tipisnya. Well… dia harus mengakui kalau memenangkan argument ini dari Naraya cukup menghiburnya. Bagaimana dia tahu? "Aku hanya ingin menegaskan, kalau kamu tidak akan menang dariku dalam hal apapun."
"Jadi benar kalau kamu merasa senang karena memenangkan argument ini?" Naraya melipat tangannya. "Aku baru tahu kalau cara berpikirmu sangat dangkal."
Seketika itu juga, seulas senyum di bibir Liam menghilang, dia menatap Naraya dengan tajam.
Gadis ini tidak habis- habisnya membuatnya kesal, padahal tadi dia sempat berpikir Naraya cukup lucu saat ia merajuk.