webnovel

Laksana

Adhinatha Laksana Bahuwirya, bukan manusia biasa, tapi bukan juga Iron Man

GwenXylona_ · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
26 Chs

Laksana | 01

•L A K S A N A•

"Terkadang menjadi tuli dan menutup mata didepan duri adalah pilihan yang tepat, sayang"

Nana tersentak, dia terbangun dari tidurnya, mimpi itu kembali datang, Nana menghembuskan napasnya lelah, telinganya berdenging keras hingga menimbulkan pening dikepala. Pemuda yang beberapa bulan lagi akan menginjak usia 18 tahun itu beranjak, meraih jaket, dan mulai melangkah pergi.

"Adhinatha"

Langkahnya terhenti hanya untuk berbalik menatap seorang fotografer yang beberapa jam yang lalu memotretnya, alis Nana terangkat "Kenapa, Mas?"

"Kamu sakit apa gimana? Hasil fotonya nggak sebagus biasanya"

Nana menyirit "Nggak kok, itu kayak biasanya"

"Nggak, beberapa hari ini memang kamu kurang bagus, banyak produk yang penjualannya turun karena kamu-nya, tolong besok bisa lebih segar lagi. Kalau ada masalah bilang, siapa tahu saya bisa bantu" Pak Beni, biasanya nggak mau dipanggil Beni, maunya dipanggil Pak Ben biar gaul katanya, dia bertutur halus, Pak Bos itu memang terkadang pilih kasih dengan Nana.

Nana tersenyum "Maaf, Pak. Memang beberapa hari ini saya sibuk dengan pernikahan Ayah saya"

"Bahuwirya rabi maneh? Kok saya nggak diundang?"

Nana mengangguk "Hanya keluarga besar yang diundang, tidak ada tamu lain"

Pak Ben manggut-manggut "Sana pulang, besok sekolah loh"

"Maaf tapi, besok minggu, Pak Beni" tukas Nana kemudian berlari meninggalkan studio tempatnya pemotretan.

"Ben, Adhinatha, bukan Beni!!"

Nana mengemudikan mobilnya dengan santai membelah jalanan malam, matanya menatap pinggiran jalan, siapa tahu ada doi yang jalan di trotoar kan lumayan bisa sekalian diangkut. Mobil baru yang dibelikan Papa minggu lalu itu berhenti ketika lampu merah memaksa Nana menguji kesabarannya, saat itu pula ponselnya berdering, nama kontaknya 'Jayekti'. Kurang ajar banget emang.

"Hallo, Pa. Ada apaan?"

"Kamu masih hidup, Na?"

"Oh nggak, ini yang bicara malaikat"

"Bercanda!?!"

Nana terkejut "Aduh jangan marah dong, lagian udah tahu anaknya masih bisa angkat telpon masih nanya hidup apa nggak, ini yang sinting siapa?"

"Kamu ngatain Papa sinting?"

"Sorry, sir. Tapi Papa sendiri yang ngomong, hihihi" lampu berubah menjadi hijau ketika Nana berbicara seperti itu, mobil hitam yang atapnya terbuka itu kembali melaju kencang.

Disebrang sana Papa Jay mendengus "Kalau masih sehat kenapa belum sampai rumah, ini udah malam?"

"Aku ketiduran tadi--eh Pa ada penjual---"

"Nggak, kamu pulang makan dirumah, ini Mama sama Abangnya udah nungguin"

Nana terlihat bingung beberapa saat "A-Abang??"

"Anaknya Mama, kemarin pas pernikahan dia nggak bisa datang, sekarang udah ada dirumah"

"Mama punya anak??"

"Punya, makanya cepat pulang, Papa tutup, hati-hati"

Setelah sambungan selesai, Nana membuang napasnya kasar "Abang? Gila banget gue punya Abang, anjir"

¹³

Nana itu cowok yang fashionable banget, setiap ada model terbaru dari berbagai macam merk terkenal, Nana pasti langsung ikut PO. Jay juga gitu sih, jadi anaknya ikut-ikutan, lagian selagi masih bisa beli kenapa nggak? Mereka berdua kalau lagi jogging bareng atau dinner bareng, atau main bareng, atau jalan-jalan bareng gitu dikira kakak-adik.

Jayekti yang udah tua punya anak udah gede udah punya SIM sama KTP masih aja lupa usia. Keduanya masuk kedalam jajaran konglomerat tingkat 9 turunan 13 belokan di Indonesia berkat nama belakang Bahuwirya, Bahuwirya masuk kedalam jajaran bangsawan Jawa yang sangat dihormati dan uangnya dimana-mana. Kalau yang di Solo bangkrut, masih ada yang di Semarang, kalau yang disana kebobolan maling, masih ada yang di Surabaya, pokoknya uangnya dimana-mana ada. Bahkan kalau lagi jalan-jalan ke suatu pulau, misal Bali, nggak usah repot-repot milih hotel, justru beberapa mobil berlogo hotel datang menjemput di bandara.

Meskipun begitu, Nana tidak mengandalkan uang orangtuanya, dia mencari sendiri uang tersebut. Meskipun kadang masih minta untuk keperluan yang sekiranya wajar meminta pada orangtua, tapi Nana adalah seorang model, dulu Nana melakukannya karena Ama, Ibu kandungnya yang sayangnya telah tiada. Nana melakukannya karena ingin menjadi seperti Ama, menjadi manusia yang sangat dikagumi oleh banyak orang, menjadi manusia yang bisa membantu berbagai produk laku karena jasa wajahnya.

Tetapi dunia model tak seperti yang Nana lihat dari Ama, senyuman manis Ama ternyata palsu yang hanya diperlihatkan didepannya dan didepan kamera. Nana tak menyangka jika dirinya akan menjadi model yang sangat terkenal, banyak yang mengangguminya, banyak yang memujanya, bayak pula yang selalu memberinya hadiah, kartu ucapan dan sebagainya. Tetapi disamping itu, banyak pula yang membenci dirinya.

Nana pernah ketakutan hingga satu minggu tidak berani keluar rumah karena mendapatkan teror oleh orang yang tak menyukainya, selalu ada orang yang ingin menjatuhkannya, mulai tuduhan-tuduhan kecil bagaimana dirinya bisa menjadi model karena sogokan uang, lalu bagaimana kisah tragis keluarganya yang diungkit, lalu banyak pula yang mencari kisah masa lalunya, mencari kejelekannya ketika belum menjadi seperti sekarang.

Nana lelah.

Selama dia terjun ke dunia tersebut, banyak hujatan telah ia telan mentah-mentah, tetapi Nana mencoba tak acuh meskipun selalu kepikiran, dia pandai menulikan telinga dan menutup mata didepan duri seperti yang Ama bilang.

Kini, setelah memarkirkan mobil itu, Nana berjalan santai menuju pintu rumahnya, masuk begitu saja dan langsung menuju meja makan. Disana betulan ada manusia asing dimatanya, jujur saja Nana tidak suka memiliki saudara, sudah terlalu enak menjadi satu-satunya.

Nana berjalan mendekati meja makan itu seolah berjalan diatas catwalk hingga membuat Ibu sambungnya terdiam memandangnya beberapa saat, juga cowok yang sepertinya anak dari Ibu sambungnya itu terlihat mengaguminya. Ditambah outfit Nana yang memang terlihat elegan semua itu sangatlah menambah totalitasnya.

"Malam, Pa"

"Malam, sayang. Ini kok Pak Beni transfer uang ke rekening Papa?"

Nana manggut-manggut lalu menarik salah satu kursi untuk dirinya duduk "Dia tahu Papa nikah, dia minta diundang, kasihan"

"Tahu dari siapa? Jangan-jangan ada orang dalam yang ngasih tahu, siapa yang beraninya berkhianat sama Pa--"

"Aku tadi keceplosan" sahut Nana seraya tersenyum pada Mama barunya yang sedang meletakkan daging diatas piringnya.

"Kamu yang ngomong?"

Nana mengangguk "Lagian dia udah curiga sejak Papa beliin mobil baru itu, katanya 'Masa iya Jay beliin anaknya mobil tanpa ada maunya' gitu"

Papa Jay menghela napas "Itu orang kenapa nggak jadi Mimin-nya lambe nyonyor aja deh"

"Tahu kali sesama orang pelit mana wajah-wajah orang pelit"

"Kalau Papa pelit, nggak bakal kamarmu penuh sama komputer!!"

Nana nyengir sembari masih terus memakan makan malamnya "Yakin nggak pelit?"

"Yakinlah"

"Yaudah kalau nggak pelit, besok beliin sepeda, aku mau gowes"

Mama tertawa kecil "Pinter banget kamu, Na"

Nana tersenyum penuh kemenangan "Adhinatha dilawan"

Jay melongos "Siapa yang ngajarin?"

"Papa, sering Papa bilang gitu pas menang main game 'Bahuwirya dilawan' gitu kan"

Oke, Papa Jay kalah "Besok sepedanya datang, dua biji"

"Kakiku cuma dua, gimana pakai-nya?"

"Buat Haeder satu"

"Haechan, Pa" lelaki disamping Mama yang sedari tadi diam itu bersuara juga.

Tetapi kalau boleh jujur, Nana tak suka jika ada orang lain yang memanggil Papa-nya dengan sebutan Papa juga. Wajahnya berubah menjadi datar dan lanjut makan tanpa banyak bicara lagi.

"Iya, Haechan." Jay menatap putranya yang sibuk makan itu "Kamu juga, Na. Kenalan dong sama Abangnya" lanjutnya.

"Namanya Haeder kan, yaudah" jawab Nana seadanya.

"Haechan!!"

Bola mata Nana berotasi dan tidak lagi menjawab, dia menghabiskan makanannya lalu beranjak "Nighty nite, Papa, Mama juga. Aku mandi dulu"

"Pakai air hangat, jangan berendam!!" seru Jay kala Nana mulai berjalan menjauh, anaknya itu hanya mengacungkan ibu jarinya tanpa menoleh.

¹³

Sungguh, Haechan tidak tahu jika kamar mandi orang kaya banyak tombolnya, yang ia tahu selama ini hanya tombol remote TV. Apa dia selama ini terlalu sibuk ngejar layangan dan bermain kelereng dengan teman-temannya dikampung hingga ada kamar mandi digital di tak tahu?

"Ini kalau mau cebok gimana, anjir. Nggak ada tampungan airnya, masa iya orang kaya nggak bisa bikin kolah, terus ini gayungnya mana? Kalau mau mandi masa iya pake tangan"

Haechan perlahan berjalan mendekati sesuatu dipojokan yang tertutup oleh tirai berwarna putih bersih, dia menyibak tirai tersebut "Wah gila, ini yang biasanya di sinetron nih. Ada bak mandinya, tapi nggak ada aer gimana mau berendam biar ngrasa orang kaya gitu" cowok itu terlihat sangat bingung.

Haechan lalu keluar dari kamar mandi, niatnya mau pipis, tapi melihat kamar mandinya saja Haechan insecure sendiri, itu kamar mandi luasnya seluas rumahnya yang dulu. Beruntung banget ya Ibunya menikah dengan bangsawan ndak main-main macam Jayekti Bahuwirya, nggak nyesal Haechan ngasih restu dulu.

Dilihatlah sekeliling kamarnya, yang ia lihat hanyalah kemewahan disini, Haechan tidak pernah membayangkan bisa menempati kabar sebagus ini, dia lalu mendekati ranjangnya "Wah gila sih, ini kasur gue yang harganya sejuta dan mahal dikampung kaga ada apa-apanya"

Haechan kembali berdiri, hendak berjalan menuju balkon, tetapi suara keributan diluar membatalkan niatnya, anak itu justru mendekati pintu dan sedikit membukanya untuk celah menguping.

"Jangan, Pa. Itu kesayangan"

"Yaudah kamu pilih yang mana" Jay memberikan pilihan pada putranya, dua tangannya yang memegang piyama itu ia angkat untuk memperlihatkannya pada Nana.

"Yang lain kan banyak, jangan yang dua ini"

"Banyak tapi kotor semua, tinggal yang ini, kamu milih mana cepat?"

Nana cemberut lalu tangannya mengambil satu piyama putih bergambar kelinci kesayangannya, padahal yang satunya lagi juga bagus, terlihat macho untuk ukuran piyama cowok, tetapi bagi Nana kelinci adalah segalanya. "Besok beliin lagi yang kayak gitu" pintanya.

"Cari di olshop, nanti Papa yang bayar. Cari yang banyak sekalian buat Haechan, dan besok kan minggu, kamu free, jadi tugas kamu adalah menemani Haechan belanja"

"Hah??"

"Iya, dia kesini cuma bawa beberapa baju aja, nanti kamu temani beli yang banyak"

Nana terlihat menghela napas "I'm tired, Pa"

Papa terlihat mengusap rambut Nana gemas "New computer?"

Nana menggeleng "Canon EOS-1D X, deal"

Jay menghembuskan napasnya kasar "Kamu setiap ngomong sama Papa kok berhadiah sih, lah Papa bangkrut dua kali ngobrol sama kamu"

Nana terkekeh "Tapi agak sorean ya, aku beneran capek"

Papa Jay mengangguk "Kelihatan wajah kamu, jangan capek-capek gitu ah, kamu masih SMA"

"Akhir-akhir ini banyak yang hujat aku nggak tahu kenapa"

Papa Jay maju satu langkah untuk memeluk Nana "Jangan dipikirin nanti sakit, besok gowesnya di batalin aja, badanmu anget, kebiasaan!"

Nana tersenyum dan membalas dengan erat pelukan Ayahnya "Kangen Ama"

"Besok kita temui Ama, sekarang kamu istirahat"

Nana mengangguk lalu melepas pelukannya dan membuka pintu kamarnya. Sedangkan Haechan kini membuka lebih lebar pintunya, disana Jay tersenyum dan mendekatinya "Kamu tidur pakai ini ya, tapi maaf ini punya Adhinatha"

"Ng-nggak usah, nggak apa-apa"

"Masa iya tidur pakai kemeja gitu, ini pakai aja, dia punya banyak"

•••••

Pagi-pagi sekali Haechan mengetuk pintu kamar Nana, sementara yang punya kamar masih berguling dibalik selimut dengan nyaman.

"Adhinatha, buka pintunya!"

Tidak ada sahutan, jadi Haechan mengetuknya lagi "Nana,,, gue mau minta tolong"

Karena memang tidak ada sahutan, maka Haechan membukanya dengan perlahan. Semua asumsi jika kamarnya adalah kamar mewah lenyap seketika setelah tahu bagaimana isi kamar anak itu. Dia mencoba tak acuh dengan puluhan robot yang tertata rapi dilemari kaca itu, hanya berjalan mendekati ranjang dan menyibak selimutnya.

"Woy,,,, bangun"

"Eungh... Apaan sih?"

"Tolongin dong, darurat"

Terpaksa Nana membuka mata "Apaan??"

"Cara pakai toilet gimana? Caranya mandi juga gimana, ajarin dong"

•L A K S A N A•