webnovel

Laki-laki Di Akademi Roh Perempuan

Di akhir musim semi, untuk alasan yang tidak jelas tunangannya pergi meninggalkannya. Lalu di akhir musim gugur, Elkanah mendapat informasi tidak pasti tentang keberadaan tunangannya tersebut. Itu adalah Akademi Roh Emerald. Tempat di mana para gadis yang melakukan kontrak dengan Roh menerima pendidikan mereka. Secara kebetulan, Elkanah juga merupakan sedikit dari laki-laki yang mampu melakukan kontrak dengan Roh. Pada normalnya hanya perempuan yang bisa melakukan itu. Agar mereka bisa bertemu kembali, tunangannya memberi persyaratan dengan perantara seseorang. Namun persyaratan itu diberikan perlahan. Untuk yang pertama, dia diminta untuk bergabung dengan kelompok tertentu di akademi itu dan menjalani pertarungan mendebarkan bersama anggotanya. Demikian bermulalah kisah komedi-romansa satu dari sedikit Kontraktor Roh laki-laki di dunia agar dapat bertemu kembali dengan tunangannya. Apakah Elkanah akan mencapai tujuannya? Atau malah terpikat gadis lain dan melupakan tujuannya?

Zikake · Fantasi
Peringkat tidak cukup
42 Chs

Yang Tidak Salah Adalah Yang Terkena Hukuman

Setelah mandi dan makan malam, aku dan Anna entah bagaimana malah duduk bersimpuh di hadapan si Cebol satu yang duduk di atas sofa.

"Baiklah, biar kutanyakan. Siapa di antara kalian yang membuat pintu kamar mandi jadi rusak?"

"Kalau tidak salah ada yang berkata akan bertanggung— Uhuk, uhuk."

Sebagai kode, aku memalingkan wajah serta membuat batuk palsu. Anna yang ada di sampingku juga mengalihkan pandangan dengan alis yang berkedut.

Akibat kodeku itu, harusnya Anna tanpa sengaja akan memikirkan janjinya untuk bertanggung jawab atas rusaknya pintu kamar mandi.

Karena GB bisa membaca pikiran, maka pelakunya akan ketahuan tanpa ada satu orang pun yang berusuara.

"—Begitu rupanya? Baiklah, Elkanah, hukumanmu akan dimulai besok pagi. Setiap hari, bersihkan seisi rumah ini sebelum pergi ke akademi."

Nah, dengan begini, masalah seles—

"Tunggu sebentar! Kenapa malah aku yang dijadikan pelaku!? Aku cuma duduk diam di bak mandi dan tiba saj—ak …."

Ah~ Lidahku malah tergigit di saat-saat penting seperti ini. Cukup sakit juga, meski kuyakin lukanya tak sedalam luka yang timbul dari sakit hati.

"Jika kau tidak mengunci kamar mandi, Anna tidak akan pernah meninju pintunya hingga rusak."

Begitulah, alasan yang dikatakan oleh si Cebol yang kini duduk di sofanya bagaikan seorang ratu. Tetapi bukankah itu berarti—

"Jadi kau merintahkanku untuk mandi dengan pintu yang dibiarkan terbuka lebar, begitu?"

"Benar. Seperti kami."

Ada-ada saja masalah aneh yang kuhadapi. Dan juga 'seperti kami'? Apa itu berarti mereka berdua selalu mandi dengan pintu yang terbuka lebar.

"Tidak terbuka lebar juga, bodoh! Kami biasanya mandi tanpa mengunci pintu. Toh, hanya kami berdua biasanya."

Tetapi … di sini sekarang ada aku, lho …. Aku ini laki-laki. Yah, meski aku tidak tertarik dengan gadis yang kasar seperti mereka.

Tetapi tetap saja …. Laki-laki ….

"Hmm, benar juga. Tapi tetap saja hukumanmu tidak akan hilang. Jadi mulai besok jalanilah hukumanmu dengan giat."

Yang benar? Padahal aku sudah membela diri ini …. Ia pasti hanya ingin membuatku tersiksa seperti ini saja.

"Kalau benar kenapa?"

"Setidaknya beralasanlah kalau itu salah!"

… Yah, setelah menyebutnya cebol berkali-kali sebelum tiba ke tempat ini, jelas ia akan menyimpan dendam tersendiri kepadaku.

"Bersabarlah …."

Anna menyentuh punggungku. Asal tahu saja, jika bukan karena gadis ini, hukuman itu tidak akan ada.

****

Nah, mari kembali ke pembicaraan waktu itu ….

Air di bak bergoyang ketika Anna memasukinya. Sesaat memasukinya, ia menempelkan punggung kepadaku.

"Jadi, apa itu?"

Karena ia sedikit terdiam, aku pun memberi sedikit dorongan. Tetapi sebelum mendengar apa yang ingin Anna katakan, aku membasuh wajah terlebih dahulu.

"Jujur saja, daku tidak tahu dari mana memulainya. Bagaimana kalau dikau buat pertanyaan?"

Kenapa malah aku …. Ah, ya sudah.

"Hmm, benar juga, ya? Apa yang bisa kukatakan?"

Selagi merenung, aku memandang ke langit-langit. Kamar mandi yang normal dan sederhana, kupikir. Eh aku mikir apa?

Sepertinya aku menemukan sesuatu yang perlu kutanyakan. Sepertinya, ya. Jangan berharap lebih pada pertanyaan dari sebiji Elkanah.

"Kalau begitu, kenapa kau selalu memakai kata 'daku' dan 'dikau'? Apa itu semacam kebiasaan dari dulu? Atau ada alasan lain?"

"Itu …. Yah, ini sudah dari dulu. Sedikit berhubungan dengan keluarga daku– Lebih tepatnya, keluarga pihak ibu daku."

Keluarga pihak ibu? Dwarf, kah?

"Benar, Dwarf."

Pikiranku terbaca! Tidak, bukan saatnya mempermasalahkan hal kecil seperti itu. Lagian, bukankah aku sudah terbiasa?

"Tidak seperti Bibi yang murni Dwarf, aku hanya memiliki 50 persen darahnya saja. Sisanya, adalah 25 persen Elf dan 25 lainnya Manusia."

"Jadi karena itu, kulitmu lebih putih dan tinggimu beberapa kali melebihi GB. Lalu, apa hubungannya dengan panggilan 'daku' dan 'dikau'?"

Aku berbalik dan melihat Anna yang mengarahkan pandangan ke air di kedua telapak tangan.

"—Bagi kami Dwarf yang memiliki darah campuran mengalir di dalam tubuh, kami akan menjadi suruhan bagi mereka yang memiliki darah murni. Dan bisa dibilang, begitulah keadaanku sekarang. Aku tidak bisa memberi tahumu lebih lanjut lagi, maaf."

"Oh, begitu. Ya sudah. Tidak apa-apa."

… Pada akhirnya, untuk apa ia mengatakan itu kepadaku? Suruhan …. Apa maksudnya? Apa hubungannya dengan ….

Ah, aku sedikit mengerti satu hal. Tentang hubungan panggilan 'daku' dan 'dikau' yang ia pakai.

Jadi, dahulu Anna pernah diperintahkan seseorang yang memiliki darah murni untuk menggunakan kedua kata itu sebagai kata ganti. Yah, kurasa memang begitu.

Dan ceritanya itu … semacam kode kah? Suruhan …. Darah murni …. Apa itu artinya, GB menyuruhnya melakukan sesuatu?

Tetapi apa itu?

—Tiba-tiba, sesuatu menyentuh punggungku. Tekstur ini …. Itu, ya? Yang kumaksud spon, ya! Bukan dada!

"Untuk apa kau melakukan ini? Seingatku aku tidak menyuruhmu untuk membasuh punggungku atau semacamnya."

"Bukan apa-apa. Daku cuma ingin saja."

Aku menghela nafas karena jawabannya. Semoga saja, kejadian ini tidak diketahui oleh siswi-siswi di akademi. Mereka suka membuat cerita belebihan tentangku soalnya.

Aku tidak ingin terlalu membahasnya.

Mungkin jika ketahuan, akan ada rumor seperti; "Laki-laki Di Akademi Roh Perempuan ternyata telah memperbudak Anna, keponakan—aslinya cucu—Direktur Akademi."

Dan dengan alasan itu, teman-teman sekelas Anna datang ke tempatku sambil membawa gergaji mesin, lalu mengebiriku di tempat. Sungguh akhir yang bahagia, untuk tokoh penjahat.

"—Daku lihat, dikau selalu terdiam. Melamun? Apa yang dikau lamunkan? Gadis-gadis berbikini?"

"Tidak, bukan apa-apa. Lagian, aku tidak terlalu suka melihat gadis berbikini. Aku lebih suka mereka yang memakai gaun."

"Najis."

Kenapa aku malah dimaki …. Yah, kalau kukatakan yang berbikini juga, pasti akan mendapat makian yang sama.

… Dan sekali lagi, sesuatu menyentuh punggungku. Kali ini bukan spon. Cukup kecil.

Tangan, ya! Tangan! Anna tiba-tiba saja menyentuhku menggunakan tangannya! Bukan yang lain!

"Punggung dikau banyak luka. Apa terjadi sesuatu di masa lalu?"

"Eh? Ah …. Aku sendiri tidak tahu."

Aku tertawa masam mengatakan itu.

Meski tidak melihat ekspresinya dengan berbalik, aku bisa menebak ekspresi apa yang ditunjukkan Anna di wajahnya.

Jangan merasa kasihan kepadaku.

"… Bagaimana bisa dikau tidak tahu?"

Sebelum menjawab, aku memandang ke langit. Memikirkan bagaimana jawaban yang tepat, serta mencoba mengingat apa yang terjadi.

"Jujur saja, aku hampir tidak memiliki ingatan apa-apa soal masa-masa yang sudah kulalui. Bahkan, ingatan ketika datang ke akademi ini sudah menjadi sangat samar."

Aku tidak pernah mengatakannya, ya? Beberapa ingatanku tentang akademi ini juga jadi sedikit kabur.

Sebelum datang ke akademi, saat pertama kali datang ke akademi, saat aku tinggal di kamar Reva maupun sebaliknya.

Semua kenanganku di akademi, entah bagaimana perlahan menghilang sementara kenangan baru berdatangan.

Yah, mau bagaimana lagi. Sudah tujuh tahun berlalu aku tidak berada di akademi ini. Meski bagi orang-orang cuma beberapa malam, bagiku, itu adalah tujuh tahun.

"Daku memang mendengar ini dari Bibi …. Tidak, lupakan."

Anna bergumam lalu menggeleng ketika sadar kalau aku mendengarkan apa yang ia gumamkan itu.

"O-Omong-omong, dikau juga bukan manusia murni, 'kan?"

"Ya, memang. Menurut pasangan tua yang pernah merawatku, sembilan puluh persen diriku adalah manusia sementara sepuluh sisanya adalah Iblis Hitam."

"Begitu …."

Setelahnya, waktu berlalu. Anna dan aku keluar dari kamar mandi, lalu makan malam bersama GB. Yang akhirnya malah aku dipaksa tanggung jawab soal pintu kamar mandi. Sialan memang.