Ketegangan semakin terasa di seluruh wilayah Valoria, sebuah negara yang selama ini damai namun kini berada di situasi perang. Kerajaan Drakoria, yang dikenal karena kekuatan militernya dan kekuasaan naga mereka, telah mengeluarkan ultimatum yang menggemparkan. Drakoria menuntut agar Valoria menyerahkan sebagian wilayah yang kaya akan sumber daya alam—terutama desa-desa di perbatasan, yang termasuk dalam klaim mereka.
Kabar mengenai ultimatum ini menyebar cepat ke setiap desa, termasuk Eldoria, desa kecil yang terletak di bawah bayang-bayang Pegunungan Veridion. Meskipun tampaknya terpencil dan aman, desa ini tidak kebal dari dampak ketegangan yang semakin memuncak di seluruh Valoria. Setiap hari, ketidakpastian menggantung di udara, membuat semua orang bertanya-tanya kapan perang akan benar-benar pecah.
Bagi keluarga prajurit di desa, seperti keluarga Aric, ketegangan itu lebih dari sekadar rumor. Ayah Aric, Garrick, adalah salah satu prajurit yang ditugaskan di perbatasan, mempertahankan wilayah Valoria dari ancaman invasi Drakoria. Setiap kali kabar mengenai pertempuran muncul, keluarga-keluarga prajurit seperti mereka hidup dalam kecemasan yang tak terucapkan—kecemasan tentang nasib orang-orang yang mereka cintai.
Aric, yang masih berusia muda namun sudah mengerti kerasnya dunia di sekitarnya, tidak bisa mengabaikan ketakutan yang semakin berkembang dalam dirinya. Meskipun dia tahu bahwa ayahnya adalah prajurit yang kuat dan terampil, ancaman dari Kerajaan Drakoria bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan. Desa Eldoria mungkin terlihat tenang, tetapi di balik ketenangan itu, ada rasa takut yang menyebar di antara penduduk.
Malam-malam terasa semakin panjang di desa itu, dengan bisikan tentang kemungkinan invasi yang segera datang. Dan meskipun Baron Rodric, pemimpin desa yang bijaksana, terus meyakinkan mereka bahwa Count Ardan akan mengambil langkah yang tepat, banyak yang merasa bahwa perang adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Di bawah langit senja yang memerah, Aric berdiri di ambang pintu rumah kecilnya, menatap cakrawala yang suram. Udara terasa dingin, meskipun musim panas seharusnya menghangatkan desa. Langit seolah mengabarkan sesuatu yang buruk, namun Aric tidak tahu apa yang sedang menantinya. Ibu Aric, Mirana, tampak gelisah sejak pagi, seperti merasakan sesuatu yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.
Tiba-tiba, suara derap kaki kuda terdengar mendekat dengan cepat, menghancurkan keheningan yang menyelimuti desa. Seorang prajurit dari Valoria, mengenakan baju zirah yang berkilauan, melompat turun dari kudanya dengan wajah penuh ketegangan. Hatinya terasa berat, membawa kabar yang tidak ingin disampaikannya.
Aric, melihat prajurit itu mendekat, merasakan sesuatu yang aneh menghantui perutnya. Ia mencoba mengabaikan rasa cemas yang mendesak, tetapi setiap langkah prajurit itu membuat ketakutan dalam hatinya semakin nyata.
Prajurit itu berhenti di depan mereka. Kuda yang ia tunggangi masih terengah-engah, dan prajurit itu sendiri tampak letih—bukan hanya karena perjalanan panjang, tapi juga karena beratnya kabar yang harus ia sampaikan. Dengan napas terputus-putus, dia menundukkan kepalanya dalam hormat yang penuh duka, kemudian berkata dengan suara serak dan gemetar, seolah-olah setiap kata menyakitinya, "Mirana... Aric... aku membawa kabar dari pertempuran di perbatasan. Garrick... ayahmu... dia telah gugur dalam tugasnya."
Untuk sejenak, dunia berhenti. Angin yang biasa berembus lembut di sekitar desa seolah membeku. Setiap suara menghilang, menyisakan keheningan yang menyesakkan. Matahari yang sedang terbenam, yang seharusnya memancarkan kehangatan, tiba-tiba terasa dingin dan kelabu. Rasa takut yang selama ini hanya mengintai di tepian pikiran Aric sekarang datang menghantamnya seperti badai.
Mirana, meskipun wajahnya pucat dan tubuhnya bergetar, berusaha tetap berdiri teguh. Air mata yang telah menumpuk di matanya sejak suaminya pergi kini berusaha tumpah, tetapi dia menahannya dengan segenap kekuatan yang tersisa. Dia tidak ingin runtuh di depan Aric. Namun, wajahnya, yang biasanya penuh kehangatan, kini kosong—seolah semua kekuatan yang selama ini menopangnya perlahan-lahan menghilang bersama kabar itu.
Aric, di sisi lain, merasakan sesuatu yang lebih dalam, lebih menyakitkan daripada sekadar berita buruk. Rasanya seperti sesuatu telah direnggut dari jantungnya, sesuatu yang tidak akan pernah bisa ia ambil kembali. Ayahnya... yang selalu tampak begitu kuat, begitu abadi dalam ingatannya, kini lenyap. Pikiran itu terlalu sulit untuk dipahami. Kata-kata prajurit itu, meskipun pelan, menghantam Aric dengan kekuatan yang tidak bisa ia lawan, seperti gemuruh petir yang menghantam langsung ke tulang-tulangnya.
"Dia... gugur?" Aric bergumam, hampir tidak mampu mengeluarkan suara. Tenggorokannya tercekat, seperti ada batu besar yang menghancurkan setiap kata yang berusaha keluar. Matanya memandang prajurit itu, berharap mungkin ada kesalahan, berharap ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi wajah prajurit itu hanya menegaskan kenyataan yang pahit.
"Iya, Nak... Ayahmu gugur dengan terhormat. Dia... dia memimpin serangan terakhir, melindungi rekan-rekannya sampai nafas terakhirnya. Garrick meninggal sebagai pahlawan, tapi—" prajurit itu terdiam, seolah kata-katanya sendiri terlalu berat untuk diucapkan. "Dia tidak kembali."
Dunia Aric runtuh. Tidak ada lagi yang terasa nyata. Tanah di bawah kakinya terasa bergoyang, seolah-olah ia berdiri di atas jurang yang dalam, siap menelan dirinya. Hatinya yang sebelumnya dipenuhi harapan kini terisi oleh kehampaan yang menakutkan. Ia melihat bayangan ayahnya—tertawa, mengajarinya seni bela diri, memeluknya dengan penuh kebanggaan—semua itu kini hanya kenangan yang hancur berkeping-keping.
"Tidak!" jerit Aric, suaranya parau dan pecah, seolah seluruh tubuhnya menolak kenyataan itu. "Ayah tidak bisa mati! Dia tidak bisa... dia tidak mungkin meninggalkan kita!"
Tapi tidak ada yang menjawab teriakannya, kecuali keheningan. Ibunya hanya bisa memeluk erat Aric, meskipun pelukan itu tidak bisa menghalangi rasa sakit yang memotong dalam. Aric berusaha menarik napas, tapi dada dan tenggorokannya terasa sesak. Dia ingin menangis, berteriak, tapi air matanya tertahan di matanya yang terbakar.
"Kenapa?" Aric berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun. "Kenapa ayah harus mati? Kenapa... dia meninggalkan kami?"
Mirana, yang kini air matanya mengalir tanpa henti, mencoba berkata sesuatu, tapi tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Semua perasaannya, semua ketakutannya, kini pecah menjadi air mata yang membasahi tanah di bawahnya. Dia merasakan kesedihan Aric seolah itu adalah kesedihannya sendiri, namun tidak ada yang bisa dia lakukan untuk menghentikannya. Mereka hanya bisa merasakan kehampaan yang sama—sebuah lubang besar di hati mereka yang tidak bisa diisi oleh apa pun.
Waktu terasa berhenti bagi Aric. Setiap detik berlalu seperti beban berat yang menekan tubuhnya. Hatinya terasa hancur, seolah-olah ada pisau yang menghujam dalam, dan rasa sakitnya begitu tajam hingga ia tidak tahu bagaimana bisa bertahan. Ia membayangkan ayahnya di medan perang—berjuang, bertahan, lalu terjatuh. Bayangan itu menghantuinya, membuat dadanya terasa semakin sesak.
Dalam keputusasaan dan kemarahan, Aric mengeraskan tinjunya, memukul tanah di bawahnya. "Aku harusnya lebih kuat... aku harusnya bisa... melindungi ayah. Kenapa aku tidak bisa melakukannya?"
Ibunya, meskipun juga hancur, menarik Aric ke dalam pelukannya sekali lagi, mencoba memberi kehangatan yang tidak bisa menyembuhkan, tetapi setidaknya bisa menahan sebagian dari rasa sakit itu. "Ini bukan salahmu, Aric. Ayahmu... dia membuat pilihannya. Dia... dia melindungi kita dengan caranya sendiri."
Tapi bagi Aric, kata-kata itu tidak cukup. Rasa sakit di hatinya terlalu dalam, terlalu tajam. Di tengah air mata yang belum bisa ia keluarkan, satu tekad perlahan tumbuh di dalam dirinya—tekad yang terbentuk dari rasa kehilangan dan dendam. Dia bersumpah pada dirinya sendiri, di dalam kehancuran ini, bahwa dia akan menjadi lebih kuat. Dia akan menjadi seseorang yang tidak akan pernah kalah, tidak akan pernah kehilangan lagi.
Dengan mata yang memerah dan hati yang koyak, Aric menatap cakrawala yang kini terlihat gelap. Langit seolah menangis bersama mereka, memantulkan rasa duka yang tak terungkapkan. Dan di sanalah, di bawah langit yang muram, lahirlah tekad baru di dalam Aric—tekad untuk tidak lagi menjadi korban.
Mirana menarik Aric ke dalam pelukannya, meskipun hatinya juga hancur. "Nak, ayahmu adalah pria yang kuat... dia melindungi kita... dia melindungi semua orang. Dia... dia melakukan apa yang dia percaya benar."
Namun kata-kata itu tidak mengurangi rasa sakit yang menusuk hati Aric. Hatinya terisi dengan kepedihan yang dalam, dan di dalam benaknya, lahir keputusan yang akan mengubah hidupnya. Ia bersumpah, dalam diam, bahwa dia tidak akan menjadi korban. Dia akan menjadi kuat—lebih kuat dari apa yang pernah dia bayangkan—agar tidak ada lagi orang yang dia cintai harus mengorbankan nyawa seperti ayahnya.
2 Tahun Kemudian
Senja di Desa Eldoria terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis yang turun dari Pegunungan Veridion menyelimuti desa, membuat bayang-bayang dari rumah-rumah dan dinding kayu yang menjulang terlihat seperti siluet suram di bawah cahaya merah muda matahari yang tenggelam. Di lapangan tengah desa, sekelompok pemuda tengah berlatih dengan busur dan tombak di tangan. Suara hentakan kaki dan senjata kayu yang beradu memenuhi udara.
Di tengah keramaian itu, Aric berdiri tegap, matanya yang kini tajam dan tegas mengawasi teman-temannya berlatih. Dua tahun telah mengubah segalanya. Sejak kematian ayahnya, Aric tidak pernah lagi merasakan kedamaian seperti dahulu. Setiap hari baginya adalah perjuangan baru—bukan hanya melawan ancaman dari Drakoria, tetapi juga melawan keraguannya sendiri.
Di sebelahnya, Tomas Valen, anak dari Baron Rodric, memegang busur dan memperhatikan pemuda-pemuda yang berlatih dengan mata penuh analisis. Tomas, seumuran dengan Aric, telah tumbuh menjadi sosok pemimpin yang cerdas dan taktis. Dia dikenal sebagai pemuda yang mampu berpikir jauh ke depan, berbeda dengan Aric yang lebih fokus pada aksi langsung.
"Busur itu terlalu kendor, Darren," kata Tomas tiba-tiba, nada suaranya serius, seperti biasanya. "Tarik lebih kuat, atau kau tidak akan bisa menembus armor pasukan Drakoria."
Darren, sahabat Aric yang terkenal suka menggampangkan banyak hal, menatap Tomas dengan ekspresi masam. "Tarik lebih kuat? Serius? Kau pikir lengan ini terbuat dari baja?"
Tomas hanya menghela napas, sementara Aric yang sudah hafal tingkah Darren dari belakang menggeleng sambil tertawa kecil. Dia menyandarkan tombaknya di pinggir lapangan dan berjalan mendekat. "Darren, kita udah latihan ini berkali-kali. Tarik napas, lepaskan perlahan, fokus. Panah itu nggak akan terbang karena kau mohon-mohon dengan manis, tahu?"
Darren melirik Aric dengan mata menyipit, tapi tetap mengikuti instruksi. "Baik, baik. Fokus. Tapi kalau panah ini meleset lagi, aku akan bilang busur ini punya masalah pribadi denganku."
Aric tertawa pelan. "Busur yang punya masalah pribadi denganmu? Kau yakin itu bukan tanganmu yang masalah?"
Sementara itu, Tomas berdiri di belakang mereka dengan tangan disilangkan. Dia mencoba terlihat tegas, tapi sudut bibirnya bergetar, menahan tawa. "Tanganmu atau busur, Darren, yang jelas salah satunya perlu diperbaiki."
Darren mendesah keras, tapi kali ini dia benar-benar serius. Dia menarik napas panjang dan menarik tali busur lebih kuat, mencoba mengabaikan semua lelucon itu. Panah terbang, akhirnya menancap di lingkaran tengah target. Darren meluruskan tubuh dengan senyum bangga.
"Nah, lihat?" katanya dengan senyum lebar, "Mudah! Meskipun kau berdua terus menggaggu, panahku tetap melesat tepat."
Aric tertawa, melirik Tomas yang kini juga tersenyum lebih lebar. "Tentu, Darren. Aku yakin tanganmu itu lebih gemetaran bukan karena busur, tapi karena kau lebih takut pada latihan ketimbang perang."
Darren, yang terkenal selalu punya balasan tajam, mendengus. "Hey, tanganku hanya gemetaran karena aku satu-satunya yang harus memikul semua harapan kalian di medan perang nanti. Kau tahu, saat aku harus menyelamatkan lehermu."
Tomas menepuk bahu Darren. "Kalau kau benar-benar bisa menyelamatkan leher kami dengan panah itu, aku akan memastikan kau dapat lebih banyak jatah makanan malam."
Darren langsung menyeringai lebar. "Sekarang kau bicara. Itu baru motivasi yang benar."
Aric hanya bisa menggeleng, senyum di wajahnya semakin lebar. "Aku khawatir, kalau itu yang memotivasi Darren, kita semua mungkin akan mati kelaparan sebelum dia menarik busurnya dengan benar."
Mereka bertiga tertawa kecil, meskipun di balik tawa itu, mereka tahu kenyataan yang menunggu tidaklah mudah. Tapi setidaknya, untuk saat ini, mereka masih bisa bercanda dan melupakan sejenak apa yang akan mereka hadapi.
"Bagus," ujar Aric, mengangguk setuju. Tomas, di sebelahnya, tersenyum kecil dan berbalik ke arah Aric.
"Kau tahu, Aric, kita mungkin tidak punya busur terbaik atau pasukan sebesar Drakoria, tapi aku yakin... kita bisa bertahan jika kita bisa bekerja sama. Membangun strategi yang lebih besar."
Aric memandang Tomas sejenak, kemudian menunduk, seolah merenung. Selama dua tahun ini, mereka sering memiliki pandangan yang berbeda. Tomas lebih sering berbicara soal strategi besar, aliansi, dan rencana jangka panjang. Aric, sebaliknya, lebih berfokus pada latihan keras dan menghadapi ancaman langsung. Namun, di balik itu semua, Aric tahu bahwa Tomas memiliki wawasan yang tajam.
"Aku mengerti apa yang kau maksud, Tomas," ujar Aric dengan nada serius. "Tapi di lapangan ini... ketika Drakoria datang, strategi hanya berarti jika kita cukup kuat untuk bertahan hidup."
Tomas menatap Aric dengan senyuman tipis, tidak berniat berdebat lebih jauh. "Kita butuh keduanya, Aric. Kekuatan fisik dan strategi. Jika salah satu dari itu hilang, kita pasti kalah."
Baron Rodric, meski sudah jarang keluar dari rumahnya, tiba-tiba muncul dari kejauhan. Tubuhnya yang renta didukung oleh tongkat kayu yang sudah lama menjadi teman setianya. Setiap langkahnya pelan, namun penuh kehormatan. Wajahnya dipenuhi kerut yang menceritakan usia dan pengalaman panjang yang telah ia lalui, tetapi matanya—matanya masih menyala dengan kebijaksanaan yang tak pudar.
Saat dia mendekati lapangan latihan, Aric, Tomas, dan Darren langsung menghentikan latihan mereka dan memberi hormat. Meski usianya sudah sangat tua, kehadiran Baron Rodric masih membawa wibawa yang kuat.
"Latihan berjalan baik, anak-anak?" tanya Rodric dengan suara berat namun penuh ketenangan. Meski ia menyebut mereka 'anak-anak', dalam hati, ia tahu bahwa pemuda-pemuda di hadapannya sudah jauh lebih dewasa daripada usianya sendiri pada masa mudanya. Aric, Tomas, dan Darren bukan lagi anak-anak yang bisa ia lindungi dengan mudah. Mereka adalah calon pemimpin, calon pelindung—mereka akan menjadi tulang punggung desa ini di masa depan, terutama saat dirinya sudah tidak mampu lagi berdiri tegak.
Dia melihat Aric, yang meski dilanda beban besar sejak kematian ayahnya, kini telah tumbuh menjadi pemuda yang kuat, dengan sorot mata penuh tekad. Tomas, putranya sendiri, semakin cerdas dan taktis, mengambil alih sebagian besar tugasnya, dan siap untuk memimpin ketika saatnya tiba. Lalu Darren, meski sering bercanda dan tampak lebih santai, adalah orang yang bisa diandalkan dalam momen-momen kritis.
Rodric mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya yang keriput. "Kalian bertiga... bukan lagi sekadar anak-anak. Kalian adalah harapan desa ini. Bukan hanya karena kekuatan kalian, tapi juga karena hati dan keberanian yang kalian tunjukkan setiap hari."
Darren, yang biasanya penuh lelucon, kini juga terdiam sejenak di bawah tatapan Rodric. Di balik candaan dan keceriaannya, Darren tahu betul bahwa masa depan Eldoria sangat bergantung pada apa yang mereka lakukan sekarang. Meskipun sering dianggap lebih ceroboh dibanding Aric dan Tomas, Darren tahu kapan saatnya untuk serius. Dan momen ini adalah salah satu dari momen itu.
Rodric memandangi mereka bertiga, dan dalam hatinya, dia merasakan kebanggaan yang mendalam. Dia mungkin sudah tua, terlalu lemah untuk memimpin perang seperti dulu, tetapi di hadapannya berdiri tiga pemuda yang mampu membawa desa ini melewati badai yang akan datang.
"Jangan pernah remehkan diri kalian," lanjut Rodric dengan suara yang mulai bergetar karena usia. "Ancaman dari Drakoria mungkin terasa terlalu besar, tapi kalian... kalian punya sesuatu yang lebih kuat dari senjata apa pun. Kalian punya satu sama lain."
Aric mengangguk, sementara Tomas menjawab lebih detail, "Kami membuat kemajuan, Ayah. Semua orang belajar lebih cepat dari yang kukira, bahkan Darren bisa menembak lebih dari sekali tanpa mengeluh." Tomas melirik Darren sambil tersenyum tipis.
Darren, yang berdiri di dekat mereka, menahan senyum. "Hei, aku hanya memastikan kalian tidak terlalu percaya diri. Tak ada salahnya mengingatkan bahwa kita masih manusia biasa, kan?"
Baron Rodric tertawa kecil, sebuah suara serak namun penuh kehangatan. Meskipun umurnya sudah sangat tua, ia masih bisa menghargai lelucon di tengah suasana serius. "Bagus, Darren. Kita memang butuh semangat seperti itu."
Rodric mengangguk pelan, kembali serius. "Kalian semua sudah melakukan pekerjaan yang hebat. Tapi ingatlah, ancaman sebenarnya belum datang. Drakoria tidak akan memberi kita waktu untuk bersiap lagi. Ketika mereka datang, mereka akan menghancurkan tanpa ampun."
Wajah Aric mengeras, memikirkan ancaman itu. Dia tahu benar seberapa besar pasukan Drakoria dan betapa beratnya melawan mereka dengan kekuatan desa yang terbatas. Darren, yang biasanya lebih ceria, juga tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Candaannya mereda, dan dia mulai tampak merenung, memikirkan masa depan desa mereka.
"Apa yang harus kita lakukan, Baron?" tanya Aric serius, pandangannya tidak lepas dari wajah tua yang bijak di depannya.
Rodric menatap keduanya, termasuk Darren, dengan tatapan dalam. Meskipun ia memanggil mereka 'anak-anak', dalam hatinya, dia tahu betul bahwa pemuda-pemuda ini akan menjadi pilar yang menahan beban desa di masa depan. "Gunakan kekuatan yang kalian miliki. Bukan hanya otot, tapi juga pikiran. Desa ini mungkin kecil, tapi lokasinya memberi kita keunggulan. Gunakan itu."
Darren, yang biasanya lebih suka mengandalkan kekuatan fisik dan spontanitas, menyadari makna dalam kata-kata itu. "Kau bilang otot itu nggak cukup, Baron?" tanya Darren dengan sedikit ragu. "Karena kalau hanya pikiran, aku mungkin dalam masalah besar."
Rodric tertawa lembut. "Darren, kekuatan itu lebih dari sekadar lengan yang kuat. Kau punya cara lain untuk bertarung—dengan hati, dengan keberanian, dan kadang, dengan humor. Itu yang akan membuat kita bertahan lebih lama dari musuh."
Darren tersenyum, merasa sedikit lebih lega meskipun leluconnya hanya setengah serius. Ia tahu di dalam hatinya bahwa ancaman Drakoria adalah sesuatu yang tidak bisa ia remehkan, tapi dia juga tahu bahwa bersama Aric dan Tomas, mereka punya sesuatu yang lebih besar daripada sekadar senjata: persatuan.
Setelah itu, Rodric berpaling pada Tomas dan memberi isyarat halus, "Tomas, kita perlu bicara soal rencana aliansi. Kau tahu apa yang harus dilakukan."
Tomas mengangguk, tapi sebelum pergi, dia menepuk bahu Darren. "Darren, jangan khawatir. Kalau semua gagal, kau tetap bisa membuat mereka tertawa sampai mereka menyerah."
Darren tertawa, meski dengan cemas yang masih terasa. "Kalau itu rencana cadangan kita, aku harap kau punya rencana utama yang lebih baik."
Tomas mengangguk dan mengikuti ayahnya kembali ke rumah besar mereka. Aric dan Darren menatap mereka berjalan pergi, merasakan ketegangan dalam dirinya semakin tumbuh. Meski ia menghormati Tomas dan ayahnya, Aric masih merasakan beban yang luar biasa di pundaknya. Ia tahu bahwa ketika hari pertempuran tiba, tidak ada strategi yang bisa menggantikan kekuatan dan ketangguhan di lapangan.
Malam itu, setelah semua orang kembali ke rumah mereka masing-masing, Aric duduk sendirian di tepi sungai Valen, memandang air yang mengalir pelan. Rasa lelah mental dan fisik mulai menghantamnya. Meski ia berusaha keras, masih ada keraguan yang merayap dalam dirinya. Apakah ia benar-benar cukup kuat untuk melindungi desa ini? Apakah semua latihan ini akan cukup?
Dalam keheningan, suara langkah kaki menghampirinya. Mirana, ibunya, muncul dengan wajah penuh kehangatan yang selalu dia berikan kepada Aric, meski luka hatinya masih mendalam sejak kematian suaminya.
"Aric," panggilnya lembut, duduk di sebelah putranya. "Apa yang kau pikirkan?"
Aric tidak langsung menjawab, hanya memandang air sungai yang berkilauan di bawah sinar bulan. "Aku tidak tahu, Bu... apakah semua ini cukup? Drakoria semakin dekat. Aku bisa merasakannya."
Mirana menatap putranya dengan mata yang penuh cinta dan keteguhan. "Kau sudah melakukan yang terbaik, Nak. Desa ini bergantung padamu dan Tomas. Tapi ingat, kau tidak harus melakukannya sendirian. Kau punya teman, kau punya desa ini... dan kau punya hati yang lebih kuat dari yang kau sadari."
Aric menunduk, merasa sedikit lega mendengar kata-kata ibunya. Tapi beban itu masih ada. "Aku hanya takut, Bu. Takut kehilangan lagi."
Mirana tersenyum lembut, meraih tangan Aric dan menggenggamnya erat. "Kehilangan adalah bagian dari kehidupan, Aric. Tapi jika kita menyerah pada rasa takut itu, kita tidak akan pernah bisa melindungi apa yang kita cintai."
Kata-kata ibunya menembus ke dalam hati Aric, menguatkan tekad yang sudah lama bersemi di dalam dirinya. Dia menatap ibunya dan tersenyum tipis. "Aku tidak akan menyerah, Bu. Tidak kali ini."
Keesokan harinya, suasana di Desa Eldoria terasa lebih sibuk dari biasanya. Tomas, putra Baron Rodric, berdiri di dekat meja kayu besar yang penuh dengan peta dan dokumen. Di sekelilingnya, beberapa pemuda desa, termasuk Aric dan Darren, berkumpul, mendiskusikan rencana untuk menghubungi desa-desa tetangga dan membentuk aliansi. Meski masih muda, Tomas dan Aric memiliki posisi penting di desa—bukan hanya karena darah bangsawan Tomas, tapi juga karena kemampuan mereka yang telah terbukti di lapangan. Dalam dua tahun terakhir, mereka telah memimpin sebagian besar latihan dan persiapan pertahanan, menginspirasi para pemuda dan bahkan mendapatkan rasa hormat dari orang-orang yang jauh lebih tua.
Meski banyak lelaki yang lebih tua dan berpengalaman di desa, tidak bisa dipungkiri bahwa Aric dan Tomas telah menjadi simbol harapan bagi desa ini. Tomas, yang secara alami dipersiapkan untuk memimpin sebagai penerus Baron, memiliki kecerdasan strategis yang diakui oleh semua orang, sementara Aric, meski tidak berasal dari keluarga bangsawan, telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin dalam latihan dan memiliki tekad yang tak tergoyahkan.
Darren, seperti biasanya, berdiri di samping Tomas dan Aric, meski raut wajahnya lebih serius dari biasanya. Ia ikut dalam diskusi tersebut, tapi tidak bisa sepenuhnya menahan diri untuk tidak menyisipkan candaan ringan.
"Kita harus cepat, Tomas," ujar Aric dengan nada mendesak. "Waktu kita tidak banyak. Drakoria bisa menyerang kapan saja."
Tomas menatap peta dengan tatapan fokus, jari-jarinya menelusuri beberapa desa di sekitar Pegunungan Veridion. "Aku tahu, Aric. Tapi kita tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan kita sendiri. Jika kita bisa mendapatkan bantuan dari Count Ardan dan desa-desa tetangga, kita bisa bertahan lebih lama. Kita butuh lebih dari sekadar busur dan tombak kayu."
Baron Rodric, yang telah memimpin desa ini selama beberapa dekade, mendengarkan diskusi mereka dari kursinya. Meski umurnya sudah lanjut dan kekuatannya mulai menurun, kebijaksanaannya tetap dihormati oleh semua orang. Di sampingnya berdiri beberapa veteran prajurit yang pernah bertempur bersama Rodric di masa lalu—orang-orang tua yang telah menyaksikan banyak perang, tapi kini lebih banyak berperan sebagai penasihat daripada pejuang di garis depan.
Rodric mengangguk pelan. "Kalian benar. Kalian sudah melakukan pekerjaan yang hebat, dan aku setuju, waktu tidak berpihak pada kita. Drakoria tidak akan memberi kita kesempatan kedua. Ketika mereka datang, mereka akan datang dengan kekuatan penuh."
Garon, salah satu veteran tertua di desa dan sahabat lama Rodric, berbicara dengan suara berat. "Tomas, Aric... Kami, yang lebih tua, sudah melihat banyak pertempuran. Tapi kali ini, aku harus mengakui, kita tidak punya cukup tenaga seperti dulu. Kami bisa bertarung, tapi kalian, dengan pemikiran dan semangat muda, adalah yang akan memimpin desa ini."
Semua mata tertuju pada Tomas dan Aric. Para lelaki tua di ruangan itu, yang memiliki pengalaman bertempur lebih dari siapa pun, kini mempercayakan nasib desa kepada generasi yang lebih muda. Tomas memiliki pemikiran taktis yang dipelajari dari ayahnya, sementara Aric telah menunjukkan bahwa dirinya adalah pemimpin yang tangguh dan tak gentar menghadapi ancaman. Keduanya bukan hanya sekadar pemuda biasa—mereka telah menginspirasi desa ini melalui tindakan nyata, bukan hanya kata-kata.
Baron Rodric menatap anaknya dengan bangga, meskipun ada kekhawatiran di balik matanya yang lelah. "Tomas, kau tahu apa yang harus dilakukan. Temuilah Count Ardan. Jika kita bisa mendapatkan dukungannya, kita bisa bertahan lebih lama."
Tomas mengangguk mantap, tapi sebelum bisa mengatakan apa-apa, Darren menyela, mencoba mengendurkan ketegangan dengan candaannya yang biasa. "Jadi, apa yang kita lakukan kalau desa-desa tetangga menolak? Menawarkan lelucon gratis saat pertempuran?"
Senyum tipis muncul di wajah beberapa veteran, termasuk Garon. Meskipun suasananya tegang, lelucon Darren selalu bisa membuat suasana sedikit lebih ringan.
Tomas melirik Darren dengan senyum kecil. "Kalau leluconmu bisa menghentikan naga Drakoria, mungkin kau yang seharusnya jadi pemimpin."
Darren tertawa kecil, meski kecemasan tetap terlihat di balik senyumnya. "Kalau itu rencananya, Tomas, mari kita harap naga-naga itu punya selera humor yang bagus."
Aric, yang biasanya lebih serius, tak bisa menahan diri untuk ikut tersenyum. Namun di balik canda tawa itu, mereka semua tahu bahwa pertempuran yang sebenarnya akan jauh dari sekadar lelucon.
Rodric menatap Tomas dengan penuh perhatian. "Besok pagi, kau akan berangkat dengan beberapa orang untuk melindungimu. Tapi ingat, Tomas... Aliansi dengan Count Ardan itu penting, tapi jangan bergantung sepenuhnya padanya. Kita harus siap menghadapi kemungkinan terburuk."
Garon mengangguk setuju. "Kita harus bersiap untuk yang terburuk, bahkan jika bantuan itu tidak datang tepat waktu."
Tomas menoleh ke Aric, matanya serius. "Aric, aku butuh kau di sini saat aku pergi. Latihan harus tetap berjalan, dan desa harus siap. Jika terjadi sesuatu, jangan ragu untuk bertindak."
Aric mengangguk. Meski tanggung jawab itu berat, dia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk memimpin. Dia telah berlatih bersama para pemuda, belajar dari Rodric dan veteran lainnya, dan kini saatnya dia mengambil langkah lebih besar.
"Tentu, Tomas. Aku akan memastikan desa ini siap," jawab Aric dengan tenang, meski di dalam hatinya dia tahu betapa berat beban yang akan ia pikul selama Tomas pergi.
"Kalau ada masalah di perjalanan, segera kembali," tambah Aric.
Tomas tersenyum tipis. "Aku tidak akan terlambat untuk pesta utama, percayalah."
Malam itu, desa terasa lebih tenang dari biasanya, namun di balik ketenangan itu ada rasa khawatir yang menggantung. Aric, yang biasanya menghabiskan waktunya dengan latihan atau berdiskusi dengan Tomas, berdiri di tepi Sungai Valen, memandang air yang mengalir tenang di bawah sinar bulan.
Tak lama kemudian, Darren datang mendekat dengan langkah santai, mencoba meringankan suasana. "Hei, Aric. Kau terlalu serius malam ini. Kau tahu, ada waktu untuk berpikir, dan ada waktu untuk... yah, bernapas sedikit."
Aric tersenyum tipis. "Aku hanya berpikir. Apa kita benar-benar bisa menghadapi mereka?"
Darren duduk di sebelah Aric, memandang sungai yang sama. "Siapa yang tahu? Tapi satu hal yang pasti, kita tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Dan kalau kita kalah, aku akan memastikan musuh tertawa sebelum mereka memukulku sampai babak belur."
Aric tertawa kecil, meski tegang. Dalam hatinya, dia tahu bahwa apapun yang terjadi, dia tidak akan menghadapi ini sendirian. Bersama Tomas, Darren, dan seluruh desa, mereka akan berjuang. Dan apapun yang akan datang, dia bertekad untuk bertahan.
Tomas, Aric, dan Darren telah berdiskusi dengan intens di sekitar meja kayu, peta desa-desa tetangga tersebar di hadapan mereka. Baron Rodric dan beberapa veteran prajurit tetap diam, mendengarkan rencana aliansi yang diajukan Tomas. Mereka semua sadar betapa pentingnya membangun hubungan dengan desa-desa tetangga dan, terutama, mendapatkan dukungan dari Count Ardan Isilford, pemimpin wilayah mereka.
Namun, meski semua diskusi terasa produktif, suasana tetap berat. Desa Eldoria berada di posisi strategis, terlindungi oleh Pegunungan Veridion di sebelah barat, tetapi akses terbatas ke wilayah lain membuat mereka sulit mendapatkan bantuan dengan cepat. Eldoria bukanlah pusat militer, dan kekuatan mereka sangat terbatas. Meski Baron Rodric masih memiliki hubungan baik dengan Count Ardan, mereka tahu bahwa pertahanan Valoria tersebar terlalu tipis untuk melindungi setiap desa.
Valoria memiliki 30.000 prajurit, tetapi sebagian besar terfokus pada garis perbatasan timur, menghadapi ancaman langsung dari Kerajaan Drakoria. Eldoria, yang berada di pinggiran, tidak pernah diprioritaskan. Mereka terlindung oleh alam, tapi posisi itu sekaligus membuat mereka terisolasi.
Sementara itu, Drakoria terus mengirim pasukan untuk memperluas wilayah mereka. Dengan 70.000 prajurit dan kekuatan tambahan dari naga-naga yang masih mereka gunakan sebagai senjata penghancur, Drakoria adalah ancaman besar yang sulit dikalahkan. Mereka menggunakan taktik pengepungan dan senjata berat, menghancurkan desa-desa kecil tanpa ampun. Meski tidak semua desa hancur dalam serangan pertama, Drakoria sering kali menyerang dalam gelombang, menghancurkan pertahanan dan moral musuh dengan brutal.
Angin dingin berembus, membawa kabar buruk yang menyebar lebih cepat daripada suara langkah kaki para pengintai. Sebuah pesan mendesak telah tiba dari perbatasan timur Valoria—Kastil Ferond, benteng pertahanan terdepan di perbatasan, telah jatuh ke tangan Drakoria. Pasukan Drakoria yang kini mendekati desa-desa perbatasan hanya berjarak paling lama dua minggu sebelum mereka memulai invasi penuh.
Tomas berdiri di tengah lapangan desa, wajahnya penuh ketegangan. Di sekelilingnya, Aric, Darren, dan beberapa veteran prajurit desa, termasuk Garon, berkumpul dengan suasana tegang. Mereka tahu bahwa kabar ini adalah tanda bahaya nyata. Waktu mereka hampir habis.
Baron Rodric, yang biasanya tetap di dalam rumahnya, kini berdiri di samping Tomas. Meski usianya telah sangat lanjut, dan tubuhnya tidak lagi kuat seperti dulu, mata Rodric masih bersinar dengan ketegasan seorang pemimpin yang telah melihat banyak pertempuran. Rodric tahu bahwa kali ini, desa mereka tidak bisa melawan sendirian. Bantuan dari Count Ardan adalah satu-satunya harapan mereka untuk bertahan.
"Kita tidak punya banyak waktu," kata Tomas, suaranya serius. "Drakoria akan menyapu seluruh desa-desa di perbatasan dalam waktu dua minggu. Kita harus segera bergerak ke Kastil Arden dan meminta bantuan dari Count."
Garon, yang berdiri dengan postur tegas meski rambutnya telah memutih, mengangguk pelan. "Ini akan menjadi perjalanan yang berat, Tomas. Tapi kita tidak punya pilihan. Jika kita tidak mendapatkan bantuan, desa kita tidak akan bertahan."
Baron Rodric memandang para pemuda yang berkumpul di sekelilingnya, termasuk Aric dan Darren, lalu berbicara dengan suara rendah namun tegas. "Tomas, aku akan ikut denganmu. Aku yang akan berbicara langsung dengan Count Ardan. Dia perlu mendengar dari seseorang yang telah melihat sendiri betapa dekatnya bahaya ini."
Tomas menatap ayahnya, tampak ragu. "Ayah, perjalanan ini berbahaya. Jalan menuju Kastil Arden penuh dengan patroli musuh. Kau tidak perlu mengambil risiko ini."
Rodric menggeleng perlahan, tapi tegas. "Aku tahu wilayah ini lebih baik dari siapa pun, Tomas. Dan Count Ardan membutuhkan suara yang dapat ia percaya. Aku sudah lama menjalin hubungan dengannya. Dia harus mendengar dariku langsung, dan melihat betapa mendesaknya situasi ini. Jika aku tidak datang, dia mungkin meremehkan betapa dekatnya ancaman ini."
Tomas menghela napas, menyadari bahwa ia tidak bisa membantah ayahnya. Rodric mungkin sudah tua, tetapi ketegasan dan kebijaksanaannya masih menjadi tulang punggung desa ini. Jika ada seseorang yang bisa meyakinkan Count Ardan untuk segera mengirim bantuan, itu adalah Baron Rodric.
Aric, yang berdiri di samping Tomas, menatap Tomas dengan tekad di matanya. "Kau harus pergi, Tomas. Aku akan mengurus desa ini sampai kau kembali. Jangan khawatirkan kami. Kami akan siap menghadapi apa pun yang datang."
Tomas menatap sahabatnya dengan rasa terima kasih. Ia tahu Aric dapat diandalkan untuk menjaga desa selama kepergiannya. Tapi dia juga tahu, waktu sangat terbatas. "Aku tahu kau akan melakukannya, Aric. Jaga desa ini, dan pastikan semua orang siap."
Aric mengangguk, hatinya dipenuhi beban berat. Dia tahu bahwa tanggung jawab yang dipikulnya sangat besar, tetapi dia tidak akan mundur. Eldoria harus bertahan.