webnovel

Mengenalmu

Jaejong melihat kaca sambil membetulkan ikatan rambutnya. Sebuah ikat rambut putih menahan rambut panjangnya tetap tergulung rapi di atas kepala. Dia menepuk-nepuk pakaiannya, pakaian lusuh yang dia peroleh di toko barang bekas. Dia sedang menyembunyikan identitasnya, tidak mungkin menggunakan pakaian formal untuk berkeliaran. 

Jaejong mulai melangkahkan kaki keluar dari rumah persembunyiannya. Melihat ke kiri dan ke kanan, lalu dengan cepat berjalan ke arah pusat kota. Sudah sebulan ini dia melakukan rutinitas yang sama. Berkeliaran di pusat kota untuk mencuri dengar informasi keadaan istana saat ini.

Jaejong sudah tiba di jalan utama kota kekaisaran, banyak orang datang dari semua kalangan, kedai dan penginapan berjajar untuk tempat berkumpul para bangsawan. Jaejong mengambil sebuah bakpao, tidak lupa melempar sebuah koin perak kepada penjualnya. Jaejong mampir di sebuah kedai, mendekati setiap orang yang berbincang sambil membuka lebar telinganya. Belum ada informasi terbaru. Keadaan masih sama seperti sebelumnya.

Suara derap langkah terdengar, Jaejong menoleh untuk mendapati beberapa orang tentara kerajaan yang sedang berpatroli mampir ke kedai itu untuk memeriksa sesuatu. Dengan lincah Jaejong membawa dirinya bersembunyi dibalik sebuah tirai sebelum terlihat.

BRUK!

Jaejong menabrak seseorang di balik tirai. Jaejong mendongak sambil memegang hidungnya yang sakit. Seorang pria dengan pakaian yang sederhana tapi rapi. Nampak seperti orang terpelajar, tapi sepertinya bukan bangsawan. Pria itu tidak membawa senjata, mungkin bukan orang berbahaya. Jadi Jaejong membiarkan dirinya bersama pria itu di balik tirai.

Pria itu menunduk melihat Jaejong. Dia hendak membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu tapi tangan Jaejong lebih cepat untuk menjepit bibirnya agar tidak bersuara. Pria itu melotot, tapi Jaejong bahkan tidak melihatnya. Jaejong yang sedikit lebih pendek darinya itu sedang mengintip dari balik tirai memeriksa keadaan sambil masih tetap menahan bibirnya.

Tentara itu sudah pergi, Jaejong melepaskan bibir pria itu.

"Ah hahaha maafkan aku Tuan, gadis gila itu mengejarku, dia mengikutiku ke mana-mana, ah mau bagaimana lagi aku memang sangat tampan."

Jaejong berkata sambil merapikan baju pria di depannya. Jajeong sedikit melirik ke atas, pria itu tidak merespon, hanya memberinya sebuah tatapan tajam. Apakah dia marah? Jaejong menghentikan gerakannya lalu menarik lengan pria keluar dari balik tirai dan mendudukkannya di sebuah kursi. Jaejong memanggil pelayan untuk memesan minum dan makanan ringan.

"Hari ini aku akan mentraktirmu Tuan, ayo minum, jangan marah begitu, kau sudah membantuku, ini bentuk terima kasihku, ayo minum ayo minum!"

Jaejong menuangkan segelas minuman kepada pria itu tapi tetap tidak ada respon, pria itu hanya menatap Jaejong tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Jaejong menggigit kue yang dipesannya sambil melirik-lirik pria itu. 

"Ah! Apa itu di atas?!"

Pria itu sontak langsung mendongak untuk melihat ke arah jari Jaejong menunjuk. Tapi kemudian matanya melotot karena sekarang mulutnya sudah penuh dengan kue. Jaejong telah dengan cepat memasukkan sepotong kue ke dalam mulut pria itu ketika perhatiannya teralihkan. Jaejong meletakkan dua jarinya di depan mulut pria itu agar kuenya tidak dikeluarkan lagi. 

"Hehe.. ada cicak besar di atasmu tadi Tuan. Kurasa sekarang sudah pergi. Kuenya tidak enak kalau dingin, ayo kunyah ayo kunyah!"

Pria itu menatap Jaejong dengan pandangan membunuh, tapi Jaejong malah semakin menunjukkan lebih banyak deretan gigi putihnya. Pria itu mulai menggerakkan mulutnya untuk mengunyah karena Jaejong terus memaksanya. Jaejong tersenyum puas, akhirnya pria itu mau meminum sendiri minumannya. Jaejong memuji dirinya sendiri karena sangat cerdas memilih camilan yang membuat orang cepat haus.

"Aku harus pergi Tuan, terima kasih sudah menemaniku minum. Sampai jumpa. Semoga hari anda menyenangkan."

Jaejong berpamitan lalu dengan cepat melangkahkan kakinya. Pria itu mendengus melihat Jaejong yang sudah berlari meninggalkan kedai, sangat gesit.

Hari sudah menjelang malam, Jaejong kembali ke rumah persembunyiannya. Tidak ada informasi yang berarti hari ini, dia akan keluar lagi besok. Jaejong menutup pintu kayu rumah bobrok itu lalu menguncinya dari dalam. Kemudian dia menggeser tumpukan jerami di salah satu sudut ruangan untuk membuka sebuah papan kayu di lantai. Ada ruangan kecil di bawah papan kayu itu. Jaejong tinggal di sana selama kurang lebih 1 bulan ini. Rumah itu adalah rumah tidak terpakai di pinggir hutan, dia dan teman-temannya menemukan sebuah ruang bawah tanah ketika bermain beberapa tahun yang lalu. Dia telah membuat janji dengan ibunya untuk bertemu di rumah itu, tapi sampai sekarang ibunya belum muncul, jadi Jaejong terus menunggunya.

Keesokan harinya Jaejong kembali berkeliaran. Hari ini lebih banyak tentara melewati jalan utama, Jaejong mau tidak mau harus mengambil jalan-jalan sempit untuk menghindarinya.

"Kau sudah lihat pengumuman? Kaisar yang baru akan dinobatkan 3 hari lagi."

DEG.

Jaejong mendengar seseorang berbincang dengan temannya. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Kaisar yang baru akan dinobatkan..

"Benarkah? Lalu bagaimana nasib Kaisar Kim dan permaisurinya?" Jaejong mencoba masuk ke dalam perbincangan kedua orang itu.

"Ah itu, tidak ada yang tahu, yang kutahu tentara kekaisaran sekarang sedang memburu putra mahkota kaisar Kim, bahkan ada imbalan jika bisa memberikan informasi tentangnya. Kirasa Kaisar Yu pasti sudah menghabisi semua anggota keluarga Kim, tinggal putra mahkota saja yang terisa, kalau tidak untuk apa mengerahkan begitu banyak orang untuk mencarinya."

Jaejong melangkah mundur. Kakinya tiba-tiba terasa lemas. Dia tidak ingin percaya pada apa yang sudah dia dengar. Belum ada kepastian, semua hanya cerita mulut ke mulut. Jaejong masih memegang harapan di hatinya. Dia pergi untuk mencari infomasi di tempat lain. Dia harus mencari lebih dekat ke istana. Tapi semakin mendekati istana, semakin banyak tentara berjaga, apalagi sebentar lagi penobatan. 

Jaejong berbelok cepat ke gang sempit ketika melihat 2 orang tentara sedang berjalan ke arahnya.

BRUK!

Jaejong menabrak seseorang. Dia mendongak. Ah pria di kedai itu! Jaejong dengan cepat berpindah tempat ke balik punggung pria itu sebelum tentara melintas di mulut gang.

"Ah Tuan, lihat punggungmu kotor. Bagaimana debu-debu ini bisa menempel di punggungmu."

Jaejong menepuk-nepuk punggung pria itu. Pria itu berbalik untuk melihat Jaejong, sehingga Jaejong terpaksa menghentikan kegiatannya. Jaejong tersenyum lebar memamerkan gigi putihnya. Pria itu kemudian membungkuk mengambil sesuatu, kemudian berdiri lagi sambil mencolek-colek wajah Jaejong di beberapa tempat. Pria itu pergi begitu saja setelah melakukan hal itu.

Jaejong yang kebingungan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia kemudian pergi ke arah berlawanan dengan pria itu. Sampai ketika Jaejong melintasi deretan periuk perunggu, dia berhenti, melihat wajahnya di pantulan periuk itu. Wajahnya penuh jelaga hitam! Ah! Orang itu benar-benar! Apa dia masih marah karena peristiwa di kedai sampai sengaja mengotori wajahnya yang putih bersih ini. Jaejong mengusap jelaga itu dengan telapak tangannya, tapi malah menjadi semakin rata di semua bagian wajahnya. Aaaah! Jaejong berteriak frustasi dalam hatinya. 

Keesokan harinya Jaejong masih berusaha mendekat ke istana. Tapi sangat sulit karena tentara banyak berkeliaran. Jaejong berdecak kesal. Tiba-tiba perutnya berbunyi, dia baru ingat kalau belum makan. Jaejong melirik kanan-kiri lalu segera menghampiri penjual bakpao di dekatnya. Baru saja memasukkan gigitan pertamanya ke mulut, seseorang sudah menarik badannya sampai bakpaonya terjatuh. Jaejong mengumpat dalam hati. Dia mengumpat sambil mengunyah gigitan yang tertinggal di mulutnya. Tidak sadar bahwa dia sedang berada di dalam dekapan seseorang.

Jaejong melotot ketika sadar sedang ditahan oleh seseorang. Sial! Dia tertangkap. Dia berusaha melepaskan diri tapi tidak bisa, dekapan itu sangat kuat. Jaejong mendongak untuk melihat siapa yang menangkapnya. Eh? Pria dari kedai itu. Mengetahui hal itu, Jaejong menghentikan perlawanannya, lagipula beberapa tentara sedang melintas, akan lebih aman jika pria itu menutupinya. Jaejong berdiam diri disitu sampai pria itu kemudian melepaskannya. 

"Wanita gila itu mengikutimu lagi."

"Ah begitu, terima kasih Tuan, anda telah menolongku lagi, tapi anda sudah menjatuhkan bakpaoku, jadi aku tidak akan mentraktir anda kali ini."

Jaejong kembali cemberut melihat bakpaonya sudah terinjak orang. Dia lalu teringat apa yang sudah pria itu lakukan padanya kemarin. Jaejong buru-buru menahan oria itu sebelum pergi.

"Tunggu!"

"..."

"Kenapa kemarin anda mencoret-coret wajahku?!"

"Supaya wanita gila itu tidak mengenalimu."

"Eh? Oh.. begitu.. ah ya.. aku mengerti.. te..terima kasih kalau begitu.." Jaejong baru sadar bahwa tindakan pria itu sangat cerdas untuk menyamarkannya. Dia menjadi malu sudah marah-marah.

Pria itu kemudian pergi meninggalkan Jaejong. 

"Eh Tunggu! Tuan, siapa namamu? Kau sering menolongku, setidaknya aku harus menyapamu kalau bertemu denganmu lagi."

"..."

"Apa namamu sangat jelek sehingga kau malu mengatakannya?"

"..."

"Sepertinya memang sangat jelek.."

"Yunho."

"Ah Tuan Yunho terima kasih. Semoga kita tidak bertemu lagi supaya aku tidak perlu mentraktirmu. Selamat tinggal."

Jaejong membungkuk lalu melenggang pergi. Hari itu dia berhasil mendapatkan informasi tentang keluarganya. Kaisar Kim sudah dibunuh, begitu juga dengan adik-adiknya, pelayan-pelayan setianya, kasim-kasimnya. Kaisar Yu mengganti semua pekerja di istana dengan orang baru, menghindari adanya pemberontakan balik. Jaejong kembali ke persembunyiannya dengan menahan air mata. Masih ada harapan. Dia belum mendengar kabar tentang ibunya, mungkin Kaisar Yu mengampuninya. Ibunya sangat baik kepada Kaisar Yu semasa menjabat sebagai permaisuri, tidak pernah menaruh curiga kepadanya meskipun suaminya sendiri sudah waspada pada upaya pemberontakan Kaisar Yu. Jaejong mengepalkan kedua tangannya, masih ada harapan, dia akan menunggu sebentar lagi.

Keesokan harinya, Jaejong melihat sekelompok pejabat memasuki sebuah kedai untuk minum-minum. Jaejong memberanikan diri mendekat untuk mencuri dengar. Perbincangan di kalangan pejabat mungkin bisa memberinya informasi. Tapi baru selangkah masuk ke kedai itu, tangannya ditarik oleh seseorang. Jaejong mendongak untuk melihat siapa yang menariknya. Ah..pria itu lagi.. 

"Tuan Yun, apa anda tidak punya pekerjaan lain selain terus muncul di dekatku? Aku sedang ada keperluan."

"Banyak wanita gila disana."

Yunho lalu menggeret Jaejong berjalan menuju sebuah kedai kecil yang sepi. Dia kemudian memesan minum untuk mereka berdua.

"Uangku menipis, aku tidak bisa mentraktirmu."

"Aku yang bayar."

"Oh kalau begitu tolong semangkuk mie juga."

Jeejong memberikan senyum yang sangat cerah.

Yunho lalu memesan lagi beberapa makanan untuk Jaejong, dan membiarkan Jaejong menghabiskan makanannya.

"Cepatlah pergi dari kota ini."

Yunho tiba-tiba membuka pembicaraan, membuat Jaejong menghentikan sumpitnya di udara untuk sesaat. 

"Tidak perlu diusir, aku memang akan pergi setelah bertemu seseorang. Aku sudah lelah selalu dikejar-kejar wanita gila."

"Siapa yang kau tunggu?"

"Ibuku, aku akan pergi bersamanya."

"Ibumu---"

"Dia akan datang, kami sudah berjanji untuk bertemu di suatu tempat.."

"Sampai kapan kau akan menunggunya?"

"..."

Jajeong tidak menjawab, dia melanjutkan makannya. Karena Jaejong sendiri tidak tahu mau sampai kapan menunggu. Dia hanya tidak ingin pergi sendiri.

"Pergilah nanti malam. Aku bisa membantumu keluar dari kota ini.

Jaejong meletakkan sumpitnya.

"Tuan Yun, apakah kau tahu siapa aku dan akibatnya jika menolongku?"

"Aku tahu."

"Kau tahu?"

"Mn."

"..."

"Pergilah nanti malam, tidak perlu menunggu ibumu, dia---"

"Jangan katakan!"

Napas Jaejong memburu, dia tidak ingin mendengar kabar buruk tentang ibunya. Setidaknya kalau memang sesuatu terjadi dengan ibunya, dia harus memastikannya sendiri.

Yunho bangkit berdiri. Lalu meletakkan secarik kertas dengan tulisan di atasnya. 

"Pergilah ke tempat ini nanti malam, aku akan membantumu keluar dari kota ini dengan aman."

Yunho pergi setelah mengucapkan hal itu tanpa menunggu jawaban dari Jaejong. Jaejong menitikkan air mata. Dia tahu dia harus segera pergi, tapi.. 

Jaejong membulatkan tekadnya untuk menyelinap masuk ke dalam istana. Dia menghabiskan uangnya untuk menyuap seseorang agar menyembunyikannya di dalam peti barang yang dikirim ke dalam dapur istana hari itu. Dengan cara itu Jaejong akhirnya berhasil masuk. Dia membuat pingsan seorang penjaga lalu mencuri pakaiannya untuk menyamar. Jaejong kemudian berpura-pura melakukan patroli. Dia mendekati aula tempat tinggal Permaisuri. Tapi kemudian langkahnya terhenti ketika melintasi aula utama kediaman Kaisar. Badannya seketika bergetar. Air mata membasahi pipinya. Kedua tangannya mengepal. Jaejong jatuh berlutut di depan tiang gantung keluarganya. Semua anggota keluaganya digantung berjajar di depan aula utama. Ayahnya, ibunya, adik-adiknya.. Jaejong mulai terisak, dia meraung dalam hatinya.. Seharusnya hari itu dia tidak pergi meninggalkan mereka. Hari di mana pemberontakan itu terjadi. Sesaat sebelum Kaisar Yu mengerahkan pasukan, ibunya menyembunyikan Jaejong ke dalam gerobak jerami yang akan keluar dari istana. Jaejong bahkan masih ingat wajah ibunya ketika melepasnya pergi.

"Aaaah... Aaaahhhh... aaaaah!"

Jaejong tidak bisa menyembunyikan kesedihannya lagi. Dia menangis melupakan tempat di mana sekarang dia berada. Tapi kemudian tangisnya terhenti, hatinya sekarang dipenuhi kemarahan, dia akan membalas semua orang yang telah menyakiti keluarganya. Jaejong memukul tanah di depannya dengan kepalan tangannya. Dia kemudian beranjak pergi dari istana untuk keluar dari kota itu. Dia harus mengumpulkan kekuatan dan mengatur rencana untuk melakukan pembalasan. 

Jaejong berlari di tengah hutan, dia masih menggunakan seragam tentara yang dicurinya. Sebelumnya, Jaejong terlihat oleh seorang tentara patroli di tengah perjalanan. Tentara itu mencurigainya karena tidak melakukan patroli sesuai jadwal, sehingga Jaejong harus melarikan diri secara tiba-tiba. Jaejong berlari secepat yang dia bisa. Dia menggenggam secarik kertas yang diberikan oleh yunho siang tadi. Jaejong memacu langkahnya semakin kencang melintasi pepohonan.

Beberapa obor terlihat di kejauhan, Jaejong berbelok arah untuk mengambil jalan lain. Tapi kemudian tangannya ditarik, seseorang menggeretnya berlari. 

"Yunho..."

Jaejong mengikuti Yunho berlari menjauhi kilauan obor itu. Jaejong menatap Yunho yang sedang terengah-engah karena berlari. 

"Kenapa kau menolongku.."

"..."

"Kau bisa mati.."

"..."

"Yunho..."

"Sebentar lagi."

Langkah mereka terhenti karena di depan mereka terbentang sebuah jurang. Jurang itu cukup tinggi, Jaejong bisa melihat kerikil-kerikil dari ujung kasutnya terjatuh ke dasar jurang, melompat sama saja mati. Telapak kakinya hanya sejengkal dari ujung jurang, dia tidak bisa ke mana-mana. Tidak ada jalan lain lagi. Obor-obor mulai mendekat. Yunho menggenggam tangan Jaejong. Jaejong berdegup kencang, apakah mereka akan mati bersama di sini?

"Yunho, tinggalkan aku! Mereka sudah dekat!"

"Tidak."

"Yunho, kumohon.. sudah cukup.. terima kasih selalu menolongku, aku tidak ingin kau ikut mati!"

"Percayalah padaku."

Yunho mempererat gengamannya. Tentar-tentara kerajaan itu akhirnya muncul, mengepung mereka. Seeorang dengan menaiki kuda kemudian muncul dari balik kepungan. 

"Bagus sekali, akhirnya aku mendapatkanmu."

"..."

Jaejong tahu mengucapkan apapun sekarang tidak akan merubah keadaan. Jadi dia hanya bisa mengertakkan giginya.

Yunho tiba-tiba melepaskan genggaman tangannya. Merasakan genggamannya terlepas, Jaejong menatap Yunho. Yunho berjalan menjauhinya, mendekati pria berkuda itu, dia bahkan tidak menoleh kepada Jaejong. Yunho berhenti, lalu berlutut di depan pria itu sambil menunduk.

"Kaisar Yu." 

Yunho memberi hormat.

--------------------Tbc.