webnovel

Wasiat Orang Tua Theana

Wasiat Orang tua Theana

Tidak pernah terlintas di pikiran Theana jika dia akan kembali ke tempat ini. Rumah megah dan indah jika dilihat di luar namun serasa seperti neraka jika kau memasukinya.

Theana melirik Aresh yang sedang berbincang dengan pria paruh baya yang merupakan kepala keluarga di rumah ini.

"Terima kasih banyak Anda sudah mau membantu kami. Kami tidak tahu bagaimana cara membalas Anda," ucap Tony.

"Cukup mudah," jawab Aresh. "Izinkan saya menikahi Theana."

"Ta-tapi ...."

"Jika Anda menolak tidak apa-apa, saya bisa membawa kembali Theana menjauh dari kalian."

"Jangan, saya mohon."

Theana melirik sinis pada Tony. Baru kali ini dia melihat pria itu mau memohon pada orang lain.

Theana jadi ingin tahu seberapa besar pengaruh Aresh sehingga pria itu mau melakukan hal yang merendahkan dirinya.

"Baik, karena Anda sudah setuju saya meminta Anda untuk menandatangani surat perjanjian bahwa setelah ini Theana resmi menjadi hak saya seutuhnya."

"Kenapa begitu?" tanya Amira.

"Sesuai perjanjian saya hanya akan membantu mempertemukan Theana dengan kalian dan setelah itu semuanya selesai."

"Tidak bisa begitu Tuan, saya menolak. Theana adalah keluarga kami dan hanya kami yang berhak pada dirinya!" sentak Tony tidak terima.

Aresh berdehem dan memperbaiki jasnya. "Tuan Abigail yang terhormat, jangan kira saya tidak tahu apa yang Anda rencanakan, saya tidak suka ikut campur urusan orang lain, tapi kali ini berbeda karena semua menyangkut Theana, calon istri saya!"

"Apa maksud Anda? Saya tidak memiliki maksud apapun, apa saya salah ingin supaya Theana tetap di sini? Di sini adalah tempat tinggal dia yang sebenarnya!"

Cih, tempat tinggal yang sebenarnya? Theana rasa bukan, tapi yang benar adalah neraka yang sebenarnya.

"Paman," panggil Theana membuat Tony menatapnya. "aku tahu ketakutan paman. Sejak awal aku sudah tahu tentang wasiat dari Papa dan Mama, kalau setelah aku menikah semua harta yang kalian gunakan saat ini akan jatuh ke tangan pemilik sahnya, yaitu aku!"

Tony terkejut, bagaimana Theana bisa tahu tentang hal itu? Padahal dia sudah merahasiakannya dan menutup mulut orang-orang yang mengetahui tentang hal ini.

"Karena itulah paman mencoba melakukan berbagai cara supaya aku tidak akan pernah menikah! Seperti menyuruh anakmu merebut calon suamiku!"

Bungkam. Sepasang suami istri itu tidak berani membuka suara. Semua kecurangan yang mereka lakukan sudah ketahuan.

"Bersiaplah untuk angkat kaki dari rumah ini, karena sebentar lagi aku dan Theana akan resmi menikah," ucap Aresh datar kemudian membawa Theana keluar.

Namun sebelum sampai di pintu keluar Aresh menyempatkan untuk menoleh. "Dan jangan lupa untuk menandatangani perjanjian itu, bawahanku akan mengambilnya nanti."

*

Suasana mobil terasa canggung, namun Theana merasa berhutang budi dengan Aresh karena ia mulai tahu maksud dari ajakan nikah Aresh.

"Terima kasih," ucap Theana pelan.

"Hm, kau harus membayar mahal untuk semua pertolonganku."

"Jadi kamu tidak ikhlas menolongku?!" sembur Theana. Dia melotot kesal pada Aresh. "Memang benar ya, di dunia ini tidak ada yang gratis."

Aresh tersenyum tipis mendengar gerutuan Theana. Entah kenapa Aresh selalu senang melihat wajah marahnya.

"Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu baik banget sama aku? Setelah kupikir-pikir kita tidak saling mengenal, bertemu pun baru kemarin." Theana menatap curiga namun Aresh hanya memasang wajah datar.

"Aku adalah orang baik yang suka menolong sesama," jawab Aresh asal.

"Huh? Suka menolong sesama katamu? Menolong terus nanti meminta imbalan," decak Theana.

"Setiap apa yang kita tanam itu yang kita tuai, jika aku menolong orang berarti orang itu harus memberikan sesuatu yang sepadan padaku."

Theana melirik sinis. Kadang Theana bingung Aresh itu benar-benar baik atau benar-benar licik? Karena kadang Theana merasa Aresh tulus kadang juga suka meminta sesuatu yang aneh.

"Tapi tidak dengan meminta seperti itu, tukang pamrih!" ejek Theana.

Aresh tidak peduli dan hanya menganggap ejekan Theana adalah angin lalu. Tidak mendapat respons sesuai dengan yang diinginkan Theana berdecak sebal.

Mobil Aresh berhenti di pekarangan kost Theana. "Terima kasih."

"Kau harus membalasnya nanti," ucap Aresh segera menjalankan mobilnya setelah Theana keluar.

Theana berdecak dan menatap tajam mobil yang dikendarai Aresh. "Dasar, apa-apa minta balasan!"

Setelah mobil Aresh menghilang barulah Theana beranjak masuk ke dalam kostnya.

Theana mengunci pintu dan membanting diri ke atas kasur dan mulai terlelap.

Sorenya Theana terbangun dengan perut keroncongan. Ia ingat jika belum makan siang dan karena kelelahan dia langsung tidur.

Melangkah ke dapur untuk mencari isi kulkas yang mungkin bisa dia makan. Namun isinya sudah kosong.

Theana lupa jika dia belum belanja bulanan karena uangnya yang sudah menipis. "Hah, aku lapar."

Theana melihat sisa tabungannya yang tidak lebih dari seratus ribu. Terpaksa Theana harus menggunakannya daripada harus mati keroncongan.

'Sebenarnya aku lelah hidup seperti ini, serba kekurangan. Tapi aku juga tidak ingin tinggal di rumah itu dan dijadikan pembantu di rumah sendiri. Sekarang apa yang harus aku lakukan?'

Theana duduk di bangku dan memesan seporsi mie ayam bakso. Tidak lama kemudian pesanannya siap dan Theana menyantapnya dengan tenang.

Kembali memikirkan cara mengubah hidupnya yang sekarang, sangat rumit.

'Apa aku memang harus menikah dengan Aresh? Aku tidak mengenal baik laki-laki itu, apalagi aku tidak mencintainya. Tapi jika ini cara satu-satunya untuk mengambil kembali hakku maka aku harus melakukannya.'

Theana sudah bertekad, maka dari itu dia harus dengan suka rela menikah dengan Aresh yang akan segera datang.

"Eh, kamu yang kemarin itu kan?"

"Kamu juga," jawab Theana.

'Kenapa aku harus bertemu dengannya sih?'

"Aku sudah chat kamu tapi kok kamu gak balas?"

"Hehe, a-aku sibuk banget, banyak banget pekerjaan di kantor, hehe."

"Oh." Yudis duduk di depan Theana. "Kamu gak apa-apa makan di tempat kayak gini?"

"Memangnya kenapa?" Theana menyuapkan bulatan bakso yang terasa nikmat di mulutnya.

"Ya ... Di sini kan pinggir jalan, gak steril. Gak takut sakit perut?"

Theana menatap tidak suka dengan ucapan Yudis. Dia dapat melihat pedagang bakso itu merasa tersinggung namun tidak protes.

"Dari dulu aku makan di sini gak pernah kok sampai sakit. Di sini juga gak terlalu buruk. Kalau emang waktunya sakit ya sakit, walaupun kamu makan di restoran bintang lima sekali pun."

Yudis yang mendapat protes dari Theana tersenyum kikuk. "Ah, gitu. O-o iya juga sih, aku setuju sama kamu.

'Cih, muka dua.'

Bunyi telepon dari ponsel Yudis membuat Theana ingin tahu, seperkian detik dia dapat melihat nama Keyra tertulis di layar. Yudis langsung menolak panggilan itu.

"Kenapa gak diangkat? Siapa tahu itu penting."

"Gak penting kok!"

Theana hanya berohria. Di seberang jalan dia dapat melihat Keyra menatap ke arahnya. Langsung saja Theana menyembunyikan wajah dan menyeringai.

'Sakit hati pasti tuh si Keyra.'