webnovel

3. Pertemuan yang Menyebalkan

"Aish! Kenapa sih nasib aku selalu sial?!"

Theana sebal setengah mati pada nasibnya yang tidak pernah menemu kata baik. Setiap hari selalu ada kesialan. Seperti tadi pagi dan sekarang dia juga semakin sial karena dompetnya hilang karena dicopet.

Theana berusaha mengejar pencopet itu tapi yang terjadi malah high hillsnya pada sebelah dan pencopet itu yang berhasil kabur.

Ingin rasanya Theana menangis tapi dia malu, apalagi banyak orang yang berlalu lalang. Bisa jadi pusat perhatian dia.

"Sekarang aku harus pulang pakai apa? Gak mungkin aku jalan kaki sampai kost bisa lumpuh aku."

Theana menatap kendaraan yang hilir mudik. Entah dapat ide dari mana Theana tiba-tiba merentangkan tangan di depan mobil yang akan melintas sehingga mobil tersebut berhenti mendadak.

Seorang pria keluar dan menatap Theana marah. "Apa-apaan kamu ini?!"

"Hehe, mas bisa tolong kasih saya tumpangan?" Theana mengabaikan rasa malunya yang penting dia bisa segera sampai di kost. Lagipula belum tentu ada orang yang mengenalnya sehingga dia harus malu dengan tingkahnya walaupun cibiran mereka dapat Theana dengar.

"Bos saya sedang banyak urusan, lebih baik kamu minggir."

"Ayolah mas, saya kehilangan dompet makanya saya minta tolong sama mas."

"Tidak ada, saya buru-buru. Lagipula saya gak kenal sama kamu, atau jangan-jangan kamu ini mau menipu ya?"

"Menipu apaan sih mas? Saya cuma mau minta tolong kok," jawab Theana kesal.

"Ooo, saya tahu kamu sengaja kan ngehalangin jalan saya supaya nanti kamu ketabrak trus minta ganti rugi."

"Gak! Ya kali saya kayak gitu."

Bagi Theana buat apa uang yang dihasilkan dari menipu orang-orang. Walaupun dia butuh juga tidak harus sampai melakukan cara kotor.

"Ini buktinya, kamu tiba-tiba maju dan menghadang mobil yang saya kendarai!"

"Kalau saya gak butuh juga saya gak mau ngelakuin itu, masih sayang nyawa."

Pria yang sejak tadi memperhatikan perdebatan sopir dan wanita asing itu keluar. Dia melepaskan kaca mata hitamnya untuk memperhatikan lebih jelas wajah wanita yang berani mengganggu perjalanannya.

"Kasih dia uang Bay, saya harus sampai di cafe lima belas menit lagi," ujarnya.

"Tapi Tuan, perempuan ini jelas penipu. Kita gak boleh membiarkan orang seperti dia berkeliaran dan merugikan pengendara lain."

Aresh Wijaya, menatap intens pada gadis itu. "Berapa yang kamu butuhkan? Katakan dan kamu akan mendapatkannya dan setelah itu jangan pernah menunjukkan wajah kamu lagi di depan saya."

Merasa ucapan Aresh sebagai sebuah penghinaan Theana tidak terima. "Maaf, saya gak butuh uang kamu."

"Lalu?"

"Saya cuma butuh tumpangan."

Aresh terkekeh sinis. "Sebegitu inginnya kamu menaiki mobil mahal?"

"Apa maksud kamu? Jangan sombong mentang-mentang kamu orang kaya! Segitunya kamu gak mau membantu orang yang membutuhkan."

"Sekarang saya tanya, alasan apa yang akan membuat saya harus memberikan kamu tumpangan?"

Wajah Theana kembali kusut. "Saya ketiban sial, paginya saya terlambat masuk kerja dan dimarahi bos saya, siangnya saya berantem dengan rekan kerja sekaligus musuh saya sampai saya diberikan pilihan untuk turun jabatan atau keluar dari kantor dan tadi wakt-"

"Bisa kamu langsung ke intinya?" Tanya Aresh bosan mendengar curhatan Theana yang tidak penting baginya.

"Intinya, saya kecopetan dan sekarang saya gak punya uang untuk bayar taksi, ojek, angkot atau apapun itu namanya."

"Kamu tahu sekarang teknologi sudah canggih, kamu bisa memesan ojek online maupun taksi online dan bisa kamu bayar setelah kamu sampai di tempat."

Hembusan napas kasar keluar dari bibir Theana. Dia tahu kok teknologi sekarang sudah canggih, tapi tetap saja dia tadi kecopetan dan di dompet itulah sisa uang yang ia miliki, tidak ada lagi yang lain.

"Mas tolonglah, plis." Theana menyatukan tangan ke depan Aresh dengan tatapan memelas.

Aresh berdehem kemudian menatap sekelilingnya yang menatap ke arahnya. "Masuk!"

"Hah?"

"Kamu mau saya berubah pikiran?"

"Eh, Iya-iya saya masuk." Theana dengan riang masuk ke dalam mobil dan duduk bersebelahan dengan Aresh.

"Tuan yakin?" Tanya Bayu sambil melirik wanita asing itu.

"Kamu jalankan saja mobilnya," pinta Aresh.

Sesuai perintah mobil itu melaju ke alamat yang Theana berikan.

Aresh mengeluarkan ponselnya yang bergetar kemudian menatap datar setelah tahu identitas si menelepon.

"Ya?"

"..."

"Gak bisa, sekarang aku ada urusan."

Theana melirik, mimik wajah Aresh yang terlihat tenang.

"Urusan yang sangat penting, jadi lain kali saja."

Aresh langsung mematikan telepon tanpa mau repot-repot mendengar jawaban si penelepon.

Aresh menoleh pada Theana yang masih menatapnya. "Kenapa?"

"Gak apa-apa," jawab Theana cepat dan menoleh ke arah lain.

'Kalau dilihat-lihat ternyata dia ganteng banget ... eh, aku mikir apaan sih.'

Theana menggeleng keras yang membuat Aresh menatap heran. "Ck, bisa kamu berhenti melakukan itu?"

"Hah? Melakukan apa?" Tanya Theana bingung pasalnya dia tidak melakukan apa-apa sejak tadi.

"Berhenti menggelengkan kepala kamu, itu sangat mengganggu."

Theana mencibir namun tetap melakukan perintah pria itu. Itung-itung rasa terima kasih karena dia sudah mau memberi tumpangan.

Mobil kembali hening karena tidak ada yang membuka suara, namun Theana terus memegang perutnya, dia kelaparan. Apalagi dia belum makan siang karena insiden bersama Keyra.

'Kapan sampai kost sih? Ini orang bawa mobilnya kok lama banget.'

Theana tidak bisa duduk tenang, perutnya terus berbunyi seolah memanggilnya untuk diisi.

'Huh, abaikan rasa malu sesaat Theana yang penting kamu bisa kenyang.'

Theana menatap Aresh. "Saya lapar."

"Lalu?" Tanya Aresh tidak peduli.

"Traktir saya makan."

Ingin rasanya Theana menampar bibirnya yang berani meminta hal seperti itu pada orang asing yang bahkan belum dia kenal satu hari.

Melihat tidak ada respons Theana memasang wajah melasnya. "Plis, kita sesama manusia harus saling tolong menolong kan?"

"Ck, sudah saya bilang kalau dia memang penipu," celutuk Bayu.

"Saya bukan penipu!" Tegas Theana menatap tidak suka.

"Lalu apa kalau bukan penipu? Sudah minta tumpangan sekarang minta ditraktir padahal kamu hanya orang asing."

Theana bungkam seketika. Merasa sakit hati namun juga setuju dengan perkataan Bayu. Orang asing mana yang tidak tahu malu seperti dirinya?

"Kita ke cafe depan Bay," sahut Aresh tiba-tiba.

"Pak?"

"Saya juga lapar," balasnya.

Mobil itu berhenti di sebuah cafe sesuai permintaan Aresh. Ketiganya kemudian berjalan masuk.

Theana duduk di depan Aresh dengan wajah cerah. "Kamu ternyata orang baik."

Aresh tidak memedulikan ucapan Theana. Seorang pelayan mendatangi dan keduanya memesan makanan.

"Sopir kamu itu, kenapa dia gak makan di sini?"

"Apa pentingnya untuk kamu?"

"Gak penting sih, ya udahlah gak usah dibahas," celutuk Theana.

Theana makan dengan lahap sampai tidak tersisa. "Hah, kenyangnya."

Aresh hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Ayo kembali."

"Eh, tung-"

Wah?

Theana melirik takut pada Aresh yang menatap tajam. Karena tidak hati-hati dia tidak sengaja menarik celana Aresh sampai memperlihatkan pakaian dalam pria itu.

"Astaga Tuan!" Bayu sontak menatangi dan membantu Aresh keluar agar segera menjauh dari tatapan orang-orang.

"Ini semua gara-gara kamu!" Bentak Aresh setelah dia sampai di dalam mobil.

"Saya gak sengaja, serius deh."

"Kamu lancang sekali melakukan hal seperti tadi," sindir Bayu yang juga kesal.

"Kamu memang gak tahu malu dan terima kasih! Sudah untung saya memberikan kamu tumpangan tapi balasan kamu malah mempermalukan saya?!"

"Saya uda-"

"Diam!"