Marino berjalan memandu Velina masuk ke dalam ruang kerjanya. Ruangan itu berada di Lantai 7 Gedung Val Entertaintment. Gedung ini cukup lengkap, menggabungkan Agensi Val dan Rumah Produksi Val sekaligus.
Lantai 1 digunakan untuk menerima tamu, ruang tunggu, dan juga ada sebuah kafe disana yang menjual berbagai minuman, dan juga camilan ringan ataupun makanan berat. Kafe ini buka selama 24 jam, karena kegiatan di Val Entertaintment tak pernah ada habisnya. Lantai 2 dan lantai 3 berisi kelas-kelas latihan untuk para talenta yang akan diorbitkan menjadi artis sesuai dengan bidang mereka masing-masing. Ada kelas akting, kelas menyanyi, kelas drama, ruang latihan untuk berlatih mandiri, dan lain sebagainya. Lantai 4 terdiri dari beberapa ruang rekaman dan sebuah studio syuting dalam ruangan, sementara lantai 5 digunakan untuk para karyawan rumah produksi dan studio post-produksi. Lantai 6 memiliki beberapa studio yang dikhususkan untuk para artis kelas A Val Entertaintment, dan juga beberapa lounge umum yang dapat digunakan oleh para artis yang telah resmi diorbitkan menjadi artis oleh Val Entertainment. Sedangkan ruang-ruang rapat dan jajaran manajemen dan direksi berkantor di lantai 7.
Velina berdecak kagum melihat interior ruang kerja Marino. Ruangan itu bergaya minimalis chic, berwarna putih dengan beberapa furnitur berwarna color-block, cukup mencolok mata. Dia segera menjatuhkan tubuhnya diatas sofa panjang berwarna hijau stabilo. Baginya, warna sofa itu terlihat seperti ulat keket. Sama seperti Marino yang selalu mencoba untuk lengket-lengket dengannya bila dia pulang ke rumah.
Dia lalu mengalihkan pandangannya pada sebuah lukisan wanita cantik yang sedang menggunakan gaun berwarna putih, tawanya terlihat sangat lepas. lukisan itu bertemakan fantasi, ada sepasang sayap indah bersinar dibalik tubuh wanita itu. Di bagian bawah, terdapat sebuah nama, yang sepertinya merupakan nama si wanita dalam lukisan, 'Val', diambil dari nama panggilan ibu Velina, Valerie al Ghazali. Lukisan itu di bingkai dengan warna hitam, membuatnya semakin terlihat misterius dan menakjubkan.
Velina mengeluarkan sebuah napas panjang. Dia sangat menyukai lukisan itu, entah kenapa, tiba-tiba lukisan itu membuatnya merasa melow, tak terasa, ada air yang menggenang di kedua sudut matanya.
"Lukisan ini cantik banget! Ini untukku saja, ya?" Pintanya pada Marino.
"Nope! Never!" Jawab Marino cepat. Ia sengaja mengundang seorang pelukis fantasi terkenal dari Rusia untuk melukiskan wajah ibunya ke dalam fantasinya.
"Kakak... kakakku yang ganteng..." Velina bangkit dari sofa, berjalan mendekatinya, mencoba bergaya imut semampunya.
Marino hanya melirik sekilas, kembali fokus pada dokumen-dokumen di hadapannya. Diam-diam, seulas senyuman berkembang di sudut bibirnya. Sebenarnya, ia merasa senang Velina memanggilnya kakak. Sudah lama sekali ia tidak mendengar Velina memanggilnya kakak.
Sesungguhnya, hal ini terjadi karena sifat sombongnya sendiri. Beberapa tahun yang lalu, ketika mereka berdua masih tinggal di Hang Zhou untuk mempelajari seni bela diri, Marino yang waktu itu merupakan salah satu siswa yang selalu berada di peringkat teratas, kerap mengganggu adiknya sendiri. Kesal karena selalu diganggu oleh kakaknya, Velina akhirnya marah. Dia menantang kakaknya itu untuk berduel. Dengan syarat apabila dia menang, dia akan berhenti memanggil Marino 'kakak' dan Marino tidak boleh mengganggunya lagi.
Merasa tubuhnya jauh lebih besar dan usia mereka beda 5 tahun, Marino bersikap pongah. Ia menerima tantangan adiknya. Mereka berduel cukup lama, disaksikan oleh semua orang di pondokan itu. Karena yakin akan menang, Marino yang hendak mengeluarkan tendangannya, justru terpeleset. Melihat kakaknya terjatuh dengan pantat yang kesakitan, Velina segera mengunci kepala dan tangan kakaknya. Sejak kejadian itu, justru Marino yang gantian jadi bahan godaan anak-anak padepokan silat.
Marino menghela napas panjang mengingat masa lalu mereka yang masih polos. Kini, Velina sudah menjadi sosok yang jauh lebih kuat dari yang pernah ia ingat. Di balik tawa lepasnya, Marino tahu, sejauh apa Velina sudah berbuat di balik layar.
Velina berjalan mendekati kakaknya, yang sedang duduk di kursi presiden direktur, lalu berdiri di belakang kursinya. Kemudian, dia melingkarkan kedua tangannya di pundak Marino, sambil masih mencoba berusaha bersikap imut semampunya. "Kakak... Kakakku sayang..." pintanya sambil menggoyang-goyangkan kursi kakaknya.
Jengah karena didekati dengan manja oleh adiknya yang biasanya bersikap sangat cuek padanya, akhirnya membuat hati Marino luluh juga. Ia akhirnya mengangguk.
"Nanti aku akan menghubungi pelukis itu untuk membuatkan lukisan yang sama atau yang mirip dengan yang ini ya, tapi jangan yang ini! Aku sangat menyukainya!" Akhirnya, ia mau berkompromi.
Merasa senang karena 'taktik serangannya' akhirnya berhasil, Velina tertawa puas. Dia berkata, "Yeeee! akhirnya aku berhasil!" dia lalu segera mencium pipi kiri Marino dengan sekuat tenaga. "makasih Marino, i love you so much!". Aku sangat menyayangimu, lanjutnya lagi. Dia lalu segera mencium pipi kanan Marino, juga sekuat tenaga, sengaja membuatnya sampai basah, yang membuat Marino menggerutu kesal. "Eh, maaf ya kak, aku memang sengaja!" ujarnya lagi sambil tetap memeluk Marino.
Tanpa mereka sadari, seseorang tengah mengawasi mereka berdua, ia mengamati kelakuan mereka dari pintu yang tidak tertutup rapat. Ia mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya dengan kesal. Ia memicingkan matanya, menatap Velina dengan penuh kebencian.
"Eh, Mandy? Kok kamu ada disini?" Tanya Eva, yang baru saja balik dari toilet. Ia menyapa Mandy yang dilihatnya sedang mengamati ruang kerja Marino.
Mandy terkejut, tidak menyangka kehadiran Eva yang tiba-tiba. Ia lalu berusaha menetralkan ekspresi wajahnya, lalu ia berkata, "Aku tadinya mau kasih oleh-oleh untuk pak Marino dari Paris Fashion Week, tapi sepertinya beliau sedang ada tamu, ya! baiklah, lain kali saja!" jawabnya sambil memutar tubuhnya, dan segera berjalan cepat meninggalkan tempat itu diiringi dengan tatapan bingung Eva.
wah! Ada yang salah sangka, nih! Kira-kira, Mandy akan berbuat apa, ya? Hmmm...