webnovel

Kinara: Love Me Please, Jayden.

Sinopsis Kinara Winandar baru saja lulus kuliah dan berniat bekerja. Tapi sayang, harus menerima kenyataan saat dirinya harus menjadi pengganti sang kakak yang menolak pernikahan dengan anak seorang pemilik perusahaan terkenal di kotanya tinggal. Awalnya ia tidak ingin menerima itu, tapi ia hanyalah seorang anak yang tidak diharapkan keluarga sang papa. Terlebih, ini adalah permintaan seumur hidup dari sang papa itu sendiri. Di hari pernikahannya ia bertemu dengan sosok pria yang membuatnya terdiam, menatap nanar bukan hanya karena mengetahui siapa pria tersebut, melainkan karena apa yang dikatakan calon suaminya di hari pernikahan. Jayden Armand Gwentama, sosok pria sempurna yang sayangnya sangat tergila-gila dengan sang kakak—Aliana Winandar. "Kamu istriku, tapi hanya hitam di atas putih. Karena selamanya Liana adalah wanita yang aku cintai. Paham?" Hati Kinara hancur, tapi ia sudah bertekad untuk menjalani hidupnya bersama sang suami bagaimanapun keadaannya. Lalu, bagaimana kehidupan Kinara setelah menikah dan tinggal dengan suami yang ternyata adalah direktur di tempatnya bekerja. Dan bagaimana pula jika saat di perjuangannya merebut hati sang suami, sang kakak yang menolak pernikahan tiba-tiba datang dan berniat untuk mengambil sang suami darinya. Apakah Jayden yang awalnya membenci Kinara akan kembali berpaling kepada wanita yang telah menolaknya? Apakah ia masih mencintai kakak dari istrinya? Ikuti kisahnya di sini… Follow IG Author : Haruali9

Haru_lina · perkotaan
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Nasibku

Apartemen Sky Land Kota X

Ceklek!

Setelah memasukkan kata sandi yang diberikan oleh Jayden, Kinara pun membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam perlahan kemudian menutupnya pelan.

Blam!

Netra coklat bening itu memandang sekitar dengan takjub, saat melihat bagaimana apik perabotan tersusun. Ia tidak menyangka, laki-laki model pemimpin di perusahaannya yang ia kira laki-laki tidak perhatian, ternyata sangat memperhatikan tempat tinggalnya.

Tidak ada sepatu berserakan, pakaian yang diletakkan sembarangan ataupun sampah. Benar-benar bersih dan rapi, bahkan debu pun tidak ada, lengkap dengan aroma pengharum lantai yang tercium jelas di indra penciumannya.

Pohon pinus, aroma segar yang berbeda dengan aroma yang ada di rumahnya sendiri.

Di depannya saat ini ada sofa dengan televisi LED 54" inch. Meja dan perlengkapan lainnya, layaknya ruang tamu pada umumnya.

Netra itu menatap sekitarnya lagi, ia melihat lukisan abstrak yang menempel apik di dinding, jam dengan jarum pendek menunjuk angka 9, juga foto bingkai besar dengan seseorang yang ia kenal siapa.

Foto seorang pria, dengan setelan jas dan dasi yang melingkar apik di leher si pria. Tidak ada senyum lebar ataupun senyum tipis yang terlihat, saat tatapan tajam lebih mencolok dengan tangan berpose seperti sedang mengancingi kancing lengannya.

Pose sederhana, tapi entah kenapa terlihat seperti model professional. Mungkin karena rupa si pria yang terpahat sempurna dengan rahang tegas menjadi nilai plus, sehingga foto dengan wajah seperti menoleh ke arah lain itu terlihat keren, belum lagi mata tajam itu.

"Narsis sekali, aku kira dia tidak suka foto dan perpose. Tapi ternyata tetap saja menyukai kamera, oh! tentu saja dia juga sering masuk surat kabar."

Kinara menggelengkan kepala saat ia merasa ingin tertawa, sama sekali tidak menyangka akan mendapati hal langka seperti ini. Ia sampai berpikir, apakah sebenarnya topeng dingin dan datar itu hanya sebagai kamuflase?

Entah, pikirnya.

Ia mengangkat bahu berusaha tak peduli, kemudian membuka sepatu dan menggantikannya dengan sandal rumah yang berjejer rapih di rak sepatu milik Kinara.

Koper ditangan ia letakkan di samping sofa, sedangkan ia sendiri berjalan ke arah lainnya, menuju arah kiri di mana ternyata itu adalah sebuah dapur dan sekali lagi terlihat rapi, meskipun ukurannya tidak luas tapi terlihat tidak sempit juga. Minimalis, lengkap dengan kompor listrik berbeda dengan kompor di rumahnya.

Ah! Ngomong-ngomong kompor dan dapur, ia jadi merindukan ibu Tuti, yang biasanya selalu ia bantu saat menyiapkan makanan untuk keluarga Winandar.

Baru satu hari tidak bertemu, tapi ia sudah sangat merindukan asisten rumah tangga, yang sudah ia anggap sebagai ibu sendiri.

"Kira-kira .... Sedang apa ya, ibu Tuti sekarang," gumam Kinara dengan perasaan sedih, saat ingat jika belum tentu ia diberikan kebabasan untuk mengunjungi rumahnya sendiri.

Huft ...

"kangen," lanjutnya lirih.

Tidak ingin terbawa suasana dengan ia yang berakhir menjadi cengeng, ia pun melanjutkan sesi eksplornya. Ya, tepatnya melanjutkan kegiatan melihat-lihat dengan membuka pintu kulkas ganda, kulkas besar dengan isi tidak lengkap yang ada di apartemen Jayden.

"Apa setiap laki-laki yang tinggal sendiri seperti ini yah. Kenapa hanya ada botol minuman, kaleng beer dan kaleng kopi," gerutu Kinara kemudian menutup lagi pintu kulkas, berjalan ke arah lemari penyimpanan dengan isi yang membuatnya mendesah lelah.

"Benar-benar tidak ada apa-apa, lalu aku harus memasak apa untuknya saat pulang dari kantor nanti?"

Dengan lemas ia menutup lemari penyimpanan, kemudian berbalik dan memunggungi lemari untuk menyadar lelah.

"Aku ngapain setelah ini? Rumah bersih, tidak ada bahan makanan, jadi, apa yang harus aku lakukan di sini. Setidaknya jika dia bekerja dan meninggalkan aku sendiri seperti ini, izinkan aku pergi ke luar untuk mencari kegiatan."

Kinara sibuk menggerutu, sambil menyeret kakinya menuju ruangan lainnya. Berjalan ke mana saja, yang pasti melihat satu per satu ruangan yang ada di apartemen suaminya.

"Jika seperti ini, aku lebih baik menghabiskan waktuku di makam ibu," lirihnya sedih, saat ingat mendiang ibunya yang beberapa hari ini tidak ia kunjungi karena sang mama melarang dengan alasan keamanan.

Ya, keamanan agar ia tidak melarikan diri seperti apa yang dilakukan kakaknya. Kabur untuk kesenangan sendiri, lalu melimpahkan beban di pundaknya.

"Ck.... Lupakan, jangan membuat semuanya rumit. Yang jelas lakukan saja yang ada di depan mata, Tuhan juga tidak akan tidur, jika hamba-Nya butuh pertolongan," gumam Kinara dengan kepala menggeleng pelan.

Di depannya saat ini ada dua pintu dengan pintu berbeda dan tujuan berbeda. Satu pintu dengan warna coklat tua, sedangkan satunya lagi pintu geser terbuat dari kaca, yang tujuannya jelas yaitu sebuah balkon.

Dahinya mengernyit serta jari tangan bergerak seperti memilih, lengkap dengan bibir komat-kamit seperti baca mantra.

"Cap-cip-cup, kembang kuncup, pilih mana cup yang ditunjuk. Huwoo…. Pintu yang ini."

Dan akhirnya, pintu coklat tua lah yang terpilih oleh jari tangan serta mantra absurd yang menjadi kebiasaanya saat bingung.

Dengan langkah pelan ia pun berjalan ke arah si pintu yang terpilih, membukanya pelan dengan kepala mengintip ke dalam, menyisakan tubuh serta kaki yang menjinjit layaknya orang yang sedang mengintip.

Krieet!

Saat kepalanya masuk, aroma semerbak khas Jayden adalah yang pertama tercium di hidung mungilnya, wangi yang akan menjadi aroma pertama memenuhi indra penciuman di setiap harinya.

Jelas saja aroma pertama, mereka akan tinggal satu atap, dari bangun hingga tidur lagi, mereka akan bertemu setiap hari. Iya, kan?

"Kamar Jayden," gumam Kinara saat ia sadar jika ruangan yang sedang ia lihat ini adalah kamar tidur milik suaminya.

Merasa jika ia belum memiliki hak untuk masuk ke dalam, ia pun memutuskan untuk menutup pintu kemudian berbalik arah menuju pintu lain, yang ada di sebelah pintu tempatnya menyandar saat ini.

Ceklek! Ceklek!

"Terkunci," lirihnya, kemudian melanjutkan memutuskan untuk langsung ke pintu balkon saja.

Dengan semangat ia berjalan ke arah pintu balkon, menggeser pintu dan seketika angin dengan udara khas siang hari menerpa wajahnya. Senyum terulas cantik dibibirnya, dengan hidung meraup udara sekitar rakus, serta kedua tangan terbentang lebar.

"Panas! Tapi aku suka!"

Melanjutkan langkahnya, Kinara berhenti di pinggir balkon dan melihat pemandangan yang dilihatnya dengan senyum merekah.

"Di sini akan menjadi tempat favoritku," putus Kinara dengan kepala menoleh ke kanan-kiri, melihat sekitar dengan binar mata senang.

Puas melihat pemandangan di luar, ia pun memutuskan untuk kembali ke dalam, sambil menunggu ke pulangan suaminya yang entah kapan akan kembali dari bekerja hari ini.

"Benar juga, aku tidak tahu kapan dia pulang. Aku bahkan tidak tahu nomor ponselnya, aku juga tidak di perbolehkan keluar dari sini. Lalu apa yang harus aku lakukan, apa yang akan aku makan nanti."

Bahu Kinara melorot lesu, memikirkan nasibnya hari ini. Entah sampai pukul berapa ia menunggu, yang pasti hal yang akan ia rasakan adalah bosan, apalagi menunggu kepulangan seseorang yang pulangnya pun tidak pasti pukul berapa.

"Nasib," gumam Kinara merana.

Bersambung.