Ada masa semua orang akan berubah, entah itu untuk menjauhimu atau menghindari perasaannya. Pada akhirnya ketulusan dan kesabaranlah yang akan menyadarkannya.
***
Rasa bersalah itu masih mendera Shasa, membuatnya sulit untuk tertidur. Bayangan dua pemuda itu menggodanya, dan saat sekelabat wajah Ishaq hadir di pelupuk matanya. Membuat gadis itu semakin bersalah, menangis dan terus menangis yang dia lakukan.
"Mungkin sudah saatnya Aku membuka hati," gumam gadis itu pelan.
Malam itu Shasa tidur sebentar lalu terbangun lagi, begitulah hingga pagi menjelang. Kepalanya terasa berat, tapi gadis memaksakan ke kampus. Saat akan menuju kelasnya dia berpapasan dengan Khalil, sebisa mungkin dia bersikap biasa saja pada pemuda itu.
"Pagi, Dek," sapa Khalil sambil menatap wajah Shasa.
"Juga, Kak."
"Ngobrol sebentar, Dek bisa?"
"Boleh, Kak hayu," jawab Shasa berjalan ke arah kursi tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Kenapa mata kamu kaya panda gitu?" tanya Khalil menatap gadis itu intens.
Perhatian Khalil seperti inilah yang terkadang membuat Shasa bingung, kenapa pemuda itu selalu bersikap seakan menyayangi lalu kemudian acuh.
"Ga apa-apa cuma kepikiran, Kak Ishaq."
"Oh, suka sama dia?" tanya Khalil tak suka.
"Apaan sih? Ga usah mikir yang bukan-bukan deh," jawab Shasa kesal, "Shasa duluan ke kelas, Assalammualaikum," pamit gadis itu langsung masuk ke kelas.
Khalil menatap punggung perempuan itu tersenyum gentir, ada rasa tidak rela ketika dia tahu gadis itu menyebut nama laki-laki lain.
"Ada kisah yang belum usai di antara kita, Dek," gumam Khalil lirih.
Pemuda itu pun segera beranjak, sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
'Andai kamu tahu kalau Kakak sayang kamu, Sha. Sayangnya Kakak ga ada keberanian mengungkapkan itu,' batin Khalil sambil membayangkan kenangannya bersama gadis itu.
Andai semua mau mengakui, mungkin sekat diantara keduanya takkan ada. Sayangnya semua harus jadi begini, selalu ada hati bertanya mengapa?
***
Khalil tetap dengan sifat jaimnya, sedangkan Shasa mulai berubah dan membuka hati untuk Ishaq. Namun, kita tidak pernah tahu apa yang diinginkan itu sesuai.
"Dek Shasa," sapa Ishaq riang dan langsung duduk di sampingnya.
"Kakak," ujar gadis itu terkejut.
Ishaq tersenyum geli melihat ekspresi lucu gadis itu.
"Kaget, ya?" tanya Ishaq sambil tertawa, "Adek apa kabar?" tanyanya lagi.
"Alhamdulillah baik, Kak. Kakak sendiri?"
"Alhamdilillah, Dek."
"Kakak kenapa sekarang ga muncul di acara dakwah kampus?" tanya Shasa ingin tahu.
"Kakak mau persiapan lomba, Dek."
"Kapan? Kok, Shasa ga tahu?" tanya Shasa terkejut.
"Ga lama lagi, makanya Kakak ga datang mau fokus dulu," jawab Ishaq lembut.
"Semangat, ya, Kak," ujar Shasa sambil tersenyum manis.
"Adek juga ya," balas Ishaq.
Keduanya pun bercanda sesekali melemparkan gombalan, membuat keduanya tertawa geli sendiri tanpa mereka sadari ada yang memperhatikan dari kejauhan.
"Kakak mau latihan dulu, ya, Dek," pamit Ishaq.
"Iya, Kak silahkan," jawa Shasa sambil tersenyum, "Semangat, ya," lanjutnya lagi.
"Siap, Bos. Assalammualaikum," pamit Ishaq.
"Waalaikumusalam warohmatullahi wabarokatuh."
Mata Shasa terus menatap langkah pemuda itu, rasa nyaman itu selalu ada tapi dia takut ini sementara. Orang yang memperhatikannya tadi mendekatinya setelah Ishaq pergi.
"Huft, Aku mesti gimana?" gumamnya pelan.
"Adek," panggil Kakak tingkatnya yang bernama Dea mendekat.
"Eh, Kak Dea apa kabar?"
"Baik, Dek. Kakak lihat akhir-akhir ini kamu dekat dengan Ishaq ya?" tanya Dea to tbe poit.
Pernyataan Dea membuat mata gadis itu membulat, beginilah resiko dekat dengan orang penting pikir Shasa.
"Ga juga, Kak memangnya kenapa?" tanya Shasa heran.
"Ga apa-apa kok, Dek," jawab Dea pelan tersimpan sejuta makna, "Ya, udah Kakak mau ke masjid dulu ya," pamit Dea sambil menjauh.
Shasa hanya mengangguk dan menatap kepergian Kakak tingkatnya itu, ada yang aneh dari nada bicaranya.
'Apa Kak Ishaq ada hubungan dengan Kak Dea?' batinnya.
"Astaghfirullah," gumam Shasa pelan.
Kenapa saat dia mulai membuka hati, ada yang membuatnya takut melangkah. Sejak saat itu Shasa menjaga jarak dengan Ishaq, kalau pun berkiriman pesan dia tidak terlalu seaktif dulu lagi. Shasa takut, rasa itu membuat hati Dea terluka. Hari lomba semakin dekat, mereka pun jarang bertemu. Akhirnya mereka bertemu saat di perpustakaan.
"Assalammualaikum, Adek," sapa Ishaq.
"Waalaikumusalam, Kak."
"Kakak kok jarang lihat, Adek. Adek kemana aja?"
"Ada kok, Kak. Kakak loh sibuk makanya ga lihat," jawab Shasa sambil tersenyum.
Pemuda itu hanya tersenyum tipis, dan menatap wajah gadis itu begitu dalam membuat Shasa salah tingkah.
"Iya, mungkin Kakak jarang lihat, Adek."
Hanya kata itu yang keluar, dari mulut Ishaq.
"Kakak semangat ya," ujar Shasa lembut.
"Pasti, Dek."
"Shasa, duluan ya, Kak sudah ada janji sama Kak Ria," pamit Shasa, "Assalammualaikum," lanjutnya lagi.
"Waalaikumusalam, Dek."
Shasa dengan segera pergi, bukan menemui Ria melainkan pulang ke rumah. Besok adalah hari lomba Ishaq, gadis itu terlihat gugup padahal bukan dia yang ikut lomba. Ishaq sudah menaiki panggung, matanya terlihat mencari Shasa. Ketika tahu orang yang dicarinya datang dia tersenyum dan mulai bernyanyi.
Di tengah-tengah lagu tersebut, Shasa berjalan menjauh dari sana. Setitik air mata jatuh di pipinya, tapi dengan cepat di hapusnya.
'Kakak tidak usah khawatir masalah hatiku, hati ini sudah mencintaimu. Tapi Shasa ga mau, menyakiti Kak Dea, biarlah semua mengalir dengan sendirinya. Shasa menjauh dan berubah bukan berarti perasaan ini tidak ada, cukup Shasa dan Allah yang tahu. Kalau selama ini Shasa selau memperhatikan dan mendoakan Kakak dari jauh,' batin gadis itu sambil menatap langit dengan senyuman tenang.
Khalil yang tadi berniat mengapiri Shasa menghentikan langkahnya, ada rasa sakit menjalar hatinya. Apa lagi melihat senyum gadis itu, yang terlukis bukan karena dirinya.
Shasa memilih menjauh dan bersikap biasa saja, dia sengaja begitu agar kejadian Khalil tidak terulang lagi. Hati yang semula merindukan Khalil kini telah berganti menjadi Ishaq. Ketulusan pemuda itu menyadarkannya. Baginya cukup dia dan Allah yang tahu, dan Shasa menyerahkan sepenuhnya pada Yang Maha Kuasa. Gadis itu percaya cinta yang suci itu hanya pernikahan, dan puncak tertinggi mencintai adalah mendoakannya dalam diam.