webnovel

Chapter 5

POV : Calvin

"Halloween Night?"

King merupakan satu-satunya dari kami yang hobi berorganisasi. Heck, bahkan mungkin dia satu-satunya mahasiswa yang kukenal yang hobi berorganisasi. Entah sudah berapa kali dia tidak masuk kelas hanya karena rapat sana-sini, tetapi entah bagaimana caranya nilainya selalu bagus. Aku heran apakah dia tidak capek, tetapi mungkin itulah hobinya. Lagipula, bagus juga dia rajin berorganisasi seperti itu. Berkat itu, dia menjadi punya kenalan hampir di seluruh kampus.

Biasanya, saat organisasi-organisasi yang diikutinya menyelenggarakan acara, King selalu ikut serta menjadi panitianya. Dan setiap kalinya, King selalu bersemangat. Tapi anehnya, kali ini dia tampak keberatan dengan acara mendatang.

"Iya," jawab King dengan malas.

"Kok muka lo kayak orang yang kehilangan lotere begitu? Biasanya lo yang paling bersemangat soal acara-acara begituan," kata Lisa.

"Karena objek yang dirayakan dalam acara ini adalah hantu-hantuan yang paling gue nggak suka," jawab King.

"Ah, gue nggak ngerasa begitu," ujar adiknya, Queenie, yang tumben-tumben saja tidak mengkeret saat mendengar kata hantu. Sebaliknya, dia tampak bersemangat. "Halloween nggak serem kok. Malahan seru. Penasaran sama topeng-topeng lucu yang bakal dipake sama orang-orang nantinya."

"Justru topeng itu yang bikin gue khawatir. Kalau semua orang pake topeng, kita nggak bakal bisa ngenalin mereka. Gimana kalo ternyata di balik topeng itu, mereka semua psikopat yang hobi membunuh orang?" King berargumen.

Waktu itu, kami semua tidak menyadari bahwa apa yang King katakan akan menjadi kenyataan.

"Ah, nggak mungkinlah," Kei mengibaskan tangan. "Siapa juga yang sejahat itu? Lagipula, di antara kita semua, yang nggak bisa bela diri itu cuma gue. Kalau emang ada psikopat, yang paling cepet ditusuk ya gue. Badan lo segede gorila gitu, nggak ada yang bisa nyentuh lo juga kali, King."

"Enak aja. Lo ngatain gue bongsor?"

"Maksud gue, bodi lo tuh gede. Orang paling bego sekalipun gakk bakal berani nyari gara-gara sama kalo nggak mau jadi manusia geprek."

Dipuji seperti itu, hidung King jadi kembang-kempis.

"Bukan cuma kamu," jawab Lidya yang sedari tadi hanya menyimak. "Aku juga nggak bisa bela diri."

"Cewek nggak bisa bela diri tuh wajar. Kalo cowok nggak bisa bela diri, itu yang nggak wajar," ujar Lisa sambil menunjuk Kei.

Kei yang ditunjuk hanya cengengesan. "Jadi kapan acaranya?"

"Sekarang baru bulan Agustus, bro. Halloween itu di Oktober, akhir bulan lagi. Masih lama banget."

"Tetep aja, kita mesti siap-siap buat milih kostum yang bagus. Iya nggak, Vin?"

Aku mendongak. "Kalau gue sih, nggak perlu ribet pilih kostum. Pake aja kemeja putih lengan panjang dan celana kain hitam."

"Lah, pakaian kayak gitu emang mau menyamar jadi siapa?"

"Banyak kali orang yang sehari-hari pake pakaian kayak gitu." Jarang-jarang Lisa membelaku. "Part-timer di nikahan orang, tukang valet, para pencari kerja yang tiap hari disuruh tes dan interview tapi gak lolos-lolos."

Pembicaraan kami mengenai Halloween Night yang masih terlalu jauh itu ternyata masih berlangsung untuk waktu yang lama dan berakhir saat Lisa dan Queen setuju mengajak Kei untuk hunting kostum yang cocok minggu depan. Mereka memaksa aku, Lidya, dan King untuk ikutan. Namun, berhubung aku serius berencana untuk mengenakan hanya kemeja putih dan celana hitam, dan King tampaknya cukup yakin kostum panitia sudah disediakan dari sananya, mereka hanya berhasil mengajak Lidya.

Malam itu, lagi-lagi aku yang kebagian mengantar Lidya pulang. 

Kelas kami berakhir sekitar setengah jam lebih telat dari biasanya, dan kami baru bisa keluar dari kampus sekitar jam sebelas. Awalnya, lagi-lagi Kei mengusulkan kami untuk cari makan dulu, namun, meskipun semua sudah lapar, kami semua capek dan lebih memilih untuk tidur daripada makan. Yah, mungkin bukan semuanya. Rasa lapar Lidya sepertinya mengalahkan rasa capeknya.

Saat kami sudah berada di perjalanan pulang, tiba-tiba Lidya menepuk pundakku dari belakang. 

"Eh, Vin," panggilnya.

Aku hanya menoleh ke belakang sedikit, cukup untuk menunjukkan bahwa aku mendengarnya.

"Cari makan yuk. Laper banget nih," rengekknya.

Aku tertawa kecil. "Tadi sore kamu makan nasi lemak satu porsi loh. Belum lagi ditambah tiga potong pempek yang kamu ambil dari piringku."

"Itu kan udah nyaris lima jam yang lalu. Persediaan makananku udah menguap gara-gara matkul yang ribet banget itu."

Yah, harus kuakui. Mata kuliah tadi emang berat banget sampai-sampai aku nyaris tidak bisa mengimbanginya. Dan jujur saja, saat ini aku juga kelaparan setengah mati. Rencananya aku ingin merebus sebungkus pop-mie sebelum tidur, namun sepertinya aku berubah pikiran.

"Ya udah. Mau makan dimana?" aku menyetujui.

"Di dekat komplekku ada stand mie ayam yang enak. Mau di sana aja?"

Aku mengangguk. "Oke."

Kami pun sampai di tempat yang Lidya maksud. Meskipun sudah nyaris tengah malam, daerah situ masih ramai. Banyak orang-orang yang makan dan mengobrol dengan santainya seolah-olah sekarang ini pagi hari, bukannya tengah malam dimana mereka seharusnya tertidur lelap. Namun, justru hal seperti inilah yang menunjukkan bahwa kota ini tidak pernah tertidur, baik siang maupun malam.

Aku dan Lidya beruntung karena ada sepasang tamu yang baru hendak pergi saat kami berdua tiba. Tanpa malu-malu, kami berdua langsung menduduki tempat itu dan memesan dua porsi mie ayam jumbo. Biasanya aku tidak pernah makan tengah malam begini. Ini benar-benar pengalaman baru bagiku.

"Gimana? Udah mulai terbiasa hidup bagai robot, bekerja sambil kuliah?" aku memulai percakapan malam hari itu.

Lidya tertawa pasrah. "Masih dalam proses. Tapi kamu emang bener. Ternyata secapek itu."

Aku mengangguk. "Yeah. Lama-lama kamu bakal terbiasa kok. We all do."

Lidya juga mengangguk, tetapi sesaat kemudian dia memekik dan membuat semua orang melihat kami. 

Aku langsung panik dan bertanya, "Kamu kenapa?"

"Itu… kucing?" bisiknya dngan suara gemetar.

Aku melihat ke bawah kakinya. Memang ada seekor anak kucing, namun saat ini hewan kecil itu sudah berpindah ke meja lainnya.

"Udah nggak aja," jawabku, lalu berusaha menahan senyum, "Kamu takut kucing?"

Wajah Lidya memerah saat dia hanya menjawab. "Cakar kucing itu lebih berbahaya daripada yang kita tahu."

Aku mengangguk masih sambil menahan tawa. Melihat reaksiku, wajah Lidya semakin memerah. "Emangnya kamu nggak takut sama hewan apa, gitu?"

"Hmm…" aku menimbang-nimbang, "ada sih. Kecoak," jawabku tanpa malu-malu.

"Kamu takut kecoak?" Suara Lidya menunjukkan bahwa dia kaget. "Itu kan binatang yang kecil banget. Ditimpuk pake buku kuliah kita juga tamat."

"Yeah, coba katakan itu kalau kecoak itu lagi terbang ke arahmu," kataku dengan santai.

Melihat Lidya yang terdiam, aku tahu dia setuju.

Saat itu juga, makanan kami datang dan kami langsung melahapnya tanpa malu-malu. Aku sudah pernah beberapa kali makan hanya berdua dengan Lidya, tapi biasanya dia selalu makan dengan santai. Berbeda dengan kali ini, dia benar-benar makan dengan lahap. Sepertinya dia memang kelaparan.

"Pelan-pelan makannya, Neng. Awas keselek," ujarku saat melihatnya makan dengan nafsu menggebu-gebu.

"Sori," ucapnya dengan mulut penuh. "Udah laper banget soalnya."

Kami berdua terdiam untuk beberapa lama saat Lidya bertanya, "Jadi, gimana rasanya amnesia?"

Aku mengangkat alis. "Yah, sebenarnya nggak ada yang spesial sih. Cuma agak aneh aja waktu pertama kali sadar," kataku. "Seluruh dunia rasanya asing, padahal itu dunia yang kita tinggali sebelumnya."

"Kamu bener-bener nggak ingat apa-apa?"

"Nggak," aku menggeleng. "Kecuali keluargaku. Aku aja nggak bisa inget Lisa yang katanya sahabat baikku itu."

Lidya terdiam cukup lama. "Beruntung juga bisa hilang ingatan. Nggak semua orang punya masa lalu yang bagus untuk diingat," katanya, lebih kepada diri sendiri. 

Aku terhenyak mendengar kata-katanya. Kenapa kedengarannya Lidya memiliki masa lalu yang tidak menyenangkan?

Sekejap kemudian, nada Lisa kembali normal saat dia bertanya lagi, "Kamu sama Lisa beneran nggak pacaran?"

Aku merasa geli mendengar pertanyaan itu. "Emang sikap kami kayak orang yang berpacaran?"

"Nggak sih," Lidya tertawa sedikit. "Tapi kan kalian dekat udah dari kapan-kapan. Siapa tahu…" Lidya sengaja menggantungkan kata-katanya.

"Lisa lebih kayak adik yang bawel yang selalu ngerecokin aku," kataku. "Aku kasihan sama cowok yang bakal jadi pacarnya nanti."

"Ih, jahat banget," Lidya mendesis. "Padahal menurutku, salah satu penyebab dia masih belum punya pacar, ya kamu."

Aku bisa merasakan mataku membulat. "Lah, kok aku?"

Lidya nyengir dengan lebar. "Maksudku, karena kalian berdua selalu dekat dan barengan kemana-mana, bisa-bisa orang lain ngira kalian itu pasangan, jadi nggak ada yang berani ngedeketin Lisa."

Aku terdiam dan mempertimbangkan jawaban Lidya. Aku bekum pernah memikirkan ini sebelumnya, tapi sepertinya kata-katanya masuk akal. "Tapi Lisa sendiri bilang ada beberapa cowok yang lagi berusaha deketin dia. Cuma dianya yang nggak tertarik."

Lidya mengangguk-angguk. "Kalau kamu sendiri?"

"Aku kenapa?" tanyaku balik.

"Nggak ada yang deketin?" tanya Lidya dengan pandangan jail.

Aku tertawa kecil. "Setahuku sih nggak."

Lidya langsung menatapku dengan jengkel. "Dasar. Kamunya aja yang nggak ngerasa. Padahal, setiap kali kita nongkrong di kantin, pasti ada minimal cewek-cewek yang ngelirik-ngelirik kamu. Belum lagi fans-fansmu yang dari channel YouTube itu."

"Ada yang ngelirik-ngelirik aku? Kok aku nggak sadar?"

Jangan salahkan aku. Aku bukan orang yang kepo, dan saking tidak keponya, terkadang aku malas memperhatikan hal-hal yang tidak penting, seperti orang-orang yang tidak kukenal. Jadi, wajar saja jika aku tidak menyadari ada yang melirikku. 

Lalu, soal channel YouTube itu. Benar, aku memang memiliki channel YouTube sendiri, tapi aku bukan YouTuber. Bahkan, yang membuat akun itu bukan aku, melainkan salah satu kenalan dari klub musik yang iseng-iseng membuatnya untukku. Konten di channel hanya berisi beberapa cover lagu yang kunyanyikan. Isinya pun tidak banyak, mungkin hanya sepuluh. Aku sendiri jarang membuka channel itu, tetapi berdasarkan pengakuan orang-orang yang sering mengunjungi channelku, aku punya susbcriber yang cukup banyak. 

"Karena kamu terlalu cuek," Lidya menjawab dengan nada geli. "Padahal, kalau kamu mau perhatiin sedikit aja, aku yakin dalam waktu dekat bakalan ada yang ngasih surat cinta ke kamu."

"Surat cinta? Kok culun banget?" protesku.

"Asal kamu tahu ya, surat cinta itu salah satu media yang paling aman untuk nyatain perasaan. Nggak ada yang bisa bajak, ataupun ngehack isi surat itu. Kalau ada yang salah, tinggal dibakar suratnya. Sama sekali nggak bakal ninggalin jejak apapun. Praktis, kan?"

Aku menahan tawaku. "Kok rasanya kamu lagi ngomongin cara memusnahkan barang bukti ya?"

"Yeah, gini-gini kan aku kriminal," candanya dengan santai. 

Setelah makan tengah malam itu, aku mengantar Lidya pulang. Sudah beberapa kali aku melakukan ini sejak kami pertama kali bertemu, dan setiap kali pula aku hanya mengantarnya ke persimpangan waktu itu.

"Sepertinya kos kamu lumayan ketat ya," ujarku saat kami berhenti di persimpangan itu dan Lidya mengembalikan helmku yang dia kenakan.

"Maksudnya?"

"Iya, sampai nggak boleh dianter cowok sampai ke depan pagar."

"Oh," Lidya mengangkat bahu. "Emang lumayan ketat sih. Kos kami lebih terasa kayak asrama putri daripada kos putri."

"Kok gitu?"

"Iya. Kami nggak pernah lihat cowok sama sekali di kos itu. Bahkan suami dari pemilik kos itu juga nggak pernah kelihatan."

Heh. Menarik juga.

"Kosnya masih jauh dari sini?"

"Nggak kok. Itu, rumah berlantai dua yang warnanya krem." Lidya menunjuk ke sebuah rumah.

Aku melihat ke arah yang ditunjuknya. Itu sih sebenarnya masih cukup jauh.

"Kamu harus hati-hati kalau jalan sendirian," ujarku. "Malam-malam begini biasanya banyak orang usil," kataku, mengungkapkan kekhawatiranku sejak pertama kali mengantarnya pulang.

Lidya tertawa pelan. "Jangan khawatir, I may not know self-defense, but I'm not defenceless. Aku udah bawa semprotan lada kemana-mana sejak hari pertama nyampe di kota ini."

Aku nyengir mendengar komentarnya. "Udah persiapan ya?"

Lidya cengengesan. "Kota ini punya reputasi yang mencolok soal kriminalitas yang tinggi."

Soal itu, Lidya memang benar. Meskipun menjadi salah satu kota industri yang berkembang pesat, kriminalitas masih saja menjadi masalah yang belum terselesaikan hingga saat ini. Persaingan yang terlalu hebat membuat banyak orang yang memilih jalan pintas untuk bertahan hidup, dan tidak sedikit dari mereka yang memilih jalur kriminal. Begal, pencuri, dan preman-preman berkeliaran di jalanan kota selayaknya itu rumah mereka. Dan biasanya target yang mereka incar adalah pendatang-pendatang baru seperti Lydia ini.

"Oke, deh. Kalau gitu aku jalan dulu ya," kataku, mengenakan kembali helmku. "Kamu hati-hati ya."

"Kamu juga. Be safe. Thank you udah dianterin."