webnovel

Chapter 20

POV : Brandon

 

Sebenarnya aku tidak pernah mau ikut serta dalam kekacauan ini.

Hanya saja, aku terpaksa melakukannya untuk melindungi adik angkatku yang terkadang sudah kuanggap seperti anak sendiri. Ya, agak-agak twisted memang, namun kalau kalian berada di posisiku, kurasa kalian akan paham perasaanku. Aku sudah mengenal Lisa sejak anak itu baru lahir ke dunia ini. Aku masih ingat saat aku baru pulang sekolah (waktu itu aku masih SMA) dan kaget setengah mati begitu melihat ada anak bayi yang tidak kukenal yang mendadak sedang ditimang oleh mamaku. Sebelum aku memikirkan yang aneh-aneh, aku dijelaskan bahwa mamaku baru saja setuju untuk mengasuh bayi ini untuk mendapatkan sedikit penghasilan tambahan.

Awalnya aku agak "takut" pada bayi Lisa. Maklum, saat dia bayi, kedua mata Lisa benar-benar besar dan bulat seperti boneka. Namun tentu saja itu tidak mengurangi rasa gemasku pada anak bayi yang baru lahir. Lama kelamaan, seiring bayi itu tumbuh besar menjadi balita, kami sekeluarga menjadi sayang pada anak itu. Aku sering sekali bermain dengan anak itu, membuat orang-orang mengira aku adalah ayahnya. Yah, aku tidak menyalahkan mereka. Memang sudah banyak orang yang terjerumus pergaulan bebas sehingga menjadi ayah pada umur belasan tahun bisa-bisa saja terjadi. Lagipula, mukaku boros banget. Saat aku masih berusia tujuh belasan tahun, orang-orang sudah mulai memanggilku dengan panggilan Bapak lantaran mereka mengira umurku sudah dua puluh tahunan. Aku tidak heran kalau orang mengira aku punya anak.

Masa kecil Lisa tidak seindah masa kecil anak-anak pada umumnya. Yah, orangtuanya memang masih ada, tapi ibunya sering sibuk bekerja lantaran keadaan finansial mereka tidak begitu baik sehingga jarang menghabiskan waktu dengannya, dan ayahnya lebih parah lagi. Karena pusing memikirkan uang, kerjaannya setiap hari hanyalah marah-marah, membuat Lisa kecil tidak berani pulang ke rumahnya tanpa ditemani ibunya. Syukurlah, beberapa tahun kemudian, ayahnya sepertinya mulai sadar akan pentingnya keluarga dan mulai memperlakukan anak-istrinya dengan baik.

Well, kembali ke hubunganku dengan Lisa. Berhubung aku melihatnya tumbuh besar sejak masih bayi, tidak ulung aku menganggap dia sebagai adik garis miring anak yang harus kulindungi. Jadi, tentu saja pada saat dia terluka hebat beberapa tahun yang lalu, aku marah besar kepada siapapun yang bertanggungjawab waktu itu.

Aku masih ingat aku sampai di rumah sakit dengan wajah yang gelap. Istriku, Yuna, mendampingiku ke sana. Saat aku melihat Lisa berjalan tertatih-tatih dengan kepala yang diperban, aku langsung mengamuk.

"Lisa," teriakku, membuat Lisa dan orang-orang yang berada di dekatnya kaget setengah mati. "Kamu nggak apa-apa?"

Lisa yang saat itu sudah berumur belasan tahun dan duduk di kelas dua SMA menggeleng. "Iya, aku baik-baik aja kok, Kak."

Dasar bodoh. Dia pikir aku tidak bisa melihat? Kepalanya sudah diperban seperti mumi begini. masih juga bilang tidak apa-apa.

"Baik-baik saja darimana?" aku berang. "Badan kamu udah pincang-pincang begini dan kepalamu udah dibungkus kayak mumi. Siapa yang bikin kamu terluka begini?"

Istriku Yuna mengelus bahuku, menyuruhku untuk bersikap tenang sedikit. Sial, karena terlalu khawatir pada Lisa, aku jadi teriak-teriak di rumah sakit kayak preman pasar.

"Maaf, Lisa begini karena terlibat dalam masalah keluarga saya."

Aku mendongak saat mendengar kata-kata yang berasal dari mulut seorang bapak-bapak. Sebenarnya agak aneh juga aku memanggilnya seperti itu, karena aku sendiri juga sudah berusia tiga puluh tahun waktu itu. Tapi jelas bapak itu berusia agak jauh di atasku, mungkin sekitar pertengahan empat puluh. Di sampingnya berdiri seorang wanita yang lebih muda darinya, tapi sepertinya beberapa tahun lebih tua daripada aku.

Dan saat ini, bapak-bapak itu terlihat sedang bonyok sana sini. Begitu juga dengan istrinya, dengan beberapa bagian tubuh yang diperban.

"Apa maksudmu?"

Pria itupun memperkenalkan namanya dan menceritakan kejadiannya secara singkat. Rupanya ada seseorang yang punya dendam pribadi pada bapak ini dan membalaskan dendam padanya dan putranya, namun karena putranya teman baik dengan Lisa, Lisa juga terkena imbasnya. Putranya bernama Calvin, dan aku baru memperhatikan bahwa saat ini kami sedang berada tepat di ruang rawatnya. Saat ini Calvin masih koma lantaran menerima serangan yang cukup kuat di kepalanya. Namun, Calvin dan juga Lisa masih termasuk beruntung. Selain mereka berdua, ada juga seorang gadis yang katanya merupakan pacar Calvin yang menjadi korban dari kejadian ini. Gadis itu diperkosa beramai-ramai sebelum akhirnya dibunuh.

Aku dan Yuna merinding begitu mendengar cerita itu. Kalau apa yang kami dengar barusan memang benar, berarti dendam yang dibicarakan disini benar-benar dalam, sampai-sampai pelakunya tega melakukan hal sekejam itu. Aku juga mendengar katanya setengah dari bangunan sekolah Lisa habis diledakkan oleh orang-orang itu. 

Aku langsung menyambar Lisa. "Lisa. Kamu harus jauh-jauh dari mereka," ucapku pada Lisa tanpa peduli bahwa "mereka" yang kumaksud saat ini berada di dekat kami dan bisa mendengarkan kami dengan jelas.

"Hah? Maksudnya?" tanya Lisa dengan wajah bloon. 

"Kamu harus jauh-jauh dari anak bernama Calvin itu. Kalau kamu dekat-dekat dengannya, kamu bisa terluka lagi."

Lisa langsung menatapku dengan pandangan penuh protes. "Nggak bisa gitu dong, Kak," katanya. "Calvin itu sahabat Lisa. Nggak mungkin Lisa tinggalin dia gitu aja."

"Lisa, dengerin Kakak. Kakak nggak mau kamu terlibat dalam bahaya. Lihat kondisi kamu sekarang. Kamu udah terluka dimana-mana. Untung saja nggak ada kamu nggak terluka parah. Kalau nggak, gimana dengan orang tua kamu? Gimana dengan masa depan kamu?"

Lisa tampak ingin menangis, sementara bapak-bapak yang ternyata bernama Peter dan wanita yang berdiri di sampingnya yang ternyata istrinya dan bernama Clara itu hanya menatap kami dengan tertarik.

"Kak, tolong, jangan lakuin ini ke Lisa," rengeknya.

"Lisa," gantian Yuna yang berusaha membujuk Lisa, "Kakak kamu cuma ingin kamu aman. Itu aja kok. Kami tahu kamu peduli sama teman kamu itu, tapi ini demi keselamatanmu sendiri."

"Kalau begitu, ajarin aku bela diri," debatnya. "Aku bisa terluka karena aku nggak bisa pertahanin diri saat mereka nyerang aku. Kalau aku bisa bela diri, aku yakin aku bakal baik-baik aja kok."

Dasar remaja. Aku penasaran apakah saat ini otaknya masih belum pada tempatnya. Kenapa dia tidak mengerti maksudku sama sekali? Padahal biasanya dia kan pintar.

Aku sudah siap untuk mengomelinya karena kesal, namun aku berhenti saat Yuna menggenggam tanganku. Seperti biasa, dia yang selalu ada untuk menenangkanku saat aku sudah hampir lepas kendali.

"Kak," Lisa menggenggam tanganku, "aku tahu Kakak khawatir. Tapi Calvin itu… Calvin itu ibarat Kak Yuna bagi Kakak. Aku nggak mungkin bisa ninggalin dia seumur hidup aku."

Maksud Lisa adalah, dia menyukai anak bernama Calvin itu. Aku ingin sekali membalasnya dengan mengatakan bahwa perasaannya sangat mungkin cuma cinta monyet biasa, alih-alih cinta sehidup-semati yang sudah aku dan Yuna alami. Namun di saat itu, tiba-tiba Peter dan Clara yang ada di belakang kami membuka pintu kamar rawat Calvin dengan kencang. Kami ikut melihat. Ternyata anak bernama Calvin itu sudah sadar. Lisa langsung masuk ke dalamnya dengan gerakan yang lincah untuk orang yang masih terpincang-pincang. Karena penasaran, aku dan Yuna juga masuk ke dalam.

Aku melihat ibu Calvin yang bernama Clara itu sedang memeluk Calvin dengan penuh haru, sedangkan Peter hanya menepuk bahu anaknya dengan wajah lega. Aku melihat wajah anak itu dan merasakan sesuatu yang aneh. Kenapa anak itu hanya terlihat bingung seolah-olah tidak mengerti apa yang sedang terjadi?

"Untunglah, Calvin. Untunglah lo baik-baik aja," ucap Lisa dengan air mata menetes. Sial. Kelihatannya adik angkatku itu memang ada hati pada cowok baru gede ini.

Namun, anehnya cowok itu tampak semakin kebingungan saat melihat Lisa mendekatinya. 

"Kamu siapa?"

Spontan kami semua terdiam mendengar itu, baik aku, Yuna, Peter, Clara, dan terutama, Lisa.

Sial. Rupanya itu alasannya. Anak malang itu hilang ingatan.

***

Beberapa lama kemudian, setelah perkembangan yang tidak terduga-duga yang membuat Lisa sedih setengah mati karena tidak diingat oleh sahabat garis miring cowok yang disukainya sama sekali, kami semua keluar dari ruang rawat itu. Di saat Clara dan Peter sedang sibuk membahas kondisi anaknya sementara Lisa hanya bisa termenung, datang seorang pria dengan langkah penuh aura yang menekan.

Pria itu berhenti di depan Peter dan Clara. "Peter, Clara, bagaimana kondisi Calvin?" tanyanya.

Clara menggeleng. "Dia baik-baik saja, namun dia kehilangan sebagian besar ingatannya, Pak. Dia bahkan tidak mengenal sahabatnya sendiri, Lisa."

Pria itu melirik Lisa sebentar, kemudian kembali kepada mereka berdua. "Sayangnya, saya tidak membawa berita yang lebih baik kepada kalian. Memang Omar sudah dipastikan tewas, tapi tidak dengan anaknya, Jai. Dengan luka-luka hebat yang ada pada tubuhnya, dia tetap berhasil kabur dari tempat itu. Tim saya sudah mencarinya kemana-mana, namun sampai sekarang kami belum menemukan jejaknya sama sekali."

Dari kata-katanya, mungkin pria ini polisi atau semacamnya.

"Anak itu masih bebas? Pak, anak itu, meskipun masih muda, sangat berbahaya. Kalian harus tangkap dia secepatnya," pinta Clara.

"Saya tahu, dan saat ini tim saya masih terus mencari. Namun, sementara itu, saya rasa ada baiknya kalian bersembunyi dulu, siapa tahu dia akan menyerang lagi."

"Saya rasa tidak." Tahu-tahu saja, tanpa kusadari sendiri, aku bergabung dalam percakapan mereka. "Dengan kondisi anak itu sekarang, yaitu terluka hebat, butuh pertolongan, dan benar-benar sendirian, saya rasa akan lebih mungkin kalau anak itu bersembunyi dulu sambil memulihkan kekuatannya."

"Pak Brandon benar," Peter setuju denganku. "Sebelumnya, Jai masih memiliki Omar sebagai otak dari rencana ini yang menyediakan semua yang mereka perlu. Namun, Omar sudah tewas dan kali ini Jai benar-benar sendirian. Meskipun dia pasti benci sekali pada kami karena sudah membunuh ayahnya, aku rasa dia cukup pintar untuk tidak menyerang dalam kondisi lemah begini. Dia pasti akan memilih untuk bersembunyi dan mendapatkan kekuatannya kembali."

"Ditambah lagi, kalau kita menempatkan diri di posisi anak itu," tambah Peter, "aku rasa dia tidak akan langsung menyerang dan menghadiahi kami dengan kematian yang langsung. Pasti dia akan menyusun rencana yang baru dan matang untuk dieksekusi dan membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih brutal daripada ini."

"Meskipun agak-agak psikopat, itu memang benar," timpalku. 

Pria yang baru datang itu melirikku dengan tertarik. "Siapa Anda?"

"Sorry," Peter berdeham. "Lupa kenalin. Ini Brandon, kakak angkatnya Lisa. Wanita yang berdiri di sampingnya adalah istrinya. Pak Brandon, Bu Yuna, perkenalkan ini Deputi Agus Sediono, dari Badan Intelejen Negara."

Badan Intelejen Negara? Yang benar saja? Organisasi setingkat Badan Intelejen Negara juga terlibat dalam masalah ini?

Pria yang ternyata memiliki pangkat keren di BIN itu menatapku dengan mata menyipit. "Anda Brandon Ong yang waktu itu terlibat dalam kebakaran gedung di lingkungan apartemen Yalasindo itu? Yang pada akhirnya berhasil menumpas politikus korup bernama Martin Lee?"

Aku sedikit kaget saat pria ini menyebutkan soal masa laluku. Bukan hanya aku, namun juga Yuna yang saat ini mengencangkan genggaman tangannya. Aku tidak heran reaksinya seperti itu. Bagaimanapun juga, kejadian dramatis beberapa tahun yang lalu itu berkaitan erat dengannya.

Peter dan Clara juga sedikit terkejut saat mendengar kata-kata Deputi Agus. 

"Ya, saya orangnya," jawabku pendek.

Deputi Agus terdiam sebentar. "Kalau begitu, apa Anda bisa membantu kami semua?"

Aku mengernyitkan dahi. Memangnya bagaimana aku bisa membantu mereka?

"Maksudnya?"

"Seperti yang kalian bilang, Jai pasti akan balas dendam suatu hari nanti, entah sekarang atau di masa depan. Biar bagaimanapun, harus ada yang menjaga Calvin yang kini menjadi target utama dari pembalasan dendam Jai. Saya rasa akan lebih baik kalau kita tempatkan seseorang yang bisa diandalkan untuk mengawasi sekaligus menjaga Calvin sambil mengantisipasi datangnya Jai," jelas pria itu.

Aku mengangkat alis. Penolakan sudah ada di ujung mulutku. Untuk apa aku capek-capek menjaga anak orang lain? Aku melirik Yuna dan tahu dia bahwa dia juga menolak ide yang berbahaya itu. 

"Yang bener aja," aku mendengus, kemudian mengatakan hal yang ada di benakku. "Untuk apa aku capek-capek jagain anak orang lain?"

Namun, pria itu kembali menambahkan, "Anda tidak hanya akan menjaga Calvin, namun juga anak gadis ini. Katanya dia adalah sahabat Calvin, bukan? Bukan tidak mungkin Jai akan menargetkannya suatu hari nanti."

Sial. Benar juga. Aku melirik Lisa yang menatapku dengan penuh harap. Begitu juga dengan Peter dan Clara.

Aku melirik Yuna yang masih menggenggam tanganku, malah semakin erat. Aku tahu dia juga sedang bimbang apakah aku harus menyetujui permintaan itu, berhubung bisa saja hal ini akan membahayakan kami suatu hari nanti. Namun, dia juga tahu bahwa aku tidak akan mungkin bisa membiarkan Lisa berada dalam bahaya.

Setelah beberapa detik berpikir, Yuna kemudian mengangguk kepadaku.

"Kamu bener-bener nggak bakal ninggalin anak itu?" tanyaku pada Lisa.

Lisa menggeleng. "Nggak."

Meskipun saat ini kondisinya sedang payah banget, aku tahu anak itu sedang serius. Dia benar-benar akan mendampingi bocah beruntung bernama Calvin itu, mungkin untuk selamanya, setidaknya untuk waktu yang sangat lama. Apakah itu atas dasar cinta, persahabatan, atau kesetiakawanan, aku tidak tahu. Kurasa saat ini Lisa juga tidak tahu. Hanya waktu yang dapat menilai.

Namun, untuk sekarang ini, ada sesuatu yang harus dikerjakan dulu.

"Oke. Aku setuju," jawabku akhirnya.

***

Begitulah ceritanya sampai akhirnya aku menjadi babysitter tidak resmi dari anak-anak ini. Saat Calvin perlahan memulihkan diri untuk kembali pada dunianya, Lisa, sebagai teman baiknya tidak pernah meninggalkannya sementara aku tetap memantau dari jauh. Sampai akhirnya mereka berlanjut ke universitas, aku membuka sebuah warung kopi yang terletak dekat sekali dengan kampus mereka untuk mempermudah pengawasanku.

Kalau yang kulihat sih, Calvin anak yang baik. Aku tidak terlalu dekat dengannya meskipun anak itu punya bakat yang sama denganku di bidang musik. Tapi tetap saja, aku mengenal sifatnya yang sekarang setelah dia amnesia. Sifatnya sebelum itu, aku tidak tahu sama sekali.

Lisa yang paranoid memaksaku memeriksa latar belakang orang-orang yang dekat dengan Calvin di lingkungan kampus dan lingkungan kerjanya. Hal itu termasuk King, Queen, dan Kei, tiga orang sahabat yang mereka jalin pertemanannya semenjak saling mengenal. Dan juga termasuk teman-teman di tempat Calvin bekerja yang jumlahnya mencapai puluhan itu. Padahal menurutku itu tidak perlu. Bagaimanapun juga, Calvin mendapat pekerjaan itu berkat relasiku dengan seorang senior yang sangat kupercayai, dan Lisa sendiri juga bekerja di sana. Intinya, berkat kerja keras kami berdua, seharusnya tidak ada yang luput dari pengawasan kami.

Tapi tetap saja, tidak ada pekerjaan yang sempurna. Saat aku memeriksa latar belakang teman baru mereka yang bernama Lidya, aku tidak menemukan apa-apa. Catatan anak itu bersih sama seperti teman-temannya yang lain. Satu hal yang membedakan adalah Lidya merupakan seorang yatim piatu. Selain itu, semuanya terlihat normal-normal saja. Karena itulah aku cukup kaget saat hari itu aku mendengar dari Lisa bahwa Lidya bersikap aneh seperti maling saat berada di rumah Peter dan Clara. Dia memintaku untuk menginventigasi ulang asal usul Lidya, sesuatu yang memang akan kulakukan. Pada percobaan kedua ini, aku menggali lebih dalam, dan saat itulah kami menemukan hal-hal yang mencurigakan.

Contohnya saja, database Lidya di panti asuhan tempatnya dibesarkan tersimpan secara terpisah, bersama dengan data seorang anak laki-laki. Lalu, saat aku mencoba membuka data itu menggunakan program AI yang canggih dan punya keterkaitan panjang dengan dendam ayah Peter dan ayah Jai, sistem lawan kami malah menyerang balik dan berusaha mencari lokasi dan identitas kami. Untungnya program kami berhasil menghentikan usahanya sebelum terlambat dengan cara menutup paksa semua peralatan yang kami punya.

Meskipun penasaran dengan siapa anak laki-laki itu, setidaknya ada satu hal yang cukup jelas bagiku. Ada seseorang yang sedang menutupi identitas Lidya yang sebenarnya. 

Tentu saja hal ini membuat aku dan Lidya tidak tenang.

Setelah mengetahui hal yang mencurigakan itu, Lisa bilang dia berencana untuk memberitahu Peter dan Clara, jadi aku mengantarnya ke rumah mereka. Aku tidak turun maupun menunggu Lisa, karena Calvin tidak tahu apa hubunganku yang sebenarnya dengan Lisa dan kami ingin keadaannya tetap seperti itu.

Aku memperkirakan Lisa akan memberiku kabar beberapa waktu kemudian setelah dia bertemu dengan Peter dan Clara, namun teleponku tidak pernah berdering. Lisa seolah hilang tanpa jejak sejak tadi kutinggal dan jujur saja aku mulai khawatir. Terlebih lagi saat esok harinya saat aku tahu bahwa Lisa belum juga pulang ke rumah. Tidak hanya itu, dia juga tidak masuk kantor. 

Karena itulah aku sibuk mencari-cari Lisa kemana-mana hari itu. Bodohnya aku, aku sama sekali tidak terpikir untuk mencarinya di kampus. Padahal itukan bisa dibilang rumah kedua, atau mungkin ketiganya setelah kantor. Seharusnya aku memulai pencarianku dari situ. Tapi aku malah mulai mencari di kampus saat hari sudah sore menjelang malam.

Aku baru teringat bahwa hari itu kampus akan mengadakan acara Halloween Night yang sudah ramai dibicarakan oleh anak-anak selama beberapa bulan terakhir. Saat aku masuk ke lingkungan kampus itu, situasi sudah mulai ramai, namun aku tidak bisa melihat wajah siapapun lantaran semua orang mengenakan topeng. Belum lagi pakaian mereka yang mirip-mirip semua. Tapi aku yakin aku tetap akan mengenali Lisa walaupun dia sedang mengenakan topeng hari itu. Sayangnya, setelah beberapa lama aku mencari, aku tidak melihat siapapun yang kukenal.

Aku dapat merasakan semua orang melihatku dengan pandangan bertanya-tanya. Ya, aku sih tidak menyalahkan mereka. Di antara kerumunan ini, aku satu-satunya orang yang tidak mengenakan kostum berupa maupun topeng sama sekali. Pakaianku santai banget berupa kaos oblong, namun untungnya aku masih mengenakan celana panjang, kalau tidak sudah pasti aku diusir dari tempat ini.

Kerumunan semakin mendesak saat aku memasuki aula gedung yang ada di belakang kampus. Aula itu agak besar, cukup besar untuk dijadikan pentas malam hari itu. Suara musik yang membuat kepalaku yang sudah menginjak tiga puluhan itu sakit terdengar keras, sementara orang-orang mulai menggunakan cat untuk mewarnai diri mereka sendiri, baik di bagian tubuh maupun di bagian wajah yang tidak tertutup oleh topeng.

Sebenarnya aku merasa acara seperti ini sangat rentan terhadap kejahatan. Yah, anggaplah aku paranoid, tapi dengan kondisi gelap-gelapan plus semua orang mengenakan topeng sampai-sampai wajah mereka tidak dilihat, mudah saja bagi seseorang untuk menyusup dan melakukan apapun tanpa ketahuan identitasnya. Belum lagi orang-orang yang berdatangan semakin ramai, membuat mereka saling dorong-mendorong. Entah sudah berapa kali kakiku diinjak oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dan entah sudah berapa kali pula aku nyaris emosi.

Di saat aku berusaha untuk tetap tenang, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang terdengar luar biasa. Suara itu datang dari gedung yang ada di depan kami. Aku melihat ke arah itu dan mendapati asap tebal sedang mengepul. 

Yang benar saja. Masa sih ada bom di sini? Memangnya ini di Iran?

Di saat semua orang sedang ternganga sementara sebagian lagi sudah panik, terdengar suara gesekan besi yang membuat telingaku sakit dari bagian kanan dan kiri. Saat aku menyadari apa yang sedang terjadi, semua sudah terlambat. Lift gedung ini, baik di yang di kiri maupun di kanan gedung, tiba-tiba jatuh dari ketinggian. Untung saja di dalamnya tidak ada orang. Kalau tidak, bisa dijamin orang itu akan tewas seketika.

Tidak perlu ancang-ancang lagi, semua orang sudah panik dan berlarian ke sana ke mari. Sebenarnya itulah yang tidak boleh terjadi. Kepanikan hanya akan membuat semuanya seperti kacau. Seperti sekarang ini, entah sudah berapa banyak orang yang terjatuh dan diinjak-injak karena semua orang berlari untuk nyawanya sendiri.

Tiba-tiba, terdengar lagi suara ledakan. Kali ini suaranya datang dari atas kami, tepatnya di lantai tiga gedung. Saat aku mendongakkan kepala, mataku langsung kemasukan debu, dan aku terpaksa menunduk. Namun, dari ekor mataku, aku mendapati ada beberapa batu besar dan potongan besi yang berjatuhan dari ketinggian, membuat semua orang yang ada di bawahnya berlari tunggang-langgang.

"Semuanya cepat keluar!" teriakku sambil berusaha membimbing orang ini keluar dengan teratur. "Satu per satu. Jangan dorong-mendorong!"

Yah, tentu saja kata-kata kosong itu tidak didengarkan oleh mereka. Semuanya terlalu sibuk berteriak dengan panik.

Sebenarnya aku bingung dengan keseluruhan kondisi ini. Apakah ini ada hubungannya dengan Lisa atau hal yang baru kami investigasi kemarin? Semuanya terlalu mencurigakan. Aku dan Lisa baru saja menemukan sesuatu yang memberi tanda tanya di benak kami, kemudian Lisa menghilang selama lebih dari dua puluh empat jam, dan sekarang, kampusnya tiba-tiba saja diserang teroris?

Aku tau ini tebakan yang terlalu jauh, tapi firasatku kuat banget bahwa semua ini ada hubungannya dengan Lisa dan misiku. Karena itulah meskipun aku berusaha mengarahkan kerumunan ini keluar dari gedung kampus, aku sendiri tidak berencana pergi. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi.

Keningku mengerut saat melihat gerbang kampus terbuka lebar, seolah-olah sedang mempersilahkan kami keluar. Aku lebih heran lagi saat melihat tidak ada satupun petugas keamanan yang berjaga, padahal tadi saat aku mau masuk aku sempat dicegat oleh dua dari mereka. Dan aku rasa aku shock berat saat melihat kondisi parkiran mobil sedang kacau balau. Ada sebuah truk yang entah bagaimana caranya bisa masuk ke lingkungan kampus ini, dan kurang lebih ada selusin mobil yang sudah penyok, aku tebak karena ulah dari supir truk ini. Hatiku nyeri saat melihat salah satu dari selusin mobil itu adalah mobilku yang kubeli dengan susah payah bertahun-tahun yang lalu.

Brengsek. Siapapun yang melakukan ini, akan kupastikan dia membayarnya. 

Hanya butuh waktu lima menit bagi kerumunan untuk mengosongkan diri dari kampus. Pada akhirnya, hanya aku yang tersisa di sana. Aku memperhatikan kondisi mobilku. Sial. Benar-benar sudah penyok hampir setengahnya. Sambil meratapi nasib malang mobilku ini, aku mengambil beberapa barang, atau tepatnya senjata, yang kusimpan di mobilku. Ya, sejak mengambil misi itu dari Deputi Agus beberapa tahun yang lalu plus kejadian yang sempat membuat orang-orang heboh bertahun-tahun sebelumnya lagi, aku selalu kemana-mana membawa senjata. Siapa tahu diperlukan suatu saat.

Dan sekarang aku terbukti benar. Aku membuka bagasi mobilku dan mengambil beberapa senjata yang gampang kubawa, seperti pisau lipat, tali tambang, taser, dan juga borgol. Ternyata, tidak butuh waktu lama bagiku untuk menggunakan senjataku itu.

Saat aku menutup pintu bagasi, tiba-tiba saja seseorang sudah mengayunkan tongkat besi dengan kuat ke arah kepalaku. Untunglah aku sempat melihat bayangannya melalui kaca mobil, jadi aku berhasil menghindar. Kalau tidak, bisa jadi sekarang aku sudah terbaring dengan kondisi berdarah-darah.

Tidak sulit bagiku untuk mengalahkan lawanku. Saat kuperhatikan baik-baik, sepertinya lawanku ini masih muda banget. Mungkin baru lulus SMA. Meskipun begitu, dia terlihat sangat berapi-api untuk menumbangkanku. Saat dia mengayunkan tongkatnya untuk yang kedua kalinya, aku meraih tangannya dan membantingnya sampai ke terbalik. Sebelum bocah itu sempat bergerak, aku meraih senjatanya dan menggunakannya untuk menekan lehernya.

"Kalau macem-macem, lehermu yang kuinjak. Mau?" ancamku.

Meskipun terlihat tidak rela, bocah itu tidak melakukan apa-apa.

"Siapa kalian? Kenapa kalian menyerang kampus ini?" tanyaku mencari informasi.

Anak itu tidak menjawab dan membuang muka. Sudah kuduga tidak akan semudah itu dia memberiku jawaban.

Aku menekan lehernya lebih kuat dengan tongkat besi miliknya, membuat dia kesulitan bernafas dan megap-megap.

"Yakin nggak mau jawab?"

Anak itu mengangguk dan akhirnya aku melonggarkan peganganku.

"Kami cuma nurut sama Bos kami," jawabnya. 

"Siapa bos kalian?"

Anak itu terdiam sebentar. "Namanya Jai."

Jawabannya membuatku shock. Sial. Ternyata ini memang ada urusannya dengan kami semua. Jai, seperti yang sudah diprediksi jauh sebelumnya, telah kembali. Kemungkinan dia juga sudah menangkap Lisa segera setelah kami berusaha melacak identitas Lidya dan anak laki-laki yang misterius itu. Aku rasa anak laki-laki itu adalah Jai sendiri, dan itu berarti dia punya hubungan erat dengan Lidya, setidaknya saat mereka masih kecil. 

Mungkin mereka bersaudara.

Sialnya, sampai saat ini Calvin belum mengingat apa-apa dari kejadian masa lalunya, jadi kalau dia dihadapkan dengan Jai-pun, dia tidak akan bisa melakukan apa-apa selain kebingungan atas apa yang sedang terjadi. Ditambah lagi, dari tadi aku belum melihat sosok Calvin, Lidya, Lisa, maupun teman-temannya yang lain. Entah mereka masih ada di lingkungan kampus ini atau tidak.

"Apa maunya?" 

Anak itu berusaha bergerak, namun gerakannya tertahan saat aku menginjak tangannya. Dia mengerang saat menjawab, "Balas dendam. Dia mau balas dendam sama musuhnya."

"Lalu dimana Lisa?" tanyaku.

"Lisa?" Anak itu terlihat bingung. "Lisa yang mana? Yang artis itu?'

Dasar goblok. Untuk apa aku nanyain soal artis di saat-saat seperti ini?

"Nggak usah pura-pura bego. Kalian kemarin ada culik seorang cewek kan? Dimana cewek itu sekarang?"

Ekspresi anak itu seperti tercerahkan. "Oh, cewek itu. Ya, mereka kemarin memang ada nyulik seorang cewek, tapi aku nggak ikut. Aku juga nggak tahu dia disekap dimana, soalnya aku ditugasin di sini sejak pagi."

Jadi mereka sudah ada di sekitar sini sejak pagi dan tidak ada yang mengetahui keberadaan mereka?

Sial, seharusnya aku langsung datang ke sini pagi tadi. Pasti aku sudah menangkap ada sesuatu yang aneh dan mencegah kejadian ini.

"Kalau lo nggak tahu, berarti lo udah nggak ada gunanya buat gue," kataku berusaha mengancam, karena aku merasa bocah ini tahu sesuatu yang dia masih sembunyikan dariku.

Dan tebakanku benar. Bocah itu menyeringai saat dia meraih sakunya dan menyempotkan sesuatu ke wajahku.

Sial. Itukan semprotan lada. Aku jadi tersinggung. Memangnya aku orang mesum yang hobi stalking cewek?

Anak itu menargetkan mataku, tapi untungnya aku berhasil menghalangnya dengan tanganku. Namun sebagai akibatnya, aku jadi melepaskan tongkat besi itu, dan bocah ingusan itu mengira dia memiliki kesempatan. Dia langsung meraih tongkat kepunyaannya dan hendak menyerang kepalaku. Sekali lagi, aku berhasil menghindar dengan mudah, dan setelah itu aku menghadiahinya sebuah tendangan di kepala, membuat anak itu langsung pingsan.

Sial. Aku benar-benar kecele. Kenapa bisa Jai dan konco-konconya menyusup ke lingkungan kampus ini tanpa diketahui? Mana sekarang mereka sudah menangkap Lisa pula? Aku benar-benar payah. Misi yang dibebankan di tanganku gagal dengan sukses.

Tapi sekarang bukan saatnya menyalahkan diri sendiri. Sekarang saatnya menyelamatkan Lisa yang sedang disekap di kampus ini entah di bagian mana.

Aku punya feeling bukan hanya Lisa yang ditangkap. Dari apa yang kudengar, Jai dan almarhum ayahnya hobi menawan orang-orang yang target mereka pedulikan untuk melemahkan mental lawannya terlebih dahulu. Jadi aku rasa kali ini Jai juga sudah menawan ketiga teman Calvin yang lain, yaitu King, Queen, dan Kei. Ini artinya juga saat ini Calvin masih berada di dalam kampus, sedang mencari teman-temannya satu per satu.

Dan untuk Lidya, ya jujur saja saat ini aku tidak tahu dia ada dimana. Aku bahkan tidak tahu siapa sebenarnya dia dan dia ada di pihak mana. Kalau dia ada di pihak Jai, kurasa saat ini dia sedang bersama Jai, menunggu Calvin mengalahkan semua konco-konco yang sudah mereka persiapkan kepadanya sebelum akhirnya menghadapi mereka berdua. Kalau dia ada di pihak kami, sudah pasti Jai marah besar karena dikhianati oleh orang dekatnya sendiri, dan kemungkinan saat ini sudah menawannya di suatu tempat.

Yah, biar bagaimanapun, aku harus mencari seluruh isi kampus ini. Aku memulai perjalananku dengan memasuki gedung depan kampus dengan hati-hati. Namun, baru saja aku ingin mencari ruangan satu per satu, aku sudah mendengar suara perkelahian yang terdengar dari kantin.

Aku perlahan-lahan mendekati kantin itu dan mengintip. Calvin sedang ada di sana, sibuk melawan preman-preman yang jumlahnya mungkin mencapai sepuluh orang. Mereka semua menggunakan senjata, mulai dari senjata yang keren seperti tongkat golf sampai yang cupu seperti tongkat sapu. Dikerumun seperti itu membuat Calvin kewalahan, apalagi tampang anak itu sekarang benar-benar payah banget dengan wajahnya penuh dengan bekas darah yang mulai mengering.

Melihat anak itu jelas memerlukan bantuan, aku pun bergabung dalam pertarungan tersebut. 

Aku melemparkan sebuah kursi plastik ke arah mereka, membuat mereka menyadari kehadiranku. Seperti yang kuduga, sebagian dari mereka, mungkin empat atau lima orang, langsung melesat ke arahku. Mereka semua mengayunkan senjata-senjata mereka kepadaku. Berhubung aku memiliki jarak yang agak jauh dengan mereka, aku dapat mengambil ancang-ancang dengan sempurna. Saat salah satu dari mereka mengayunkan tongkatnya, aku sudah menendangi kakinya sampai tongkat itu terpental jauh. Sementara si pemilik tongkat masih bengong, aku sudah meraih tongkat temannya untuk menyodok perutnya, lalu menendangi wajah kedua orang itu dengan lututku. Seorang lagi datang ke arahku dengan pisau lipat di tangannya, dan tidak sulit bagiku untuk merebut pisau itu dari tangannya. Saat aku mengacungkan pisau itu, bocah itu menutup matanya ketakutan. Tentu saja aku tidak menusuknya. Namun, sebagai gantinya, saat dia membuka matanya, aku langsung membogemnya sampai pingsan. 

Seseorang yang badannya lebih besar dariku mendobrakku sampai menabrak dinding, lalu mendorongku sampai aku terpental di atas meja. Dia lalu mengambil pisau temannya, dan aku harus menghindar dari serangan pisau itu dan juga dari serangan temannya yang melemparkan pot bunga ke arahku. Orang itu berhasil menyerempet bahuku dengan pisaunya, namun hanya itu. Saat dia berhasil melukaiku, aku langsung memberinya tendangan memutar dan membuatnya terlempar ke arah temannya. 

Saat aku melihat Calvin, cowok itu juga hampir selesai dengan pertarungannya. Saat ini dia melawan dua orang, dan aku meraih salah satunya kemudian melempar tubuh preman.

"Lo nggak apa-apa?" tanyaku melihat penampilannya yang payah banget. Namun, meskipun dia tampak penuh luka, matanya menyala-nyala layaknya orang yang masih penuh dengan tekad perjuangan.

"Gue baik-baik aja," jawabnya. "Lo kok bisa ada di sini?"

"Nyariin Lisa," jawabku jujur, tidak ingin menyembunyikan hubunganku dengan Lisa lagi. Keadaan sudah seperti ini. Untuk apa ditutup-tutupi?

"Untuk apa lo nyari Lisa?" tanya Calvin bingung.

"Dia adik angkat gue," jawabku. Melihat wajah Calvin masih bingung, aku menambahkan, "Lain kali aja gue jelasin. Lo tahu Lisa ada dimana?"

Wajah Calvin terlihat penuh rasa bersalah. "Dia ditawan. Temen-temen gue yang lain juga. Semua gara-gara gue."

Aku mengerutkan dahi. Kenapa dia bisa berkata seperti itu? "Ingatan lo udah kembali?"

Calvin terlihat tegang saat dia mengangguk. "Lo tahu soal masa lalu gue?"

"Tau." Aku mengaku tanpa ragu. "Ceritanya panjang, Vin, tapi intinya, gue ditugasin buat ngelindungi lo dari upaya balas dendam Jai. Gue udah gagal dalam tugas gue, dan untuk itu gue minta maaf. Tapi sekarang, prioritas kita adalah cari Lisa dan juga temen-temen lo yang lain. Mereka nggak ada hubungannya dengan dendam antara lo dan keluarga Jai."

Calvin terlihat ragu, namun dia pada akhirnya mengangguk. "King udah selamat. Dia lagi ada di gedung depan, sama juga lagi nyariin yang lain," katanya.

Oh ya? Terus kenapa tadi aku tidak melihat King saat aku melangkah ke sini?

"Sekarang gue lagi mau ke gedung belakang buat nyari yang lain. Gue rasa Kei dan Queen ada di situ."

Aku mengangguk. "Oke. Yuk jalan."

Aku dan Calvin pun menyusuri jalan ke gedung belakang, dan benar saja, sesuai perkiraan Calvin, Kei dan Queen ada di sana. Sepertinya mereka baru saja terlibat pertempuran yang dahsyat, sebab Kei sedang terbaring tidak berdaya dengan sebuah pisau menancap di bahu kirinya, sementara Queen sedang berada di lantai dua dengan kondisi badan luka-luka.

Kami segera mendekati Kei yang sudah tidak sadarkan diri. Queen yang menyusul kami langsung menempatkan diri di samping anak itu. Terlihat jelas dia sangat khawatir pada Kei. Aku langsung memeriksa kondisi anak itu. Untunglah, anak itu masih hidup. Detak jantungnya masih ada meskipun lebih pelan dari yang seharusnya.

"Kalian harus cepat keluar dari sini dan bawa dia ke rumah sakit. Brandon. Bisa bawa mereka keluar dari sini?" pinta Calvin.

Aku mendongakkan kepalaku. Jelas aku tidak setuju dengannya, karena tujuanku datang, lebih dari apapun, adalah untuk menyelamatkan Lisa.

"Aku nggak bakal kemana-mana tanpa Lisa," jawabku tegas.

"Aku sumpah bakalan selamatin Lisa, Brandon. Tapi sekarang aku butuh kamu untuk bawa mereka berdua keluar dari sini, sekaligus King yang sekarang ada di gedung A," Calvin berusaha membujukku. "Ini perangku. Harus aku yang mengakhirinya."

Dasar. Meski tidak sudi pergi tanpa membawa Lisa, harus kuakui kata-kata Calvin memang benar. Masalah ini ada di antaranya dengan Jai. Harus mereka berdualah yang menyelesaikannya. Ditambah lagi, kalau tidak segera keluar dari sini, Kei bisa saja tidak selamat.

"Kei nggak bakal selamat kalau kita nggak bawa dia keluar dari sini secepatnya, Brandon," ucap Queenie, mengatakan sesuatu yang baru saja kupikirkan. 

Pada akhirnya, aku mengangguk. "Oke. Kamu harus selametin Lisa."

Calvin mengangguk dengan tajam.

Setelah itu aku langsung memapah Kei yang benar-benar sudah tidak sadar untuk pergi dari tempat ini secepatnya. Untung saja, dalam perjalanan kami ke gedung depan, tidak ada preman-preman yang menghadang kami. Kalau tidak, akan sulit bertarung dengan membawa Kei yang sudah out dulu.

King memang berada di gedung depan seperti yang Calvin katakan. Saat kami di sana, terlihat dia sedang berduel dengan salah satu preman dan loncat dari lantai dua ke lantai dasar. Kondisinya juga sudah kacau banget, tapi anehnya saat ini dia tampak bersemangat sekali seolah mampu isa diajak tawuran ala-ala film Crows Zero.

Saat kami sudah berada di depan kampus, aku memutuskan untuk membajak truk yang tadi kulihat. Habisnya, aku sudah tidak bisa menggunakan mobilku yang sudah penyok itu. Aku menyuruh mereka bertiga masuk, lalu tanpa melihat kiri kanan lagi, aku menerjang jalan di depanku, tidak peduli berapa mobil dan motor yang sudah kulindas. Saat gerbang kampus sudah ada di depan mataku, aku membunyikan klakson sekeras-kerasnya, menyuruh siapapun yang berada di sisi lain dari gerbang itu untuk minggir. Syukurlah, begitu gerbang terbuka, kami melihat segerombolan pihak berwajib, mulai dari polisi, paramedis, sampai tim Gegana sudah ada di sana. Pertanyaanku, kenapa daritadi mereka tidak mencoba masuk ke dalam?

Dan di antara segerombolan petugas itu, aku melihat wajah yang familiar. Deputi Agus.

Sementara paramedis mengurus ketiga anak malang itu, aku menghampiri pria itu.

"Brandon, kalian baik-baik saja?' tanya petugas intel itu.

Aku tidak tertarik berbasa-basi dengannya. "Kenapa kalian tidak mendobrak masuk dan menyelamatkan anak-anak ini? Kalian tahu kan sebagian dari bangunan ini sudah hancur?"

Deputi Agus tampak tidak terpengaruh oleh ketidakramahanku. "Tentu saja kami tahu. Hanya saja, tadi kami juga disibukkan oleh hal yang lain. Dan juga, kami mendapat perintah untuk menahan semua tindakan."

Jawaban yang tidak menjelaskan apapun. "Hal lain apa yang kalian maksud? Kenapa kalian disuruh nggak ngapa-ngapain dan cuma bengong aja?"

Deputi Agus menghela nafas. "Setelah menerima laporan bahwa kampus ini mengalami masalah, kami sudah mengirim tim ke sini untuk misi penyelamatan. Namun, dalam perjalanan, tim tersebut dicegat sampai mengalami kecelakaan hebat. Bukan hanya itu, setiap kantor polisi yang bertugas di kota ini diserang. Memang, penyerangannya tidak dengan kekuatan penuh, tapi cukup untuk mengalihkan perhatian kami. Saat kami semua berhasil mengendalikan situasi, tiba-tiba kami mendapat sebuah pesan." Dia meraih ponselnya dan membuka sebuah pesan video. Layar belakang video tersebut hitam gelap dan hanya terlihat seseorang, entah cewek atau cowok, menggunakan topeng Scream di depan kamera.

"KEPADA SELURUH PETUGAS KEPOLISIAN DAN PIHAK BERWAJIB, KAMI ANJURKAN UNTUK TIDAK MELAKUKAN SEMUA USAHA PENYELAMATAN ATAS APA YANG SEDANG TERJADI DI UNIVERSITAS PETRA JAYA. APA YANG SEDANG TERJADI DI SANA ADALAH URUSAN PRIBADI KAMI, DAN BEGITU SUDAH SELESAI, KAMI AKAN SEGERA PERGI DARI SINI. KALAU KALIAN TIDAK MENDENGAR, JANGAN SALAHKAN KAMI KARENA MENGGUNAKAN TINDAK KEKERASAN." 

Begitulah isi pesan video itu sebelum akhirnya layar menjadi statis.

"Terus kalian semua menahan tindakan gara-gara ancaman tidak jelas itu?" protesku.

"Itu bukan ancaman tidak jelas. Sekitar setengah jam yang lalu, kami mencoba masuk, dan sebagai akibatnya Rumah Sakit Purwakarta yang menjadi korban. Puluhan korban nyaris saja tewas, Brandon," jawab Deputi Agus dengan rahang mengeras.

Aku mendecak mendengarnya. Rupanya video itu bukan hanya gertakan.

"Ini semua pekerjaan Jai, bukan?" tanyanya.

Dasar anggota intel goblok. Memangnya yang beginian masih perlu ditanyai? Tentu saja aku tidak menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya itu. 

"Aku bakal masuk ke dalam lagi," kataku.

Deputi Agus tampak shock. "Yang benar aja? Bukannya kamu baru keluar dari gedung itu dengan susah payah?"

"Lisa masih ada di dalam situ. Calvin juga. Mereka berdua misiku. Aku harus nyelametin mereka berdua," jawabku dengan rahang mengeras. "Pokoknya kalian urus saja masalah yang ada di luar sana. Bagian dalam kampus, biar aku yang urus. Cukup sediakan paramedis saja. Calvin terluka cukup parah, dan aku berani taruhan Lisa juga butuh perhatian medis."

Deputi Agus terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk. "Semoga beruntung." 

Aku tidak mengindahkannya lagi dan memasuki truk yang tadi. Aku lalu mengemudi sampai ke gedung belakang, tempat aku dan Calvin berpisah. Anak itu entah sudah berada di mana sekarang. Aku turun dari truk sambil mengendap-ngendap berusaha mencarinya, tapi yang kutemukan adalah preman-preman bawahan Jai yang memegang senjata api. Aku menyusuli mereka dan membuat mereka berdua pingsan dengan suara seminim mungkin, kemudian menyeret mereka ke samping supaya tidak dapat dilihat oleh siapa-siapa.

Mendadak saja, sebuah ide terlintas di benakku. Mungkin akan berguna kalau aku menyamar menjadi salah satu dari mereka. Dengan begitu, aku bisa bergerak bebas mencari Lisa tanpa dicurigai, dan aku juga bisa tahu dimana tempat-tempat yang sudha dipasangi bom-bom itu di luar sana.

Dengan pemikiran seperti itu, akhirnya aku menelanjangi salah satu dari preman itu. Sial, harus kuakui, tampangku memang rada kriminal. Teringat olehku beberapa tahun yang lalu aku pernah harus menyamar menjadi bajak laut yang sedang gila harta dan haus darah. Tidak kusangka aku harus menyamar menjadi penjahat untuk yang kedua kalinya.

Aku mengambil senjata api yang mereka miliki. Yang satu kusimpan, yang satu kupegang di tangan. Kemudian, setelah mengenakan masker, aku berlagak seperti preman-preman cupu yang sok kuasa lantaran memegang pistol dan bergabung ke dalam kawanan mereka. Bisa kulihat saat ini mereka sedang berkumpul di sports hall yang ada di belakang gedung kampus. Ada sekitar lima belas dari mereka sedang berjejer menghadap sebuah pintu menuju ruang loker. Di antara mereka, ada seseorang yang duduk di tengah. Kurasa itulah Jai, orang yang menjadi dalang dari semua ini.

Aku punya perasaan bahwa Jai sudah tahu aku sudah diutus oleh Badan Intelejen itu untuk melindungi Calvin. Anak itu kan tidak bodoh. Kurasa dia sudah cukup pengalaman dalam hal mencari informasi untuk mengetahui hal ini. Yah, aku sih berharap dia tidak tahu. Sebab, kalau dia tahu, bukan tidak mungkin dia juga mengincar istriku Yuna dan anak kami Chris. Meskipun aku mendapat jaminan dari Agus bahwa keluargaku akan selamat, aku tetap saja khawatir.

Semoga saja dia belum tahu.

Melihat orang-orang itu tidak melakukan apa-apa selain berdiri berjejer dan mengangkat senjata mereka menghadap pintu itu, aku meniru mereka. Aku penasaran siapa yang saat ini mereka tunggu sampai-sampai mereka harus mengangkat senjata mereka seperti ini. Sial. Jangan-jangan mereka sedang menunggu Lisa keluar untuk menembaknya langsung? Brengsek. Kalau itu terjadi, akan kupastikan aku melobangi kepala semua orang yang ada di sini sebelum mereka punya kesempatan untuk melakukan apa-apa.

Sekali lagi, tebakanku terbukti benar. Aku tidak perlu menunggu lama sampai Lisa mendobrak keluar dari pintu itu. Wajahnya tampak lega karena akhirnya bebas, namun terlihat shock begitu melihat banyaknya senjata yang sedang ditodong ke arah mereka. Kondisi anak itu sudah terlihat payah banget. Pakaiannya sudah kotor dan acak-acakan, dan dia tampak lesu dan kuyu. Dan pergelangan tangannya juga terluka, kurasa karena dia terus berusaha melepaskan diri dari apapun yang mengikatnya. 

Sial, melihatnya seperti itu, aku menjadi marah sekali.

Di samping Lisa, berdiri Lidya dengan kondisi yang juga kacau. Entah bagaimana caranya dia bisa bersama Lisa, padahal aku tahu Lisa tidak percaya pada anak itu, tapi sepertinya Lidya memberi perlawanan yang hebat. Badannya tampak lecet sana-sini, dan sekarang dia juga memperlihatkan ekspresi kaget yang sama seperti Lisa.

Namun, beruntung baginya, seseorang segera menariknya menyingkir dari situ, bebas dari todongan senjata mereka.

"Jai!" teriak Lidya. "Mau ngapain lo?"

Jai mengerling. "Diam. Semua ini sudah bukan urusan lo. Gue jamin lo bakalan baik-baik aja asalkan lo nurut sama gue."

"Brengsek! Nggak sudi gue nurut sama lo, kriminal!"

Jai tidak menjawab lagi. Dia menatap Lisa yang berusaha menyembunyikan ketakutannya lurus-lurus. "Any last words, Lis?"

Lisa tidak bisa menyembunyikan tangannya yang bergetar. "Diam lo, brengsek."

Jai tertawa kecil. "Tenang. Dalam semenit lagi lo nggak bakal dengerin suara gue lagi kok. Yah, mungkin masih bisa, sih. Tapi bukan dalam bentuk manusia lagi. Melainkan dalam bentuk arwah penasaran."

Brengsek. Masa anak itu benar-benar akan menembak mati Lisa?

"Jai, jangan gila lo. Lepasin dia sekarang, atau gue yang bakal bunuh lo nantinya!" ancam Lidya yang tidak didengarkan Jai sama sekali.

"Sampaikan pesan gue pada April ya. Bilang sama dia, kalau mau salahin, salahin aja Calvin. Jangan salahin gue," ucap Jai kepada Lisa sambil berdiri dari kursinya. 

Lisa masih berusaha tegar, namun aku melihat air matanya menetes. Mungkin dia sudah menyerah pada nasibnya.

Jangan menyerah dulu, Lisa. Ada aku di sini. Tidak akan kubiarkan kamu kenapa-napa.