webnovel

Chapter 14

POV : Lidya

Oke, aku yakin aku sudah pernah mengatakan ini, tapi Jai memang sudah gila.

Hari Minggu itu aku ke supermarket untuk membeli kebutuhan bulananku. Waktu memang berlalu terlalu cepat. Sudah sebulan sejak kemarin aku hendak melakukan belanja bulanan, lalu malah terlibat kecelakaan yang diakibatkan oleh salah satu orang suruhan abangku. Aku sudah wanti-wanti apakah Jai akan melakukan hal yang aneh-aneh lagi, tapi aku berhasil pergi-pulang supermarket dengan selamat.

Atau setidaknya, itulah yang kukira.

Saat aku pulang ke gubuk yang berperan menjadi tempat tinggalku, aku menyadari aku sedang kedatangan tamu. Aku terkejut saat melihat keberadaan Jai, namun aku lebih kaget lagi saat melihat dia tidak sendirian. Dia dikelilingi oleh setengah lusin anggotanya, membuat gubukku yang sempit terasa semakin sempit saja. Namun, semua itu tidak lebih mengagetkanku dibandingkan orang yang saat ini terduduk di sebuah kursi dengan kondisi luka-luka, tangan dan kaki terikat, dan mulut disumpal agar tidak membuat suara yang berlebihan.

Orang yang sedang ditawan itu adalah Lisa, teman baik Calvin.

Saking terkejutnya, aku langsung menjatuhkan barang belanjaanku. Detik kemudian, aku menyadari aku sudah menerjang menuju Jai setelah mendorong anggota-anggotanya yang mencoba menghentikanku.

"Apa-apaan ini? Kenapa mesti nangkap dia?" teriakku berang sambil meraih kerahnya.

Jai menatapku tanpa mengatakan apa-apa, kemudian meraih tanganku dan menyentakkannya seolah tenagaku tidak seberapa. "Udah kubilang, kamu terlalu lama," jawabnya dingin. "Dan si cewek kepo ini udah mulai curiga sama kamu," katanya sambil menunjuk Lisa.

Aku berbalik dan melirik Lisa yang sama sekali tidak tampak kaget saat melihatku. Aneh. Sejak kapan dia mencurigaiku? Jangan-jangan, di hari itu saat aku di rumah Calvin, dia melihat aku mengobrak-abrik kamar orangtua teman dekatnya? Sudah kuduga seharusnya aku tidak mengambil resiko sebesar itu.

"Lis…" ucapku sambil menatap matanya. Mata itu sama sekali tidak terlihat ketakutan meskipun dia dikelilingi preman dan dibawa ke gubuk entah dimana. Mata itu menyiratkan perlawanan dan perjuangan yang belum selesai, menandakan bahwa dia tidak akan membiarkan semuanya berakhir hanya di sini. Kurasa Jai menyuruh anggotanya yang saat ini ada di sini untuk menciduknya, tapi dilihat dari kondisi cowok-cowok lemah itu sekarang, aku tahu Lisa sebenarnya berhasil memenangkan pertarungan. Namun, entah bagaimana caranya, mereka tetap berhasil membawanya ke tempat ini.

"Nggak usah ngerasa bersalah," kata Jai. "Dia sama bersalahnya dengan orang-orang itu. Sama dengan mereka, dia juga harus membayar apa yang sudah mereka lakuin tiga tahun yang lalu."

"Ini udah ngelanggar persetujuan kita," ucapku berang. "Udah gue bilang, gue bakal kerja sama dengan lo kalo kita nggak ngelukain siapa-siapa. Tapi apa yang udah lo lakuin?"

"Heh, sadar dong lo ngomong sama siapa?" Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Jai kehilangan ketenangannya. "Gue ini abang lo. Satu-satunya keluarga lo yang tersisa. Gue nawarin lo kesempatan buat balasin dendam keluarga kita. Balasin dendam kepada orang-orang yang udah ngebunuh mereka kita dan bikin kita yatim piatu," teriaknya.

"Dan orang ini," Jai menjambak rambut Lisa tanpa ragu-ragu sementara Lisa hanya menggeram, "dia salah satu pelakunya. Dia yang ngebantu Calvin dan bapaknya buat ngebunuh bapak kita. Lo lupa sama bapak kita, hah? Lo lupa betapa menderita hidupnya, gara-gara bapak si Calvin yang brengsek itu?"

Sial, dicecar seperti itu, aku menjadi serba salah. Aku tahu aku seharusnya menegakkan keadilan untuk keluargaku, tapi aku tidak ingin melakukan dengan cara seperti ini.

"Apapun itu," kataku dengan suara sejernih mungkin, "aku nggak mau ikutan soal beginian. Lepasin Lisa sekarang, atau aku bakal kasih tahu Calvin semuanya tentang aku dan hubungan kita."

Jai menatapku dengan dingin untuk beberapa saat. "Kalau lo berani ngelakuin itu, dia mati," ucapnya tanpa perasaan sedikitpun. "Tapi, sebelum dia mati, anak-anak gue bakal seneng-seneng sama dia dulu," tambahnya seolah-olah membunuh Lisa saja tidak cukup. "Kedengaran familier kan, Lisa?" 

Untuk pertama kalinya, aku melihat Jai menyeringai dengan kejam kepada Lisa. Lisa sendiri tampak terpengaruh mendengar itu, membuktikan bahwa sebelumnya, hal yang diucapkan Jai barusan benar-benar pernah terjadi. 

"Jai," kali ini, suaraku terdengar pasrah. "Anggap saja aku minta tolong. Tolong sudahi ini semua. Aku capek. Untuk apa kita hidup kalau cuma untuk balas dendam?"

"Aku memang hidup untuk balas dendam, Lidya. Tidak ada yang lain," jawab Jai dingin.

Bulu kudukku merinding mendengarnya. Apa maksud kata-katanya? Jadi, setelah misi kami selesai, Jai sudah tidak berniat hidup lagi, begitu?

"Jai…"

"Cukup basa-basinya. Cewek ini bakalan tetap di sini. Nggak ada yang boleh lepasin sebelum kuperintah."

Aku menyadari ekspresiku mendingin. "Lalu apa? Sampai kapan kita harus sekap dia di sini?"

Jai terdiam sebentar. "Sampai kamu selesai dengan pekerjaanmu."

Setelah itu, Jai pergi meninggalkan gubuk itu bersama anggota yang dia bawa, meninggalkan aku dan Lisa berdua di gubuk yang sudah buruk ini.

***

Aku duduk di seberang Lisa, saling bertatapan dengannya. Sama seperti tadi, matanya masih menyiratkan ketegaran, namun kali ini dia juga terlihat marah. Untuk membuat perasaanku sedikit lebih baik, aku melepaskan gumpalan di mulutnya dan membuang kain busuk itu ke lantai.

"Jadi ini tempat tinggal lo?" katanya dengan nada yang sama sekali tidak ramah. "Pantesan lo nggak pernah biarin Calvin antar lo sampai di depan rumah. Si bodoh itu percaya aja pas lo bilang lo tinggal di kos yang ketat."

Aku tahu, kata-kata itu sengaja diucapkan Lisa untuk membuatku merasa lebih buruk, jadi aku tidak menanggapinya.

"Jadi lo adeknya Jai, hah?"

Aku mengangguk.

"Kalian dibesarkan di panti asuhan yang sama sampai akhirnya bokap kalian bebas dan ngejemput kalian?"

Lagi-lagi aku mengangguk.

"Kami nggak pernah tahu Jai punya adik."

"Yah, mungkin karena Jai nggak pernah nganggap aku sebagai adiknya."

Lisa menaikkan sebelah alis. "Butuh dikasihani?"

Kali ini aku menggeleng. "Aku nggak butuh apa-apa. Setidaknya, nggak dari kamu."

Lisa terdiam sebentar. "Apa yang kamu butuh dari Calvin? Ataupun orangtuanya?"

"Pengakuan," jawabku tajam. "Pengakuan bahwa kalian sudah bersalah sama keluarga gue. Pengakuan bahwa kalian sudah membunuh bokap gue. Atau setidaknya apapun bukti yang bisa digunakan untuk mendukung fakta itu."

"Fakta?" Aku menangkap rasa emosi dari nada Lisa. "Emang lo tahu yang mana fakta yang mana bukan? Lo yakin yang selama ini lo denger sebagai fakta itu bukan cuma kebohongan yang abang lo bikin?"

"Gue yakin lo nggak bakal percaya dengan kata-kata gue sekarang, tapi bukan kami yang bunuh bokap lo. Bokap lo tewas ditembak polisi saat dia berusaha kabur padahal dia udah ditangkep. Yang lo kirain fakta itu cuma hoax yang abang lo kreasikan sendiri, goblok!" Kini, Lisa tidak segan-segan lagi memakiku. "Yang bener-bener fakta adalah, salah satu teman kami tewas di tangan abang lo dan anggotanya. Bukan cuma tewas, dia diperkosa ramai-ramai sebelum akhirnya fisiknya nggak bisa tahan lagi. Dan cewek yang tewas itu adalah pacar Calvin waktu itu. Lo mau fakta? Itu faktanya."

Oke, aku tidak tahu yang satu ini. Aku tahu dulu Calvin pernah punya pacar sebelum dia hilang ingatan, tapi aku tidak tahu benar apa yang terjadi pada cewek itu. Kalau apa yang Lisa katakan benar, berarti selama ini aku berada di pihak yang salah.

"Lo yakin itu kebenarannya?"

Lisa membuang muka. "Seperti dugaan gue. Lo nggak bakal percaya sama kata-kata gue."

Kami berdua sama-sama terdiam untuk waktu yang lama. "Gimana dia bisa hilang ingatan?"

Tanpa perlu kubilang, Lisa tahu siapa yang kumaksud. "Waktu lagi dia kesetanan abis tahu ceweknya tewas, Calvin berniat ngebunuh abang lo saat itu juga. Mereka kejar-kejaran sampai jatuh dari lantai tiga. Akibat itu, dia hilang ingatan." Rupanya begitu. 

"Nggak ada satupun dari kalian yang berniat selametin Jai saat dia jatuh bersama Calvin?"

"Eh, muna, asal lo tahu, abang lo itu bisa merayap kayak ular. Kami baru sampai lokasi aja, dia entah udah kemana. Yang tersisa cuma Calvin yang nggak sadar," ucap Lisa.

Aku menghela nafas di saat ponsel Lisa tiba-tiba berdering. Aku merogoh kantong Lisa dan memeriksanya. Pesan masuk dari Calvin.

Calvin                    : Lis, lo dimana?

Calvin                    : Sori kalo tadi tersinggung. Lo juga tahu gue ngomong suka nggak jelas, tapi maksud gue nggak aneh-aneh kok. 

Aku mengangkat sebelah alisku. "Kalian tadi ngomongin apa?" tanyaku pada Lisa, tapi yang ditanya enggan menjawab. Pesan Calvin masuk untuk ketiga kalinya.

Calvin                     : Kalo lo nggak jawab lagi, gue samperin ke rumah ya.

Waduh. Kalau Calvin sampai mencari Lisa sampai ke rumahnya, bisa gawat juga.

Karena itulah, aku mengambil resiko untuk membalas pesan itu.

Lisa                       : Udah. Diem.

Aku tahu kedengarannya kasar, tapi memang itulah cara Lisa berkomunikasi kepada Calvin. Semoga saja dengan begini, Calvin akan mengira Lisa masih baik-baik saja.

"Si goblok itu beneran naksir sama lo," ucap Lisa tiba-tiba dengan wajah merah padam. Sudah kuduga, cewek ini menyukai sahabatnya. "Seperti yang lo mau, kan?"

"Gue nggak berminat permainin hati Calvin, Lis."

"Terus apa yang lo lakuin sekarang, hah? Si bodoh itu beneran naksir lo, padahal lo adek dari cowok bangsat yang udah ngebunuh cinta pertamanya dan udah ngobrak-abrik keluarganya. Lo nggak kasian sama dia?"

"Kasian?" Kini aku yang emosi. "Jangan ajarin gue soal kasihan, Lis. Asal elo tahu, dari kecil gue udah nggak ada ibu. Bokap gue dipenjara. Gue sama abang gue dirawat di panti asuhan dimana kami nggak pernah bisa makan dengan kenyang. Setelah bokap gue bebas di umur gue sepuluh tahun, gue pikir hidup kami bakal berubah. Ternyata nggak. Gue sama abang gue nggak pernah lepas dari latihan berat yang membuat badan kami setiap hari luka-luka. Udah nyokap gue udah nggak ada, bokap gue pula nganggap gue sebagai boneka untuk dilatih. Sampai dia tewaspun, dia nggak pernah senyum ke gue sama sekali. Lo nggak usah ngomong kasihan sama gue, Lis, karena hidup gue jauh lebih buruk daripada kalian semua digabung jadi satu."

Sepertinya Lisa tidak menduga aku akan kehilangan ketenanganku. "Kalo gitu, nggak ada yang perlu dibicarain lagi," ucapnya dengan nada berbisik.

Aku mundur beberapa langkah dan menggeleng. "Gue nggak pengen ngelukain siapa-siapa, Lis. Gue udah nego sama Jai dan dia bersedia kalau gue berhasil ngebuktiin kalian bersalah dengan cara gue sendiri, dia nggak bakal sentuh siapa-siapa. Meskipun sekarang dia udah ngingkar janji, kita cuma bisa berharap hanya ini yang bakal dia lakuin. Percayalah, kalau Jai sendiri yang turun tangan, bakal banyak korban berjatuhan. Lo sendiri juga seharusnya tahu, kan?"

"Untuk sekarang, lo terpaksa di sini dulu. Gue jamin sama elo, Lis, lo nggak bakal diapa-apain di sini. Tapi sekedar saran, jangan coba-coba kabur. Di sekeliling gubuk ini, Jai udah naruh setidaknya lima anggotanya lengkap dengan senjata api. Kalau lo nggak mau mati lebih cepat daripada yang direncanakan, mending lo tetep di sini aja. Gue janji gue bakal berusaha nyelesain ini semua dalam waktu dua atau tiga hari," tambahku, mengakhiri pembicaraan kami.

Kelihatan sekali Lisa tidak setuju dengan apa yang kukatakan, tapi aku tidak peduli. Toh aku memang tidak berbohong. Di luar sana ada beberapa cowok berpakaian serba hitam yang tampak mengawasi gubuk kecilku ini, dan aku bisa melihat benda berwarna hitam yang mereka sembunyikan di kantong mereka. Orang bodoh pun akan tahu bahwa benda-benda hitam itu adalah pistol. Hanya saja, aku tidak tahu itu pistol apa. Bisa jadi nail gun, pistol kejut, maupun pistol yang isinya peluru beneran. Apapun itu, sebaiknya tidak mengambil resiko. Memang secara fisik aku yakin mampu mengalahkan orang-orang ini, dan aku rasa Lisa juga mampu, tapi bisa kujamin senjata apapun yang mereka bawa, itu lebih cepat daripada serangan tangan dan kaki kami.

Karena itulah, untuk sementara, aku terpaksa menyekap Lisa di gubuk kecilku ini. 

***

Setelah sekian lama tinggal sendiri, rasanya sangat aneh saat ada orang asing yang tinggal satu atap denganku. Lebih aneh pula di saat orang itu adalah temanku sekaligus saingan cintaku, sekaligus teman baik dari orang yang seharusnya kuhancurkan. Aku menyiapkan makan malam untuk kami berdua. Begini-begini, aku masih memperlakukan Lisa selayaknya manusia biasa. Aku membebaskan ikatan pada tangan dan kakinya, memberikan akses baginya untuk ke sana ke mari. Namun, Lisa tidak berusaha kabur, yang kuyakini karena aku mengawasinya dengan pandangan tajam bagai elang. Aku cukup yakin, di saat aku sudah lengah, cewek itu pasti akan berusaha kabur meskipun aku sudah memperingatinya jangan melakukan hal yang aneh-aneh.

Dugaanku terbukti benar. Saat aku sudah tidur malam itu, Lisa menyelinap keluar. Aku tidak menyadarinya sebelum aku mendengar suara orang berkelahi. Aku membuka mata dan menghela nafas. Sudah kuduga ini akan terjadi.

Lisa kabur melalui pintu belakang gubukku itu. Aku menelusuri jejaknya dan menemukannya dalam kondisi tersengat listrik. Sepertinya Jai memberi anak buahnya pistol kejut, dan mereka baru saja menggunakannya pada Lisa. Melihat Lisa yang sedang tidak berdaya, dua preman yang jelek dan kucel itu berniat berbuat macam-macam, bahkan sudah membuka baju segala. Tanpa pikir panjang, aku mengambil rantai besi yang berserakan di atas tanah dan tanpa ragu mencambuk mereka. Kurasa aku mengenai mata salah satu dari mereka, terlihat dari mata cowok mesum itu yang mengalirkan darah. Sepertinya aku sudah membuatnya buta.

Di saat salah satu temannya sudah terluka, preman yang tersisa tadi berusaha melawanku. Aku membuang rantai di tanganku agar gerakku lebih leluasa dan menghajar orang itu sampai wajahnya bengkak. 

"Cukup."

Tiba-tiba aku mendengar suara seorang cowok. Aku menoleh kebelakang dan mendapati cowok yang tempo hari kutemui di kampus itu sedang berdiri di depanku. "Dia ikut kami."

Aku mengernyitkan dahi. "Ikut kalian? Supaya kalian biasa lecehin dia kayak yang dua kecoak ini coba lakuin?"

"Jangan samain gue sama mereka. Gue nggak minat sama target lemah begini," ucapnya, sementara Lisa tampak kesal dikatai target lemah. Namun, dari tatapan Lisa, sepertinya dia mengenal cowok itu. "Gue bakal pastiin mereka nggak nyentuh dia. Lo bisa tenang."

"Atas dasar apa gue percaya sama lo?" tanyaku sangsi.

"Gue nggak butuh lo percaya. Suka nggak suka, dia ikut sama kami."

Aku menggeram dengan kesal. Sudahlah, lebih baik aku biarkan saja. Toh meskipun brengsek, cowok yang di depanku ini masih dibilang punya integritas dan tidak mesum seperti anak-anak preman yang lain. Lagipula, kalau aku menolak, aku pun tidak bisa melakukan apa-apa, karena cowok ini lebih kuat dariku. Ditambah lagi, kalau kami bising-bising di tengah malam begini, bisa-bisa kami menjadi tontonan publik.

Cowok itu menyeret Lisa dengan kasar dan tanpa permisi. Lisa tentu saja memberontak, tapi sama sepertiku, dia tidak berdaya di bawah tangan orang ini. 

"Kalau lo mau dia bebas, tuntaskan pekerjaan lo secepatnya. Lo tahu sikap abang lo sendiri," pesan cowok itu singkat sebelum akhirnya menghilang dari depanku.

Aku menghela nafas. Sial, segala sesuatu ini menjadi semakin rumit. Bagaimana caranya aku bisa mendapatkan bukti bahwa Calvin dan keluarganya bersalah atas apa yang terjadi pada keluarga kami dalam waktu singkat sedangkan aku butuh berbulan-bulan hanya untuk mendekati Calvin? Lagipula, kalau dari cerita Lisa, sebenarnya Calvin dan keluarganya tidak benar-benar bersalah, setidaknya atas tewasnya Ayahku. Apa yang kudengar dari Lisa berbeda dengan apa yang Jai ceritakan padaku. Menurut Jai, ayah Calvin yang bernama Peter yang menembakkan peluru itu ke kepala ayahku dan membuatnya mati di tempat.

Jujur saja, saat ini aku tidak tahu lagi siapa yang benar dan siapa yang salah. Yang aku tahu adalah aku benar-benar capek. Aku ingin semuanya cepat-cepat selesai. 

Tapi bagaimana caranya?

***

Aku bangun dari tempat tidurku beberapa jam berikutnya dengan kondisi yang tidak optimal. Aku hanya bisa tidur mungkin sekitar tiga puluh menit di saat-saat terakhir sebelum akhirnya alarmku berbunyi. Tanpa perlu diberitahupun aku tahu mataku saat ini sedang bengkak dan merah.

Malam ini akan diadakan acara Halloween Night yang sudah membuat heboh kami selama beberapa minggu terakhir, sampai-sampai kami sengaja membeli kostum, kemudian menjualnya kembali saat tahu bahwa kostum itu tidak diperlukan, dan membuat topeng dari dasar untuk dipakai nanti malam. Seharusnya semua orang bersenang-senang malam ini, tapi kurasa aku tidak bisa. 

Dan tentu saja, Lisa juga tidak.

Aku menatap diriku sendiri di cermin retak-retak yang kugantung di dinding kamar mandi. Entah kenapa, hari ini aku sedang tidak mood untuk bekerja. Aku merasa ada sesuatu yang harus aku lakukan daripada hanya diam di kantor. Karena itulah, akhirnya aku menghubungi atasanku untuk ijin sehari.

Aku membuka pintu rumahku. Aku memang sedang tidak ingin ke kantor, tapi bukan berarti aku akan diam di rumah tidak melakukan apapun. Aku akan mencari Jai, untuk memastikan dia tidak melakukan yang macam-macam terhadap Lisa, dan mungkin juga meminta dia memberiku beberapa saran yang memungkinkan untuk menyelesaikan tugasku. Bukan berarti aku tidak berusaha. Selama ini aku sudah berkali-kali mencari kesempatan untuk mendekati keluarga Calvin, tetapi aku tidak ingin membuat mereka menjadi waspada. Namun, dengan ditawannya Lisa di tangan Jai, tugasku ini terasa jauh lebih mendesak dibandingkan sebelumnya.

Aku memesan ojek online untuk mengantariku ke sebuah resort di tepi kota. Tenang saja, aku tidak sedang ingin liburan. Alasan aku ke sana adalah markas Jai ada di komplek belakang resor itu. Di sana ada beberapa baris ruko-ruko yang sudah tidak berpenghuni selama puluhan tahun. Kabarnya dulu tempat ini sangat ramai dan menjadi pusat perjudian bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Namun, sejak pemerintah menutup tempat ini puluhan tahun yang lalu, tidak ada orang yang berniat menempati tempat ini lagi.

Kecuali Jai.

Kurasa kalian tahu markas penjahat seperti apa. Bau, hitam, dan jelek, serta dipenuhi dengan motor-motor yang dimodif sedemikian rupa hingga tersisa rangkanya saja. Jai tidak banyak membersihkan tempat yang dia jadikan markas itu dan hanya melengkapi beberapa kebutuhan dasarnya seperti lemari kecil, kasur, dan benda-benda lainnya. Selain dari itu, dia sama sekali tidak ambil pusing. Mungkin satu-satunya hal canggih yang dia miliki di markasnya itu hanyalah laptop yang dia gunakan sehari-hari untuk mencari informasi. 

Aku mengira aku akan menemui Jai hari itu, tetapi aku salah.

Saat aku tiba di tempat itu, aku tidak menemukan seorang pun. Tidak ada motor-motor milik preman-preman tidak jelas yang biasanya nongkrong di tempat ini, tidak ada cowok yang dini hari tadi ke rumahku, tidak ada Jai, dan tidak ada Lisa. Aku berasumsi bahwa mungkin saja orang-orang ini sedang keluar untuk melakukan sesuatu, tapi setelah kutunggu hampir dua jam, mereka tidak kunjung tiba. Bahkan saat aku mengirim SMS pada mereka pun, tidak ada balasan.

Apa-apaan ini? Kenapa seolah-olah mereka menghilang dari muka bumi? Dimana mereka? Atau pertanyaan yang lebih penting lagi, kemana mereka membawa Lisa? 

Setelah menunggu lama tanpa hasil, aku kembali ke lingkungan komplekku untuk menghampiri rumah yang pernah Jai gunakan saat Calvin mengantarku pulang beberapa waktu yang lalu. Saat aku tiba, pintu rumah itu tertutup, namun tidak terkunci. Aku membukanya tanpa ragu dan kaget saat melihat rumah itu bersih mengkilap, seperti akan menyambut calon pembeli baru. Tidak ada jejak bahwa rumah ini pernah ditinggali oleh segerombolan preman. Aku mencari ke lantai duanya dan juga tidak menemukan apa-apa.

Sial. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?