Hai guys, selama di Rumah aja, kalian ngapain aja nih? Baca wattpad? Nulis di wattpad? Atau baca chat?😁
Semoga pandemik covid-19 ini segera berakhir ya, biar cepet masuk ngampus lagi. Terus cepet wisuda😁 Aamiin
o o o
Gedung rumah sakit menjulang tinggi di hadapan Johan, ini adalah kali pertama dia datang ke rumah sakit yang sangat ia benci. Tentang jarum suntik, tentang obat, lalu tentang dokter yang sudah membuat dia benci masuk rumah sakit. Hari ini, ia terpaksa harus ke rumah sakit, itupun atas dasar perintah Omanya. Kalau dia tidak disuruh Oma, sudah pasti kakinya itu tidak akan mau menginjak rumah sakit.
Johan mengatakan pada pak satpam kalau dia akan bertemu kakaknya, dan dia mengatakan kalau kakaknya itu sedang bertugas dengan salah satu pasien yang kakaknya benci.
Seperti biasa juga, Johan mengenakan masker agar orang lain tidak mengenalnya. Saat tiba di ruangan sang kakak, Johan masuk tanpa mengetuk pintu. Di dalam ruangan tidak ada siapapun. Teman kakaknya juga tidak ada, biasanya mereka akan selalu berdua kemanapun mereka pergi.
Johan melemparkan tasnya di sofa. Kakinya melangkah ke arah kursi yang selalu dipakai kakaknya, dia duduk, kakinya diangkat ke atas meja. Tangannya merogoh ponsel di saku celana, lalu membuka aplikasi games online yang baru ia install di sekolah. Orang kaya seperti Johan tidak selalu harus mengandalkan kuota, kalau ada Wi-Fi gratis, pasti ia akan gunakan.
Pintu dibuka, ada Aji di sana, di belakangnya Seno membuntuti. Aji menggelengkan kepala, bocah itu datang ke rumah sakit setelah Omanya menyuruh, kalau dia yang menyuruh tidak akan mau dia datang.
"Kapan dateng, dek?" Seno meraih kaki Johan di atas meja kerja Aji.
Johan mencebik, tangannya masih lihai bermain di atas layar ponsel. Kakinya sudah turun ke bawah juga. Masih asik bermain, Aji malah mengambil ponsel adiknya itu dengan paksa.
"Lo mau operasi?" tanya Aji to the point. Johan mengernyitkan dahi, dia kesini hanya untuk menjemput kakaknya, malam ini mereka ada acara keluarga.
"Lho. Gue gak mau operasi plastik kok! Enak aja! Emang gue oppa-oppa Korea apa!?"
Johan buru-buru berdiri, takut kalau kakaknya itu akan memaksa Johan operasi, dia takut kalau akan disuntik. Aji sendiri tidak paham dengan adiknya yang sangat betah dengan puluhan jerawat di wajah. Padahal dia sangat ingin merawat wajah Johan, kalau dilihat-lihat Johan dan dia memang tidak jauh berbeda, mereka sama-sama tampan. Cuma, Johan berjerawat, sedangkan Aji terawat.
"Ji! Gue pulang ya, udah sore, gak ada pasien juga hari ini."
"Iya Sen, hati-hati. Besok lo gak usah dateng," ucap Aji.
"Iyalah gue juga tahu kali! Besok giliran gue libur, lo yang kerja."
"Hafal ya lo sama libur!"
Seno tertawa, selanjutnya mengambil tas di lemari. Dia berpamitan pada Aji dan Johan yang saling bertatapan mata.
"Kalian, kalau mau tatapan mata, jangan di sini, nyari tempat romantis kali!"
Mengerjapkan mata, Aji dan Johan saling membuang muka. Seno meninggalkan mereka berdua di ruangan. Aji merangkul bahu Johan akrab, adiknya selalu bersikap dingin padanya, padahal Aji tidak punya salah apapun.
"Lepasin tangan lo kak!"
"Gak mau! Btw, lo mau direhab wajahnya?"
"Ogah!"
"Padahal ... kalo dilihat-lihat." Aji memerhatikan wajah Johan lekat. "Lo ganteng loh, cuma jerawat lo aja tuh!"
Johan berdecak sinis. "Males gue! Ntar kaya oppa-oppa Korea lagi. Oh iya, opah nyuruh gue kesini mau apa sih?"
"Kita disuruh ke tokonya. Yuk!"
"Gue ada tugas kelompok hari ini. Gue lupa astagaaaa!" Johan menepuk keningnya. Baru ingat kalau punya tugas kelompok. Kenapa dia malah lupa.
Johan bergegas mengambil tas di meja Aji. Ponselnya ia tempelkan ke telinga saat Dika menelpon di waktu yang tepat. Keluar dari ruangan Aji, Johan tidak menghiraukan kakaknya saat memanggil dengan suara yang keras. Para perawat yang lewat juga saling memandang mereka.
"Dasar bocah! Awas aja lo Jo! Gue bakalan rehab muka lo tuh! Biar punya pacar!"
Motor merah ditunggangi Johan. Tangannya menarik pedal gas, Dika bilang, mereka akan mengerjakan tugas di rumah Elda. Johan sendiri tidak tahu di mana rumah Elda berada. Merutuki diri sendiri, Johan tetap menarik pedal gas motornya. Semoga saja dia bisa bertemu dengan Elda.
Tiba di depan sekolah. Johan celingukan mencari seseorang. Dan beruntung saat ini, ternyata Elda baru saja keluar dari sekolah. Elda memang salah satu anak tata boga, itulah kenapa sekarang Elda baru pulang sekolah.
Elda menuntun sepeda ontel miliknya menuju gerbang. Sama seperti kemarin-kemarin pula, sepeda miliknya terletak di pojokan. Elda sendiri masih kesal. Entah kelakuan siapa yang sudah memindahkan sepedanya itu.
"Hei," panggil Johan. Elda menoleh sebentar.
"Lo? Panggil gue?" tanya Elda. Telunjuk Elda menunjuk dirinya. Bermaksud untuk bertanya kalau Johan memanggilnya. Pasalnya, Elda punya nama, dan dia tidak ingin hanya dipanggil 'hei' seperti insiden di kelas kemarin.
"Hm." Johan bergumam. Tangannya melepas helm full face, cahaya mentari langsung menjemur jerawat Johan yang sudah masak. Elda geregetan melihatnya. Kalau saja dia akrab dengan Johan, dia akan menusuk jerawat itu.
"Kenapa?" tanya Elda.
"Kata Dika hari ini ngerjain tugas kelompok. Di rumah lo."
"Hah? Di rumah gue?"
"Hm."
"Kenapa di rumah gue coba? Gue hari ini mau kerja lagian. Kalo mau pas libur aja hari Minggu. Gue bisa kok, sekarang gue gak bisa."
"Tapi gue maunya sekarang!" Johan berkata lagi, tidak ingin Elda membantah ucapannya.
"Johaaaaan! Gue gak bisa sekarang! Coba lo telepon Dika lagi."
"Ogah!"
"Lo kok nyebelin?" Elda menatap mata Johan. Bukan menatap jatuh cinta, tapi menatap penuh kekesalan. Johan juga sama, dia menatap mata Elda.
Dalam hitungan ke lima detik. Johan langsung memutuskan kontak matanya, ada sengatan listrik yang mengalir begitu saja dalam dadanya. Menyalurkan kegelian di dalam perut. Johan tidak tahu, kenapa dia malah merasakan itu saat menatap mata Elda yang bening.
Elda melipat kedua tangannya di depan dada, dagunya ia naikan ke atas. Sepeda ontelnya ia tunggangi. Johan lantas memegang tangan Elda saat kaki Elda akan mengayuh sepeda.
"Pliss ... gue, ng ...." Johan menyadari sesuatu, tangannya ia lepaskan dari pergelangan tangan Elda. Geli, dalam kamusnya tidak ada yang namanya menyentuh perempuan. Johan menggaruk tengkuknya. Elda mengerutkan keningnya dalam. Baru kali ini, dia menemukan spesies cowok seperti Johan.
"Emang lo kerja di mana? Kalo gitu kita ngerjain di sana aja!" usul Johan.
Elda tampak berpikir sejenak. Menimbang apakah akan nyaman mengerjakan kelompok di toko roti Bu Haji. Tapi, bagaimana kalau Bu Haji tidak mengizinkan mereka? Ah, Elda pusing memikirkannya juga.
Elda menganggukkan kepalanya, dia akan mencoba dulu, semoga Bu Haji akan memberikan izin. Selama bekerja di toko Bu Haji juga, dia tidak pernah meminta izin mengerjakan tugas sekolah, pasti sekarang Bu Haji akan mengizinkan.
"Lo taruh sepeda di sini aja. Naik motor gue."
"Hah?"
"Lo loading amat sih El! Nanti, besok gue susul ke rumah lo kalo sekolah!"
"Apa?"
Johan menutup mulutnya, kenapa dia malah mengucapkan itu kepada Elda? Johan menggeleng, tapi Elda buru-buru mengangguk senang.
"Beneran? Kalo gitu gue 'kan gak bakal capek lagi bawa sepeda. Ya udah, gue bawa sepedanya dulu ke sekolah. Tapi ... gimana kalo ada yang nyuri sepeda gue?"
"Sepeda butut kaya gitu, mana ada yang mau coba?" gumam Johan, suaranya nyaris tidak terdengar.
"Apa lo bilang?" tanya Elda. Matanya menatap Johan tajam.