webnovel

Bab 11 AURA MENCEKAM

Wajah Agoes menampilkan expresi senang setelah keluar dari portal, dia menatap kearah Siluman Harimau Putih yang sedang berlutut di depannya.

Kemudian setelah menyapanya, Agoes pergi meninggalkan gua Siluman puncak gunung Maha Meru. Tubuhnya berkelebat tanpa menghiraukan Siluman Harimau lagi, matanya memandang jauh ke depan menembus hujan badai yang sedang turun membasahi puncak gunung.

Bayangannya sama sekali tidak terlihat oleh pandangan manusia awam, dia terus berlari di atas pucuk pohon purba setinggi ratusan meter.

Di kejauhan cahaya lampu berkerlipan di tengah derasnya hujan badai, dia terus berlari menuju kota yang terlihat sangat padat terlihat dari atas puncak gunung.

Agoes memang sengaja tidak mendatangi kota yang ada di lereng gunung Maha Meru, akan tetapi malah menuju kota yang lebih jauh lagi.

Meskipun dia sama sekali belum pernah berkomunikasi dengan manusia lain selain ibunya, akan tetapi karena di tubuhnya mewarisi ingatan dan kekuatan Dewa Petir maka bukanlah halangan baginya untuk mendatangi ras manusia.

Usia bagi Agoes bukanlah sebuah kekurangannya dengan mewarisi ingatan Dewa Petir. Meskipun usianya baru lima tahun di alam fana sejak dia terlahir dari perut ibunya, kedewasaannya sekarang mengkuti postur tubuhnya yang sesuai dengan usia anak muda berumur dua puluh tahun.

Hujan masih turun dengan sangat derasnya di negara Mandiraja. Sesosok tubuh muncul di emperan sebuah bangunan koson yang nampak gelap tanpa seberkas cahayapun yang meneranginya.

"Oooo... ini dunia manusia tempat ibuku berada," gumam Agoes setelah sampai di bangunan kosong.

Baju putih yang di pakainya berkibar tertiup angin serta nampak basah oleh air hujan. Pandangan matanya menembus ke dalam dinding rumah kosong di depannya, sekali dorong pintu yang terkunci langsung terbuka.

Brak...!

Kemudian Agoes duduk bersila di ruang tamu yang nampak kotor dan berdebu. Akan tetapi sebelum dia duduk bersila untuk istirahat, dia menyapukan tangannya ke seluruh ruangan di depannya.

Wushhh...

Berhembus angin yang cukup kencang keluar dari telapak tangannya dan menyapu lantai dan seluruh ruangan. Debu yang beterbangan kemudian di bakar dengan energi panas yang juga keluar dari tangannya sehingga debu dan sampah menghilang menjadi gas dan menguap ke langit.

Malam ini dia beristirahat di dalam rumah kosong ini sambil duduk bersila, meskipun tidak tidur dan hanya dengan duduk bersila mengendorkan seluruh syaraf di tubuhnya saja, efeknya lebih hebat dari sekedar tidur.

Bagi Agoes sebagai titisan Dewa Petir, tidur bukanlah sebuah kebutuhan sehingga sifat pembawaannya sebagai manusia juga ikut berkurang dengan sendirinya.

Keesokan paginya, seiring dengan munculnya sang surya dan cahaya matahari baru saja muncul di ufuk timur, Agoes sudah terbangun dan keluar dari rumah kosong.

Jalanan kota Rejasa tempat dia singgah saat ini masih cukup sepi dari lalu lalang manusia. Akan tetapi setelah berjalan keluar dari komplek rumah kosong, ternyata di jalan yang lain terlihat suasana yang sangat berbeda.

Di jalan ini banyak manusia yang sudah beraktifitas, deru kendaraan bermontor memadati sepanjang jalan yang dia lewati membuat Agoes menjadi terkagum-kagum.

Baru kali ini dia melihat kendaraan bermotor dari berbagai jenis dan beraneka macam warnanya. Ke kaguman Agoes sebenarnya sangatlah wajar, karena di alam para Dewa tidak ada satupun kendaraan modern.

Di alam Dewa tak ada kendaraan bermesin, para Dewa bepergian dengan kekautan kultivasinya. Sedangkan kendaraan yang ada di alam Dewa adalah binatang spiritual seperti Unicorn atau kuda bertanduk, Harimau, Naga, Garuda, Phoenik dan yang lainnya.

"Ini apa bu?"

Agoes bertanya ke seorang wanita pedagang makanan kecil yang ada di pinggir jalan sambil menunjuk kue yang sedang di goreng.

"Ini namanya tempe goreng."

"Tempe goreng? Rasanya bagaimana, apa enak?"

Pedagang kue tradisional ini tidak langsung menjawab pertanyaannya, dia malah menatap ke arah Agoes dengan pandangan aneh. Bagaimana tidak aneh, siapa orangnya yang tidak tahu makanan tradisional seperti tempe goreng.

"Enak, enak tentu saja enak. Kamu mau mencoba rasanya?"

"Boleh, minta satu bu."

"Mau Tempe goreng kering atau Tempe Mendoan," sahut ibu pedagang jajan tradisional sambil membalik tempe yang sedang di goreng di atas minyak yang mendidih.

Lagi-lagi Agoes kebingungan menentukan pilihan yang di tawarkan pemilik warung. Dia semakin penasaran dengan tempe goreng yang terlihat sangat enak di depannya.

"Boleh saya cicipi satu bu?"

"Boleh-boleh..." sahut pemilik warung dengan ramah.

Saat pemilik warung mau mengambil tempe goreng yang ada di dalam minyak mendidih dengan sendok penggorengan, dia sudah keduluan oleh Agoes.

Mata pemilik warung nampak terbelalak penuh dengan rasa terkejut, karena Agoes mengambil tempe yang sedang di goreng di minyak mendidih dengan mengambilnya begitu saja.

Tangan Agoes juga di penuhi minyak panas, membuat pemilik warung ketakutan. Bagaimana pemilik warung tidak terkejut dan ketakutan, siapapun orangnya yang memasukkan tangan ke dalam minyak mendidih dapat di pastikan akan melepuh kulitnya.

Nampaknya ke khawatiran pemilik warung sama sekali tidak beralasan, karena orang yang dia khawatirkan sama sekali tidak merasa kepanasan dan melepuh kulit tangannya.

Agoes langsung melahap tempe goreng yang ada di tangannya, kedua matanya nampak terpejam merasakan nikmatnya makanan yang begitu lezat. Baru pertama kali dia makan makanan seenak ini sejak di lahirkan ke alam fana.

Tempe goreng ini merupakan makanan kedua yang dia makan setelah terlahir, makanan pertama yang dia makan adalah buah Mangga Harum Manis lima tahun yang lalu.

Melihat Agoes begitu menikmati tempe goreng yang dia buat membuat pemilik warung nampak tersenyum senang. Di keheranan melihat sikap Agoes, dalam hati dia berpikir bagaimana mungkin ada orang asli negara Mandiraja belum pernah makan tempe goreng.

"Enak-enak, sangat enak bu. Saya boleh makan lagi?"

"Ya.. ya silahkan."

Pemilik warung langsung menyodorkan tempe goreng yang sudah dia angkat dari wajan penggorengan. Dia cukup takut saat tadi Agoes mengambil begitu saja tempe goreng yang masih di atas minyak mendidih.

Dalam sekejap sepuluh tempe goreng sudah masuk kedalam perutnya, akan tetapi dia masih merasa lapar. Matanya menatap cabe berwarna hijau yang ada di pinggir tempat menaruh tempe goreng, rasa penasarannya membuat Agoes bertanya dengan keheranan sambil mengambil cabe hijau di depannya.

"Ini makanan apa bu?"

"Itu Cabe Rawit."

"Cabe Rawit? Apa untuk di makan?"

"Ha ha ha ha... Om ini seperti bukan orang negara Mandiraja saja, Cabe Rawit saja tidak tahu?"

Agoes malah di tertawain ibu pemilik warung jajan tradisional, tentu saja bagi orang asli Mandiraja makanan seperti tempe Mendoan dan Cabe Rawit adalah makanan khas dan memang pasangannya.

Ibarat nasi tanpa garam, makan tempe mendoan tanpa cabe rawit atau sambal rasanya pastilah kurang nendang.

Brakkk....!!

Saat Agoes dan pemilik warung sedang berkelakar, tiba-tiba tak jauh dari mereka terdengar suara benturan yang sangat keras.

....