webnovel

Tuhan, Tolong Selamatkan Dia!

Aarun keluar dari kamar mandi sekitar jam tujuh pagi, ia masih terlihat mengeringkan rambutnya dengan handuk putih "Selamat pagi ibu," sapanya dengan senyuman sumringah.

Riany yang sedang menyiapkan sarapan juga membalas senyuman anaknya "Pagi, ayo sarapan dulu Aarun," ajak ibunya.

Ayahnya datang dari dalam kamar, ia juga baru saja selesai berpakaian untuk bekerja pada hari cerah ini, sedangkan kakaknya sudah sedari tadi duduk di meja makan menunggu mereka makan bersama.

Bukannya ikut bergabung, Aarun malah menatap keluarga itu dengan sendu "Hei, ada apa denganmu, ayo kita sarapan aku sudah lapar dasar bodoh," kesal Arin tapi sambil cengar-cengir.

Perlahan bayangan itu hilang seperti debu yang berterbangan, kenangan hanyalah kenangan, kita tidak mungkin terus berjalan kebelakang karena waktu akan terus berjalan kedepan.

Aarun tidak pernah menyangka keluarga kecilnya akan berubah menjadi berantakan seperti sebuah cermin yang utuh terpecah karena ada satu batu yang memecahkannya.

Meja makan dimana tempat mereka selalu tertawa itu kini terlihat kosong lagi. Ia menghela napasnya lalu kembali masuk ke kamarnya untuk bergegas ke sekolah.

"Aarun!" suara yang begitu ia kenal tiba-tiba saja terdengar, siapa lagi kalau bukan sobat karibnya Ardo.

"Oh Aarun!" teriaknya lagi sambil mengetuk pintu dengan keras, sungguh tidak ada kesopanan.

Kali ini Ardo harus memastikan Aarun pergi ke sekolah setelah kemarin dia absen tanpa keterangan apapun, tidak usah menunggu lama pintu itu langsung terbuka.

Ardo menatap siapa yang membukakannya pintu, ia seketika gagap seakan lupa caranya berbicara "Oh nak Ardo, silahkan masuk," kata Riany santai.

"Tidak usah tante, emm apa Aarunnya ada?" Tanya Ardo.

"Run... Aarun!" Panggil Riany, baru saja perempuan itu ingin masuk untuk memanggil anaknya tapi ternyata Aarun sudah ada di belakangnya.

"Ibu, Aarun berangkat dulu," pamitnya tanpa melihat wajah ibunya, ia langsung berjalan ke depan bahkan ia mendahului Ardo.

Ardo juga pamit pada ibu Aarun lalu menyusul Aarun dengan berlari pelan.

Kini mereka telah sampai di halte bus seperti biasa, mereka masih menunggu bus sekolah untuk menjemput mereka. Aarun melipat tangannya sambil menatap tajam Ardo "Aku tahu, kau singgah di rumah untuk memastikan aku ke sekolah, iya kan?" tebak Aarun yang memang benar adanya.

Ardo terkekeh pelan "Ya terus kenapa?" tantangnya.

Aarun juga ikut terkekeh, ia mendecih pelan "Cih, kau itu ya memang tidak bisa hidup sehari saja tanpaku, kau selalu saja bergantung seperti monyet pada pohonnya," ejek Aarun.

Ardo tidak terima di bilang monyet "Apa tidak ada contoh lain yang lebih ganteng apa," protesnya.

"Tidak ada, itu sudah sangat pas untukmu," ejeknya.

"Apa kau buta, aku itu seekor harimau," bela Ardo pada dirinya sendiri.

Aarun hanya tertawa pelan "Terserah kau Tuan Harimau," ucapnya mengalah.

Mereka berdua kembali terdiam melihat aktifitas orang-orang di hari yang sibuk ini, beberapa orang berjalan kaki untuk pergi bekerja dan beberapa orang juga ada yang naik bus.

"Aku baru ingat sesuatu," kata Ardo tiba-tiba.

Aarun melirik sahabatnya tersebut "Apa?" tanyanya

"Kemarin saat kau tidak masuk, aku bertemu Hannah-," entah sejak kapan bus yang mereka tunggu sudah ada di depan mata, Ardo tidak melanjutkan ucapannya karena mereka harus menaiki bus.

Aarun yang sudah mulai deg-degan, mencoba mengikuti Ardo dari belakang dan duduk ditempat biasanya kedua pria itu duduk yaitu kursi paling belakang bus tersebut.

"Dia menanyakanmu."

Degupan jantung Aarun semakin menjadi-jadi, ia ragu dan gengsi bertanya pada Ardo bahwa apa yang Hannah tanyakan tapi ia sudah sangat penasaran.

"A-apa yang dia katakan?"

Ardo berpikir sebentar guna mengingat kejadian kemarin "Dia bilang-,"

Tiba-tiba saja bus berhenti secara paksa membuat penumpang di bus tersebut harus menahan dirinya agar tidak jatuh, mereka semua terlihat kaget setelah mendengar ledakan yang sangat besar tepat di depan bus tersebut.

"Apa yang sedang terjadi?" Kata beberapa penumpang.

Semua orang jadi panik termasuk Ardo dan Aarun "Ada kecelakaan di depan kita," kata supir tersebut pada mereka.

Semua orang langsung berusaha melihat kecelakaan yang ternyata melibatkan dua mobil dengan arah berbeda di depan tiang lampu merah yang kini sudah ikut rusak akibat kecelakaan tersebut.

Jalanan itu terpaksa menjadi macet total membuat penumpan yang punya keperluan penting harus bersabar karena kecelakaan tersebut.

Aarun melihat di depan sana sudah banyak orang yang mulai berkumpul guna melihat korban kecelakaan, ada juga seorang bapak yang umurnya sekitaran 40 tahun sedang menelpon ambulance dan juga polisi.

"Jangan ada yang keluar dari bus untuk melihat-lihat karena nanti akan menghambat saja," ucap seorang pria tua di bus tersebut.

Ardo juga ikut memperhatikan suasana, ia melirik jam yang sudah nenunjukkan pukul delapan pagi itu artinya bell telah berbunyi dan mereka sudah pasti terlambat ke sekolah.

Ardo kembali melihat di tempat lain tapi fokusnya malah teralihkan pada dua gadis yang sedang berlari panik, Ardo sangat mengenal kedua gadis itu yang sering ia temui akhir-akhir ini.

Ardo menarik-narik pelan seragam sekolah Aarun sambil tidak beralih melihat kemana kedua gadis itu mau pergi.

"Aarun!" panggilnya tapi Aarun terlalu fokus memperhatikan kecelakaan.

"Aarun!" panggilnya sekali lagi.

"Ada apa?" sadar Aarun setelah mendengar panggilan Ardo.

Ardo menunjuk dua gadis yang ia lihat "Itu, sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada mereka." Aarun melihat siapa yang ia tunjuk.

Matanya membulat dan tanpa basa-basi pria itu langsung keluar dari bus tersebut dengan cepat, mau tidak mau Ardo juga mengikuti Aarun dari belakang.

"Hei kalian jangan keluar!" teriak supir namun tidak dihiraukan.

Setelah mereka menginjakkan kaki di aspal itu, mata mereka memperhatikan dimana kedua gadis itu berlari, betapa kagetnya Aarun setelah melihat seorang gadis yang sangat ia kenal sedang terbaring didekat lokasi kecelakaan.

Eugene dan Linzy telah sampai disana duluan, Aarun dan Ardo pun berlari dengan kencang setelah mengetahui siapa yang terbaring disana. Ya siapa lagi kalau bukan Hannah.

"Tidak, itu tidak boleh terjadi," batin Aarun ketakutan.

Karena lokasi dimana bus berhenti sekitaran 200 meter dari area kecelakaan, kedua pria itu harus berlari melewati mobil-mobil lainnya yang juga kena macet.

Aarun begitu panik setelah mengetahui itu Hannah, pikiran-pikiran buruk langsung menghantui pikirannya, mereka bahkan belum terlalu dekat dan Aarun belum mengutarakan perasaannya, ia tidak ingin kehilangan Hannah, hanya gadis itu lah penyemangatnya untuk sekarang.

Betapa jahatnya Tuhan jika Hannah juga harus di ambil olehnya, selama ini tempat berdirinya hanyalah keluarga tapi keluarganya telah retak hingga membuatnya terjatuh ke lubang gelap, hanya seorang Hannah yang lembut dan berhasil membuatnya jatuh cinta dan hanya Hannah yang menjadi cahaya di kegelapan tersebut.

"Tolong Tuhan, jangan lakukan itu padaku, kumohon."