webnovel

Semua Sudah Selesai

Ketiga gadis itu berjalan dengan raut wajah riang, hari ini mereka mendapatkan uang yang bisa di bilang cukup untuk dua atau tiga hari kedepan, dan yang lebih membahagiakannya akhirnya uang yang Eugene kumpulkan untuk membeli tamborin yang ia impikan sedari lama.

Sambil jalan ia menatap tamborin lamanya yang sudah rusak parah, baginya tamborin itu adalah teman yang terus menemaninya dalam suka dan duga berjuang untuk mencari rezeki, ia sangat menyayangi tamborin rusak tersebut "Besok-besok kau boleh istirahat ya," gumamnya lembut.

"Kau bicara dengan tamborin lagi Eugene," tegur Hannah.

"Aku sedih harus menggantikannya tapi aku juga senang bisa beli yang baru haha," jawab Eugene sambil tertawa kecil.

"Simpan saja tamborin lamamu di rumah," sahut Linzy.

"Iyalah, mana mungkin aku membuangnya," ucap Eugene dengan cepat seraya menyenggol lengan Linzy pelan.

Hannah jadi teringat serial kartun kesukaannya Spongebob Squarepants, waktu kecil saat ayah dan ibu angkat mereka masih hidup, Hannah sering sekali menonton serial kartun tersebut tapi sekarang ia tidak bisa menontonnya lagi ketika ia harus berjuang untuk hidupnya bersama adik-adiknya tanpa orang tua lagi.

"Hei Eugene kau ingat serial Spongebob episode spatula itu?" tanya Hannah.

Eugene berpikir sejenak "Spatula yang di bawa ke rumah sakit itu?" ragunya.

Linzy menjentikkan jarinya ketika ia baru saja mengingat episode tersebut "Ah, aku ingat, Spongebob yang patah spatulanya kemudian ia berniat menggantikannya dengan spatula yang bagus dan moderen tapi malah spatula itu hidup dan tidak mau membalikkan krabby patty hahaha." Linzy tidak bisa menahan tawanya.

"Kemudian Spongebob menyesal karena sempat berniat menggantikan spatula lamanya yang setia padanya, kasihan," lanjut Hannah.

Eugene memanyumkan bibirnya, setelah mengingat episode itu ia malah jadi takut sendiri "Hei kalian, jangan menggodaku, kalau begini kan aku jadi ragu lagi," kesalnya.

"Semua kilauan itu bukanlah emas," kata Linzy mencoba menirukan suara Spongebob serta melihat ke arah Eugene.

"Ahhh... Aku kesal padamu Linzy," teriak Eugene mencoba memukul-mukul Linzy namun gadis berkulit sawo matang itu malah terus menghindar hingga akhirya Eugene mengejarnya.

Saat Eugene dan Linzy asyik saling berlarian, Hannah mempercepat langkahnya karena ketinggalan "Hei tunggu aku," ucapnya berlari-lari kecil.

Dari kejauhan Hannah melihat tempat yang dulunya hampir membuatnya masuk ke rumah sakit, disana lampu merah yang saat itu rusak karena tertabrak mobil masih terbengkalai sampai sekarang, belum ada pihak dari pemerintahan yang memperbaikinya.

Hannah masih berlari kecil mengejar kedua adiknya yang rupanya tidak menghiraukan dirinya yang sedari tadi memanggil mereka, Hannah melihat tempat berdirinya sosok Aarun yang kembali menghantuinya, ia sampai sekarang belum lagi bertemu pemuda itu.

Mungkin cuma dia saja yang berpikir aneh tentang Aarun yang kemarin, tapi kenapa itu benar-benar mengganggu dirinya.

"Kak Hannah kemarilah." Ternyata Linzy dan Eugene telah menunggunya untuk masuk ke dalam toko alat musik tersebut. Ia cepat-cepat berlari menuju kearah mereka.

****

"Kau terlihat berbeda dari biasanya? Oh tidak, tapi kau kembali menjadi Aarun yang ku kenal dulu." Tatap Ardo menyelidik dengan mata sipitnya.

Aarun yang merasa terganggu malah memukul jidat Ardo agar sahabatnya itu menjauh darinya "Memangnya aku bagaimana yang menurutmu seperti biasanya itu?" tanya Aarun lebih menekankan kata diakhir kalimatnya.

Ardo berpikir dan masih menatap Aarun dengan seksama "Aarun yang biasanya aku kenal itu ceria seperti ini," jawabnya.

"Lalu Aarun yang seperti kemarin itu seperti," Ardo menjeda ucapannya.

"Seperti?" kini Aarun juga menatap Ardo, guru belum datang jadi mereka masih bisa saling berbicara.

"Seperti muak akan segala hal, seperti itulah," jawab Ardo jujur, ya karena masalah keluarga Aarun yang tidak pernah terbayangkan itu, Aarun menjadi sosok yang sedikit berbeda, ia menjadi sosok yang keras meski sebenarnya ia memang sudah keras dari dulu tapi ini lebih keras lagi, Aarun juga jadi sosok

yang sering memukul orang itu belum pernah terjadi sebelumnya.

"Ya, kau tahukan karena masalah ini aku menjadi sedikit sensitif." Ardo mengangguk mengerti dengan alasan Aarun.

"Aku paham sekali tapi, aku ingin kau seperti sekarang ini setiap harinya," jujur Ardo.

Aarun tertawa "Tapi memangnya aku kenapa hari ini haha?"

"Kau mau membuatku mengulangi perkataanku lagi Run, ku bilang, kau lebih terlihat bahagia sekarang," katanya memperjelas kalimatnya.

Aarun mengangguk beberapa kali, ia tersenyum "Ya, kau benar," ucapnya.

Tiba-tiba saja suara tawa yang cukup besar membuat kedua pria itu menengok ke sumber suara, disamping mereka Kevin tertawa besar sambil memukul mejanya, sepertinya ia tertawa karena mendengar perbincangan Aarun dan Ardo "Hei, bukan cuma kau yang ada dikelas ini," tegur Aarun.

"Aarun si paling ceria haha," ejeknya lagi.

"ceria dari mananya hahaha," lanjutnya makin tertawa lebih keras, Ardo sampai berharap ada lalat yang masuk di mulut besar Kevin itu.

Semua murid memperhatikan mereka Kevin yang tertawa "Dimana lucunya dasar bodoh," gumam Ardo.

Aarun memalingkan wajahnya, ia sedang tidak ingin membuat kekacauan hari ini "Biarkan saja," katanya.

Ketua kelas datang dengan terburu-buru, ia berdiri di depan kelas, Kevin yang awalnya masih berlanjut mengejek Aarun dan Ardo kini terdiam setelah di tegur oleh ketua kelas "Pak Huta menunggu kita di lapangan, cepat ganti seragam kalian dengan baju oleh raga," jelasnya.

Semua anak-anak murid bergegas mengganti seragamnya, yang perempuan pergi mengganti di ruang ganti, sedangkan yang laki-laki hanya mengganti seragamnya di kelas saja.

Kini Ardo dan Aarun berjalan keluar kelas dengan pakaian olah raga berwarna medium blue, tak lupa sepatu olah raga merek adidas yang mereka punya.

Aarun sangat suka berolah raga apalagi sepak bola, ia ingat sekali sewaktu kecil ia suka pemain bola dari Brazil bernama Ricardo Kaka tapi sekarang Kaka sudah pensiun. Impiannya menjadi pemain sepak bola sudah berakhir karena umurnya sudah tidak terlambat untuk belajar, ia juga merasa tidak pandai bermain bola, ia lebih pandai bergulat dengan orang-orang yang sering membuat masalah dengannya, Aarun tertawa kecil karena pikirannya sendiri.

Mereka melewati koridor sekolah lalu menuruni tangga kemudian berjalan menuju lapangan sekolah, dari kejauhan saja lapangan itu sudah ramai, sepertinya bukan cuma kelas mereka yang berolah raga.

Mata Aarun menangkap sosok pemuda yang lebih tinggi darinya sedang bermain bola dengan teman-teman dari kelasnya, itu Ian Joshua pemuda yang menolong Hannah dan berhasil membuat Aarun cemburu.

Ia ingat sekali perhatian-perhatian yang di berikan Hannah pada Ian, rasanya jika melihat pria itu ia kembali merasakan api cemburu.

"Sepertinya olah raga kali ini di gabung dengan kelas lain," kata Ardo membuyarkan lamunan Aarun.

"Ya, kau benar," jawabnya singkat.

"Ayo kita kesana," ajak Ardo mulai berlari kecil di ikuti Aarun di belakangnya.

Tapi baru beberapa langkah Aarun terjatuh akibat seseorang yang menabraknya, beberapa barang terjatuh ke lantai, Aarun tidak sengaja melihat barang yang jatuh tersebut.

Ada rokok dan obat berbentuk bulat berwarna-warni, obat itu merupakan ekstasi atau dalam medis di kenal sebagai Metilendioksimrtamfetamina, Aarun mengerutkan alisnya saat pria yang menabraknya dengan gesit memungut semua barang itu.

"Syuuuttt jangan mengadu pada guru!" kata pria bernama Edgard tersebut.

"Memangnya itu obat apa?" tanya Aarun seraya berdiri.

Edgard ikut berdiri sambil memasukkan barang itu pada bungkusan seragam putihnya, ia sedikit kaget saat mengetahui Aarun tak tahu benda apa itu.

Ia membisikkan sesuatu pada Aarun "Hanya obat sederhana, jika kau coba kau pasti ketagihan."

Aarun tentu tidak bodoh, ia pernah dengar atau menonton TV "Seperti obat penenang?"

Edgard terkekeh pelan, karena jawaban Aarun tidak sesuai, ia terus-terus mendekat pada Aarun "Kau tak perlu tahu, nanti juga kau mengerti," ucap Edgard sedikit berbisik lalu tanpa berbicara lagi pria itu berlari masuk ke dalam toilet.

Aarun menatap punggung Edgard, ia berpikir sesuatu tentang pria yang baru saja ia temui, pria yang sering kedapatan bolos dengan dirinya, tapi Edgard sepertinya punya sisi lain yang mungkin Aarun tak ketahui.