webnovel

Rooftop

"Dimana adik-adikmu?" tanya Aarun tanpa melihat Hannah.

"Linzy sedang demam makanya Eugene menemaninya dirumah sedangkan aku pergi mencari uang untuk berobat Linzy," jujur Hannah.

Aarun berhenti berjalan dan menghadap Hannah, Hannah juga refleks berhenti karena sedari tadi memang ia hanya mengikuti Aarun saja "Kau sudah mendapatkan obatnya?"

"Aku sudah mendapatkan uangnya tapi belum membeli obatnya," jawab Hannah.

"Nah kalau begitu kita ke apotek dulu, kebetulan tempat yang ingin ku kunjungi dekat dengan apotek," ujar Aarun kembali berjalan.

Hannah hanya mengangguk pelan, ia kembali mengikuti Aarun dibelakangnya, tak ada lagi pembicaraan setelahnya hingga mereka sampai di depan spanduk besar bertuliskan Priceline Pharmacy.

Mata Hannah menelusuri gedung besar dengan dekorasi unik dengan garis-garis unik berwarna warni di setiap garisnya, Hannah baru mengunjungi tempat itu ia tidak tahu jika ada apotek besar yang dekorasinya unik seperti itu. Setelah mereka membeli obat di apotek tersebut, Aarun mengajak Hannah kebelakang apotek itu ternuata ada bangunan lagi tapi bangunan itu tertutup. Di arah samping bangunan ada sebuah tangga menuju atas, Aarun berhenti disana.

"Kita ke atas?" tanya Hannah tidak yakin menunjuk arah atas bangunan putih itu.

"Ya," jawab Aarun singkat.

Hannah melongo, ia tidak yakin apakah ide Aarun itu benar apalagi ia sedang tidak memakai celana jeans melainkan memakai rok mini berlipat di atas lutut.

"Aku sering kesini, tidak apa-apa aku tidak akan berbuat hal aneh kok," ujar Aarun setelah melihat kekhawatiran diwajah Hannah.

Bukan, bukan itu yang Hannah maksudkan , Hannah melihat roknya lalu merapikannya "Ayo naiklah duluan, aku akan menjagamu dari bawah jadi tidak usah khawatir kau jatuh, tangga ini kuat kok " ucap Aarun yang tidak peka.

"Bukan itu masalahnya Aarun, tapi ini," tunjuk Hannah pada rok mini nya, Aarun yang melihat itu langsung memegangi kepalanya frustasi, ia mendesah pelan "Aku tidak sadar kau pakai rok ternyata."

"Apa tidak ada jalan lain?" tanya Hannah.

"Tidak ada, kecuali naik pesawat terus kita mendarat di rooftop," ujar Aarun sedikit tertawa, Hannah juga ikut tertawa sambil memukul bahu Aarun pelan "Kau ini," ucapnya sedikit gemas pada Aarun.

Setelah percakapan itu,dua muda-mudi tersebut terduduk di pinggiran bangunan kosong, keduanya berteduh diantara bayangan bangunan itu, mereka kembali terdiam, mereka sedang asyik berada pada pikiran masing-masing, tidak ada jalan lain kecuali naik tangga tersebut meski mereka mencari ide sebagai mana pun itu "Aku ingin menunjukkanmu Kota Sydney yang luas, karena kupikir sepertinya kau belum terlalu mengetahui kota ini," kata Aarun membuyarkan lamunan Hannah.

"Ya, aku belum tahu, sebenarnya aku bukan dari Kota Sydney," jujur Hannah.

Aarun kini menatap gadis itu "Lalu kau darimana?"

"Brisbane." Aarun mengangguk pelan "Lalu kenapa kau bisa kesini?" tanya Aarun lagi.

"Nanti ku ceritakan." Hannah berdiri dengan semangat "ah.. pasti indah sekali diatas sana, ayo kita naik," ajak Hannah.

Aarun ikut berdiri dan menatap Hannah ragu "Apa kau serius?" tanyanya.

"Iya, yang penting saat aku naik, kau jangan menghadap ke atas saja."

Aarun berpikir sebentar "Baiklah," setujunya.

Hannah bersiap menaiki tangga itu dan Aarun juga bersiap memegangi tangga itu dari bawa, tapi sebelum naik Hannah kembali memperingati "Jangan mendongak ke atas, awas saja kalau kau coba-coba," ucapnya menunjuk Aarun.

Aarun hanya menanggapinya dengan wajah datarnya. Melihat itu Hannah terkekeh pelan menurutnya wajah Aarun itu tampan tapi lucu.

"Sini gitarmu biar aku yang bawa." Tanpa persetujuan Aarun langsung mengambil gitar yang ada di punggung Hannah.

Hannah mulai memanjat melewati satu persatu anak tangga, ia sangat fokus dan juga deg-degan karena takut jatuh ke bawah "Jangan lihat ke bawah Hannah," gumamnya pada diri sendiri.

Aarun masih memegangi tangga tersebut, ia melihat ke arah lain memperhatikan seorang anak kecil yang sedang di gendong oleh ibunya, anak kecil itu merengek minta di belikan mainan tapi ibunya terus menolak karena ibunya harus membeli obat di apotek tempat Aarun dan Hannah beli tadi.

Aarun ingin menjadi kecil seperti itu lagi, ia hanya ingin bermain dan tidak memikirkan sekolah atau pun masalah keluarga.

"Ahhhhh...!" Suara Hannah menyadarkannya, Aarun langsung mendongakkan kepalanya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi, mengapa gadis itu berteriak.

"Hei!... jangan melihat ke atas, dasar mesus!" Teriak Hannah lagi sambil lemparkan batu kecil yang sebenarnya sudah ia siapkan di kantong jaketnya tadi, was-was jika sampai Aarun melihat ke atas.

"Auuhhh" rintih Aarun sambil memegangi kepalanya yang terkena batu kecil.

"Kau yang berteriak!" kata Aarun membesarkan suaranya.

"Tadi aku kepeleset!" Ucap Hannah.

"Makanya hati-hati!" balas Aarun.

Hannah kembali melanjutkan perjalanannya yang kini telah sampai paling atas, ia berusaha keras untuk mencapai lantai di rooftop tersebut. Sedangkan Aarun mencoba menjauhkan pikiran kotornya di bawa sana.

Dia pakai celana pendek, jadi itu bukan hal yang harus di pikirkan kan, mengapa aku sampai tegang sendiri batin Aarun, ia terus memukul kepalanya seperti orang bodoh, wajahnya sekarang terlihat sudah seperti kepiting rebus.

"Hei Aarun aku sudah sampai!" teriak Hannah diatas sana.

"Begitukah? Jadi aku boleh naik sekarang?" tanya Aarun yang belum juga berani melihat ke atas.

"Tentu, Aku menunggumu diatas sini," ucap Hannah, Aarun memberanikan dirinya untuk mendongakkan kepalanya ke atas, ternyata Hannah sudah menghilang, sepertinya dia sedang takjub melihat pemandangan Sydney.

Itu memang benar, mata coklat Hannah tidak bisa berkedip melihat kota dari atas sana.

Mata Hanna menelusuri indahnya kota dengan bangunan-bangunan megah yang tinggi, tidak jauh dari sana juga kelihatan dengan jelas jembatan Harbour yang sangat besar yang menghubungkan kota Sydney dengan North Sydney, disisi lainnya terdapat gedung opera yang telah terkenal sebagai pusat kota.

"Cantiknya," gumam Hannah.

Hannah tidak menyadari jika Aarun telah berada berdiri disampingnya, Aarun juga sedang menikmati keindahan, tepatnya keindahan wajah dari seorang gadis yang sedang takjud melihat kota.

"Ya, kamu, cantik," gumam Aarun.

Hannah menyelipkan rambutnya yang berterbangan akibat angin, lalu beralih melihat Aarun setelah mendengar suara pria itu.

"Kau bilang apa?"

Aarun menggeleng pelan "Aku tidak bilang apa-apa," dustanya.

Hannah yakin dia mendengar sesuatu, Hannah mendengar jelas ucapan pria di sampingnya itu tapi ia hanya ingin memastikan apakah ia tidak salah dengar, tapi mana mungkin Aarun bilang begitu. Ia kembali menggelengkan kepalanya mencoba menjauhkan pikiran itu.

"Sini, kita duduk disana," ajak Aarun.

Rooftop itu mempunyai pagar dan juga tempat duduk di pinggirnya, kini mereka berdua telah duduk sembari menikmati angin di rooftop tersebut.

Hening, hanya hembusan angin yang terdengar di antara mereka.

"Aku sering kesini dulu," ucap Aarun memecah keheningan.

Hannah menatap Aarun "Dulu ya-"

"Ya, Saat SMP," lanjut Aarun.

"Dengan Ardo?" tanya Hannah.

"Sendiri, Aku mengenal Ardo pas masuk SMA saja," jawab Aarun yang hanya di balas anggukan mengerti dari Hannah.

Hannah melihat wajah Aarun dengan seksama, ia penasaran akan kehidupan Aarun, Aarun yang terlihat sangat baik, tapi sepertinya menyimpan banyak penderitaan.

"Aku ingin tahu soal dirimu?" ucapan tiba-tiba dari Hannah membuat Aarun melihatnya sedikit terkejut.

Mereka saling memandang cukup lama, seolah mata mereka sedang berbicara satu sama lain, Aarun tidak menyangka jika Hannah ternyata cukup tertarik padanya, apakah ia harus menceritakan hidupnya yang berantakan ini?.