webnovel

"KITA. PU-TUS!"

"Biadab kalian!" Suara Jono menggelegar memekakkan telinga.

Membuat semua pengunjung di taman itu menoleh ke arahnya, tak terkecuali Tedy yang spontan melepaskan Jeny dari pelukannya.

"Jon, ini tidak seperti yang kamu bayangkan," jelas Tedy dengan mimik wajah tegang.

Sementara Jono terus melangkah cepat mendekati Tedy penuh amarah. Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras kaku.

Bukk, bukk, bukk!

Tedy seketika tersungkur ke tanah akibat beberapa pukulan yang dilayangkan Jono padanya.

"Hentikan, Jon!" Jeny mencoba melerai perkelahian dua pria itu.

Jono terhenti, menatap tajam wanita di depannya, sinis. "Aku tidak menyangka kau tega mengkhianati aku. Setelah sekian lama kita bersama! Tidak berartikah aku di hatimu, Jen?"

Jeny menggeleng lemah, bingung. Jeny tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan kejadian yang sesungguhnya dengan Jono yang tengah terbakar cemburu.

"Ma--maafkan aku. Tapi sungguh ini tidak seperti yang kau lihat. Kami hanya--."

"Hanya apa, Jen? Hanya bermanja? Iya ...? Tidak cukupkah aku yang selalu memanjakanmu. Hingga dirimu harus menghadirkan DIA ...," teriak Jono dengan suara lantang, sambil menekan kata"DIA".

Tedy yang sudah bangkit, melangkah mendekati Jono. Ia ingin memberikan penjelasan pada Jono, sahabatnya. Perlahan tangannya menyentuh pundak Jono yang bergetar. Berharap lelaki itu mau mendengarkan penjelasannya barang sebentar saja.

"Aku tidak bermaksud seperti itu, Jon. Kami tidak sengaja---." Ucapannya terhenti kala Jono perlahan berbalik dengan tatapan tajam ke arahnya.

Bukk!

Sekali lagi Jono memberikan bogem mentahnya. Membuat lelaki itu kembali terjungkal.

Jono menatap Tedy tajam, seakan ingin segera menghabisinya.

"Aku tidak akan melupakan pengkhianatan kalian berdua. Dan kamu---," ucap Jono seraya menunjuk wajah Jeny. Membuat gadis itu ketakutan, mundur beberapa langkah. Merinding melihat amarah Jono yang meluap.

Jeny tidak menyangka semua akan terjadi seperti ini. Penyakit yang bersarang di tubuhnya membuatnya lemah dan menderita.

'Aku tidak mungkin mengatakan semuanya padamu, Jon.' batin Jeny pilu.

Jono menatap gadis di depannya penuh kesedihan dan amarah.

"Kita pu-tus." Jono berbalik dan terus berlalu meninggalkan Jeny.

Jeny seketika lemas, ia pun menjatuhkan tubuhnya di atas rerumputan. Isak yang sedari tadi ditahannya kini berubah tangis. Jeny menangkupkan kedua tangan di wajahnya yang penuh derai air mata. Dia tidak menyangka Jono akan mengambil keputusan yang fatal. Jeny semakin tergugu kala Tedy meraihnya dalam pelukan.

"Tabahkan hatimu, Jen. Nanti akan kubantu menjelaskan semuanya pada Jono," hibur Tedy seraya membelai rambut gadis itu.

"Tidak, Ted. Jangan katakan apapun pada Jono tentang penyakitku. Aku tidak ingin dia bersedih, cukup aku yang merasakan sakit ini."

"Tapi--." Ucapan Tedy terhenti. Kala Jeny langsung menggeleng tidak menyetujuinya.

"Tolong rahasiakan ini darinya," mohon Jeny sambil bangkit dan membenahi rambutnya yang berantakan.

"Aku pergi dulu, Ted. Terima kasih atas bantuannya." Tedy mengangguk, lelaki itu tersenyum getir melepas kepergian Jeny, hingga gadis itu tidak terlihat lagi.

Sementara itu Jeny masih dengan perasaannya yang galau.

Ia melangkah dengan hati yang hancur tak terkira. Hubungan yang ia jalin selama tiga tahun ini kandas sudah. Meninggalkan sesak yang menyumbat hampir semua persendiannya.

"Maafkan aku, Jon. Aku tidak bisa jujur padamu. Aku sendiri tidak tau bagaimana penyakit ini bisa bersarang di tubuhku." Jeny menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Dia pasrah dengan takdir yang akan membawanya entah kemana.

Tuhan ... kuatkanlah aku!

Tujuh jàm sebelum kejadian buruk itu menimpa Jeny.

Gadis ayu berusia 27 tahun itu tengah bersiap-siap menuju tempat kerja. Tepatnya di Kantor Kejaksaan Negeri Gunung Sugih, Lampung Tengah.

Usai menghabiskan sarapannya Jeny langsung menyambar tas kerja yang selalu dibawanya.

Jarak yang cukup jauh antara kontrakan dan tempat jerja mengharuskannya bangun sepagi mungkin.

Perlahan Jeny melajukan motor matic kesayangan di antara banyaknya kendaraan yang searah dengannya. Maklum kalau pagi hari jalanan selalu ramai dipadati para pelajar juga pekerja peraup rupiah sepertinya.

Meskipun begitu, hal itu tidak membuatnya patah semangat. Namun, saat hendak melintasi jembatan kembar tiba-tiba penglihatannya kabur, keseimbangannya tidak stabil. Mengakibatkan motornya oleng dan menabrak pembatas jalan sisi kiri. Jeny pun pingsan.

Tidak ada seorang pun yang berani menolongnya, takut menjadi tersangka.

Tak lama kemudian, nampak dari jauh sebuah mobil Avanza puti mendekat.

Pengemudi mobil yang tak lain adalah Tedy itu pun turun menghampiri kerumunan itu.

"Jeny ...," ucapnya setelah melihat sosok di balik helm hello kitty si pengendara.

Dari wajahnya nampak ketakutan yang sangat. Segera Tedy memeriksa nadi gadis itu.

Kemudian menarik nafas lega.

"Jeny masih hidup." ucapnya kemudian.

Ia pun mengangkat tubuh ramping gadis itu dan merebahkannya di kursi belakang kemudi. Usai menyandarkan motor matic milik Jeny, lelaki itu melajukan mobilnya cepat, mencari rumah sakit terdekat.

Singkat cerita. Di ruang tunggu rumah sakit.

Tedy duduk dengan perasaan yang gelisah, harap-harap cemas.

"Keluarga Jeny?" tanya seorang lelaki gagah dengan seragam putihnya yang khas.

"I--iya. Saya saudaranya, Dok," jawab Tedy dengan gugup.

"Mari ikut ke ruangan saya." ajak dokter cepat.

Tedy pun mengekor di belakang dokter muda itu.

"Setelah dilakukan beberapa pemeriksaan. Kami menemukan penyakit yang ganas telah bersarang di kepala gadis itu."

Tedy melotot seketika, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Apa, Dok? Pe--penyakit?"

Dokter di depannya itu mengangguk pelan.

"Penyakit apa, Dok? Hingga membuat Jeny mengalami kecelakaan itu?" Tedy memberondong dokter tampan itu dengan pertanyaannya.

"Kanker Otak stadium 4," jelas dokter itu, membuat Tedy histeris.

"A--apa? Kanker Otak stadium 4? Bagaimana mungkin gadis itu mengidap penyakit berbahaya ini?" Tedy shock mendengarnya.

Di kamar VIP nomor 3. Tedy duduk di kursi yang tersedia di sisi ranjang pasien.

Netranya menatap lekat gadis yang kini terbaring lemah di depannya.

Sementara selang infus menempel di tangan gadis itu. Jeny belum sadar dari pingsanya.

Tedy menarik nafas dalam, lelaki itu bingung tak tau harus berbuat apa.

"Siapa yang harus aku hubungi?" batinnya. Resah melihat keadaan Jeny saat ini.

Dari sepengetahuan Tedy.

Jeny adalah yatim pintu, kedua orang tuanya telah lama meninggal.

Dia juga tidak punya saudara, karena gadis itu anak tunggal.

"Dimana aku?" tanya Jeny saat kelopak matanya mulai terbuka.

Netranya memutar, melihat seisi ruangan yang serba putih.

"Beristirahatlah, badanmu masih lemah," ucap Tedy agar Jeny mengurungkan niatnya untuk bangun.

"Tedy, ada apa dengan ku? Siapa yang telah membawa aku ke sini?"

"Aku yang membawamu kemari, aku menemukan kamu pingsan di pinggir jalan. Apakah ada seseorang yang menabrakmu?" selidik Tedy memastikan kejadian yang sebenarnya.

Jeny memegangi kepalanya, mencoba mengingat kejadian yang dialaminya. Gadis itu menggeleng.

"Aku rasa tidak." Jeny memegangi kepalanya kembali. Ada rasa nyeri yang teramat sangat pada bagiàn itu.

Tedy memperhatikan gadis di depannya dengan seksama, pilu, ada rasa perih yang menjalar di seluruh urat nadinya.

Dadanya terasa sesak mengetahui tentang kenyataan pahit yang menimpa sahabatnya itu.

"Ted. Apa sebenarnya yang aku derita saat ini? Aku baik-baik saja! Dan aku tidak butuh infus ini," terang Jeny seraya menarik paksa infus yang berada dalam tangannya.

Tedy tercekat melihat reaksi sahabatnya itu, dia langsung berdiri, menatap tajam ke arah Jeny.

"Apa? Kamu pikir aku takut dengan tatapanmu. Jangan mimpi," ejek Jeny membuat Tedy geram dengan sikap aneh gadis malang itu.

"Kamu mau pulang?" tanya Tedy lembut. Membuat gadis itu mengangguk cepat.

Yah. Tedy memang tidak mau memaksakan kehendaknya pada Jeny. Dia teringat akan penjelasan dokter akan kondisi Jeny yang sewaktu-waktu bisa semakin memburuk.

Tedy mengemasi barang-barang sahabatnya itu. Setelah melunasi biaya atministrasi, mereka pun keluar dari gedung rumah sakit yang bertuliskan, Rumah Sakit Umum Daerah Seputih Raya.

Mobil Avanza putih itu melaju perlahan, melewati pos satpam.

Melesat cepat membelah keramaian jalanan kota.

Hening, mereka sibuk dengan perasaan masing-masing.

Hingga tiba saat Tedy menghentikan mobilnya di pinggir jalan, tepatnya di depan Taman Kopiah Emas.

"Kenapa berhenti," tanya Jeny tidak senang.

"Ada yang ingin aku bicarakan dengan mu, Jen."

"Kenapa harus di sini?"

"Ayo turun!" ajak Tedy setelah membukakan pintu untuk Jeny.

Gadis itu mendengus kesal lalu turun perlahan.

Jeny mengikuti langkah lebar lelaki tampan di depannya. Gadis itu sedikit kesulitan menyamakan posisinya.

"Buruan, apa yang musti kudengar darimu!" desak Jeny. Setelah menemukan tempat yang pas untuk berbincang.

"Lihatlah ini!" Tedy menyodorkan beberapa berkas yang dibawanya.

"Apa ini?"

"Itu hasil rongsen dari rumah sakit."

Jeny mulai membuka berkas itu satu persatu. Dia menggeleng pelan, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Gadis itu menatap Tedy sesaat lalu melihat bekas itu lagi.

Tangan Jeny gemetar, bibirnya bergetar menahan isak yang mulai terdengar, lirih.

"Tidak mungkin. Kamu pasti bohong, aku tau itu." Isak gadis itu mulai menjadi.

Perlahan Tedy bangkit lalu duduk di sebelah Jeny. Ditariknya tubuh mungil itu dalam dekapannya.

Membiarkan gadis itu meluapkan segala beban pada dirinya.

Hingga terjadilah peristiwa itu.

Di mana Jono memutuskan Jeny dengan seenaknya. Tanpa memberi kesempatan kepada Jeny untuk menjelaskan masalah yang sebenarnya. Meski pada akhirnya gadis itu akan membohonginya juga.

"Ayah, Ibu. Aku rindu kalian," Jeny terus berjalan, mengikuti arah yang ditunjukkan Tedy padanya. Menuju bengkel yang memperbaiki motornya.

"Kamu menangis?" Jeny seketika mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. Menatap pemilik suara yang teramat dirindunya. Sorot mata sayu itu bercahaya, meski rasa perih menyelimuti hatinya.

Tatapan mereka saling terkunci. Seolah mengutarakan segala isi hati yang dipenuhi rasa rindu yang menggebu.