webnovel

Perebut Milik Orang Lain

Mau tidak mau Radinka mengunjungi rumah ayahnya, Pak Hendra. Meski dia harus siap menerima tatapan tak suka dari Bu Tina. Dia tidak mungkin melamar Fatimah seorang diri kan?

"Mau apa kamu kemari?" tanya Bu Tina saat melihat Radinka memasuki rumah.

"Aku ingin bertemu Ayah," jawab Radinka cuek.

"Kenapa kamu ingin menemui Ayah?" Seseorang yang dibicarakan muncul dari belakang Bu Tina.

"Apa harus ada alasan seorang anak menemui Ayahnya?" ketus Radinka.

"Kamu mau minta uang kan? Sebut saja berapa, lalu segera pergi dari sini!" Bu Tina melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ayah, aku ingin melamar seseorang." Tanpa memperdulikan ocehan Bu Tina, Radinka langsung menyampaikan maksud kedatangannya.

"Kamu punya pacar? Gadis mana yang kamu sukai? Ayo duduk, kita bicara!" titah Pak Hendra seraya menuju sofa.

Pak Hendra dan Bu Tina duduk berdampingan, sedangkan Radinka di seberang mereka.

"Namanya Fatimah." Radinka langsung menyebut nama yang membuat Pak Hendra dan Bu Tina saling pandang.

"Jangan katakan namanya Fatimah Salsabila?" terka Bu Tina.

"Iya, namanya Fatimah Salsabila, mantan pacar Adnan."

"Radinka, apa kamu sudah gila?!" Bu Tina langsung berdiri dan membentak Radinka.

"Duduk, Bu!" Pak Hendra menarik istrinya agar kembali duduk.

"Kenapa aku disebut gila? Adnan dan Fatimah sudah tidak ada hubungan apa-apa. Adnan juga sudah menikah. Apa yang salah?" cecar Radinka pada Bu Tina.

"Kamu dan ibumu memang sama saja!" cebik Bu Tina kemudian.

Tangan Radinka mengepal, merasa tak terima dengan ucapan Bu Tina mengenai ibunya.

"Kamu ingin melamar Fatimah?" tanya Pak Hendra memastikan.

"Iya, Ayah."

"Bu, bukankah Ibu menginginkan Fatimah menjadi menantu? Keinginan Ibu akan terkabul kan?" Pak Hendra menatap pada istrinya.

"Tapi Ibu ingin Fatimah menikah dengan Adnan, bukan Radinka!"

"Siapa yang akan menikah?" Tiba-tiba suara lain turut bergabung. Itu suara Adnan yang baru saja memasuki rumah.

Adnan dan Radinka saling pandang sengit.

"Adnan, duduklah!" perintah Pak Hendra.

"Bu, Adnan sudah menikah dengan Naura, tidak mungkin dia menikah dengan Fatimah." Pak Hendra di posisi yang serba salah, namun bagaimanapun Radinka juga darah dagingnya, dia tidak bermaksud membela siapapun dan hanya menengahi.

"Aku akan menceraikan Naura setelah dia melahirkan, Ayah! Lalu aku akan menikahi Fatimah." Adnan menegaskan.

"Jangan coba-coba kamu merebut Fatimahku, Adnan!"

Telinga Adnan berdengung kala Radinka menyebut 'Fatimahku'.

"Kamu yang merebutnya dariku!" sanggah Adnan tak terima.

"Siapa yang menghamili anak orang sampai harus bertanggung jawab menikahinya? Sampai-sampai dia meninggalkan kekasihnya?!" sindir Radinka secara terang-terangan.

"Dasar kamu dan ibumu sama saja perebut milik orang lain!"

"Itu benar, Adnan! Ibu setuju denganmu!" Bu Tina membenarkan ucapan anak kandungnya.

"Cukup!" Pak Hendra menggebrak meja yang ada di depannya. '"Adnan, kamu sudah punya Naura dan anak kalian akan segera lahir. Tapi kamu bilang akan menceraikannya?! Kamu pikir pernikahan itu main-main?!"

"Sepertinya Ayah tak berhak menasihatiku! Ayah saja berselingkuh dan akhirnya aku memiliki saudara tiri yang merebut wanita yang aku sayangi!" Adnan menunjuk pada Radinka.

"Tapi Ayah tak menceraikan ibumu!"

"Kalau begitu aku boleh menjadikan Fatimah istri kedua?" Nada Adnan terdengar mengejek sembari menaikkan satu alisnya.

"Kau!" Radinka dengan cepat menarik kerah kemeja Adnan.

"Lepaskan tanganmu dari Adnan!" pekik Bu Tina.

Radinka pun melepas kasar cekalannya. "Ayah, aku akan melamar Fatimah dengan ataupun tanpa Ayah dampingi." Radinka beranjak hendak pergi.

"Ayah akan menemanimu, Radinka. Kamu juga anak Ayah." Pak Hendra berbicara sebelum Radinka ke luar dari rumah.

Dalam keadaan membelakangi mereka Radinka tersenyum. Dia pun berbalik dan menghapus senyumnya lebih dulu. "Aku harap Ibu dan saudara tiriku tersayang juga mau turut hadir pada hari aku melamar Fatimah."

Bu Tina memalingkan pandangannya seperti tak sudi, sedangkan Adnan menatap benci pada punggung Radinka yang semakin menjauh.

***

"Fatimaaaah!" Syahnaz berteriak dan berlari memeluk sahabatnya yang sudah lama tak ia jumpai.

"Berisik, Naz! Suara kamu kencang sekali!" protes Fatimah.

"Kamu tega sama aku! Aku tunangan kamu malah tak datang," rengek Syahnaz.

"Ya ampun, Syahnaz. Aku kan di Singapura. Bagaimana kalau kamu tunangan ulang? Nanti aku datang," kekeh Fatimah yang membuat Syahnaz mengerucutkan bibirnya.

"Acara pertunangan kamu sama Aditya lancar kan?" tanya Fatimah lagi.

"Alhamdulillah. Rencananya tahun depan aku dan Aditya akan menikah," ucap Syahnaz malu-malu.

"Alhamdulillah."

"Jangan-jangan nanti kamu disusul Fatimah loh, Syahnaz!" kata Bu Maryam yang baru saja bergabung bersama Fatimah dan Syahnaz di ruang tamu.

"Maksud Ibu?" tanya Syahnaz tak mengerti seraya melirik Fatimah.

"Ibu ...! Sssttt!" Fatimah menaruh jari telunjuk di depan bibirnya.

"Eh, eh, ada yang main rahasia-rahasiaan sama aku?" Syahnaz langsung menggelitiki Fatimah. "Ayo cerita!"

Fatimah pun tergelak. "Iya, iya, sudah!"

"Fatimah sudah punya pacar, Bu?" tanya Syahnaz pada Bu Maryam.

Bu Maryam pun mengangguk. "Bahkan pacarnya ingin segera melamar Fatimah."

"Ibu ...!" Fatimah tak percaya ibunya benar-benar mengatakan itu tanpa menunggu persetujuannya.

"Fat, kamu benar-benar menyembunyikan dari aku? Apa kamu sudah tidak mau menganggapku sahabatmu?" Syahnaz memulai dramanya.

"Lebay deh, Naz."

"Ayo cerita!" rengek Syahnaz.

Bu Maryam terkekeh melihat kelakukan sahabat putrinya.

"Aku bingung cerita dari mana ... yang jelas aku bertemu dengannya di NUS dan jatuh cinta. Selesai."

"Cerita macam apa itu? Bu ... mending Ibu saja yang cerita deh." Syahnaz berpindah tempat duduk dari di samping Fatimah menjadi di samping Bu Maryam.

"Namanya Radinka, orangnya tampan loh, Naz."

Fatimah hanya geleng-geleng kepala melihat ibunya bercerita pada Syahnaz.

"Ganteng mana sama Adnan?"

"Hm ... ganteng Radinka kayaknya. Iya kan, Fat?"

"Hm," sahut Fatimah sekenanya.

"Tapi ternyata ...." Bu Maryam menggantung kalimatnya.

"Tapi kenapa, Bu?" Syahnaz penasaran dan semakin mendekat pada Bu Maryam.

Bu Maryam menatap pada Fatimah, meminta persetujuan anaknya untuk memberitahu Syahnaz.

"Radinka adalah saudara tiri Adnan." Akhirnya Fatimah yang angkat bicara.

Mata Syahnaz membola seketika. "Hah? Bagaimana bisa dunia sesempit ini?!"

Fatimah mengedikkan bahu lalu menyandarkannya pada sofa. "Aku juga tidak tahu, Naz."

"Lalu bagaimana tanggapan Adnan?"

"Kami sempat bertemu di Singapura dan awalnya dia tidak percaya, karena memang waktu itu aku dan Radinka belum serius. Tapi entah sekarang, aku tidak tahu akan bagaimana sikap Adnan."

Syahnaz menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bagaimana takdir bisa semengejutkan ini?"

"Syahnaz, do'akan saja Fatimah dan Radinka semoga hubungan mereka berjalan lancar."

Syahnaz mengaminkan. "Aamiin. Tapi bagaimana bisa pacarmu saudara tiri Adnan?"

Fatimah menggigit bibirnya ragu. "Ayah Adnan, Pak Hendra, memiliki dua istri," ujarnya lemah.

Syahnaz lagi-lagi dibuat terkejut. Dia hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya saja, tak berani bertanya lebih jauh. Lebih tepatnya tak enak hati menanyakan hal yang sensitif.

"Fat, jalan-jalan yuk! Mumpung kamu disini," ajak Syahnaz.

"Ayo." Fatimah pun menyetujui.