webnovel

JIKA KITA TIDAK PERNAH JATUH

Jika perpisahan adalah luka, lalu bagaimana dengan pertemuan? Pernahkah kita bertanya pada setiap temu sebelum akhirnya kita menyalahkan perpisahan? "Lalu akan tiba waktunya, bagi kita menertawakan sebuah tangis dan menangisi seluruh tawa. Entah ketika rindu itu telah usai atau disaat rindu itu datang secara tiba-tiba"- Rara Setelah melalui begitu banyak perpisahan, akankah Rara bisa memandang dunia dengan cara yang berbeda? Digenggam oleh orang-orang yang begitu berharga, sedikit demi sedikit ia mengerti arti dari kata bahagia. hingga akhirnya semua itu sirna dan ia terjatuh untuk kali kedua. Haruskah aku berhenti saja? Ku harap kau menjawab, lewat apapun itu perantaranya

Kamja_ · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
5 Chs

MEMBUNYIKAN HUJAN

Lantas sang waktu mengajak gadis itu bermain ke masa lampau, masa di saat ia baru menginjak usia awal dua puluhan. Masa-masa ketika ia baru saja mulai belajar merangkak di kota orang. Dan dengan tidak sengaja, jemarinya menyentuh air yang mengambang di antara tanah dan udara.

'Aku tidak pernah tahu jika pada akhirnya kau dan aku akan menjadi sebuah teori interferensi. Kau menuntun fase gelombangku merambat perlahan, kemudian memusat kepadamu. Hingga tanpa aku sadari, kita membangun sebuah harmoni'.

Hari yang tidak terlalu dingin membuat Rara merasa aman beredar kesana-kemari sendirian. Pikirannya melayang entah kemana selagi tangannya bermain di tubuh cangkir yang sudah tidak hangat lagi.

'Tik tak tik tak' Denting jarum dari jam yang ia kenakan di pergelangan tangan kirinya seolah menemani kesendiriannya disana. Tidak berbunyi keras padahal. Tapi setiap pergeseran gerak jarumnya entah kenapa terasa sampai ke nadi.

Lantas Rara memandang jam tangan mungil miliknya itu. Maniknya mengikuti kemanapun arah jarum tipis itu berputar. Membuatnya memutari masa-masa dulu. Ketika waktu terasa tidak begitu ia nantikan. Saat waktu seolah tidak pernah menginginkan kehadirannya. Ketika waktu tidak pernah terasa begitu berharga. 'Namun di sepanjang kehampaan itu juga. dia datang. Membawa tempo yang selama ini telah aku lewatkan. Mungkin itulah alasan pertama mengapa kita dipertemukan'.

'Bagiku, sampai detik ini juga. Setiap hari adalah hari-hari yang begitu menyilaukan. Bahkan rotasi bumi seolah tak mampu mengulur seluruh waktu yang aku habiskan bersamamu'.

'Seperti kata Ahjussi; Di hari yang sangat baik, di hari yang tidak terlalu baik, bahkan di hari yang biasa-biasa saja. Aku menyukai semuanya. (1) Dan Begitu pula denganku. Di saat-saat itu bagiku, setiap hari adalah hari yang selalu begitu menakjubkan'.

'Jika saja ini adalah mimpi yang begitu panjang. Tolong jangan bangunkan. Seberapa lamanya pun waktu berlalu. Seberapa banyaknya pun detik terbuang. Aku ingin terus tinggal dan hidup di dalamnya— Jika saja'.

Sehelai daun yang sedang dalam perjalanan gugur menuju tanah seolah mengisyaratkan bahwa semua yang pernah datang pasti akan pergi, semua yang pernah merekat pasti akan lepas. Rara menghirup nafas dalam-dalam.

'Di kota yang tidak asing ini. Kota yang menyimpan milyaran rindu. Meski tidak seromantis kota hujan, juga tidak semegah ibu kota. Setidaknya.. disinilah aku menemukan rumah'

'Aku kembali'. Dan ia pun mengulas senyum setipis benang merah tak berhujung. Indah namun entah mengapa terlihat kepedihan di setiap seratnya.

LIMA TAHUN LALU

"Lo yakin?" Rara mengangguk

"Serius?"

"He.em—" Sahutnya sembari menahan linu menggigit es krim stik strawberry.

"—Dua rius malah" Sambungnya sedikit meringis

"Terus, lo pulkam setahun sekali dong?" Spontan Rara menaikkan kedua bahu tanda tidak tahu

"Gue ikutin apa kata Tuhan aja" Pia melirik sinis.

"Enteng banget congor lo" Cerocos Pia. Respon Rara hanya nyengir kuda.

"Ra, dengerin ya" Perintah Pia. Rara mengangguk saja, karena tidak tahu lagi harus merespon apa .

"Tuhan tuh nggak ngurusin elu doang. Coba deh lo bayangin—" Rara manggut-manggut

"—Sebanyak apa populasi manusia di muka bumi ini? Banyak Ra. BANYAK. Belom lagi nih ya, para leluhur kita dulu. Terus hewan-hewan? tanaman? mikroorganisme? Lo tau? Itu baru bangsa kasarnya. Belom bangsa-bangsa halus yang masih terbagi menjadi berbagai jenis ras dan bentuk. contohnya pocong. kuntil anak. genderuwo. Wewe gombel. Jin. Dan masih banyak lagi yang gue nggak kenal. Baik produk local maupun internasional" Jelasnya panjang lebar sembari menggerak-garakkan tangan dengan heboh bak pendongeng berpengalaman. Sedangkan Rara lagi-lagi hanya menggangguk-anggukkan kepala

"Jadi, maksud pembicaraan gue—" Rara menepuk pundak Pia

"Thanks Pi, gue jadi sadar" Ujarnya menatap mata Pia dengan serius. 'Biar cepet'. Batinnya. Pia yang percaya-percaya saja, menyengir bangga sembari mengangguk-anggukkan kepalanya

"Sama-sama fren" Polos Pia

diam-diam Rara menghembuskan nafas lega. Akhirnya kini ia dapat menikmati perjalanan dengan tenang lagi. Selamet. Batinnya sembari tangannya sibuk mengantongi stik es krim sisa barusan selagi petuah Pia di lantunkan.

Pia mengecap sisa es krim dari pinggiran bibirnya "Ra, lo tau kan gue cuma tinggal berdua doang sama bokap?" Tanyanya tiba-tiba. Rara mengangguk.

Kalau diingat-ingat sudah lama juga mereka tinggal berdua saja, mengingat mamah Pia meninggal ketika mereka masih duduk di bangku sekolah dasar sedangkan Pia adalah anak satu-satunya, lalu Papahnya memutuskan untuk mengurus Pia sebagai single parent hingga sekarang. Sepertinya ia lebih memilih menjaga kesetiaannya kepada almarhum isterinya. Mungkin.

Singkat cerita Pia dan Papahnya kemudian meninggalkan ibu kota dan menetap di sini setelah kelulusan sekolah dasar, itulah alasan kenapa ada rumah kosong tepat di sebelah rumah Rara sampai sekarang. Ya, itulah kenapa kami bisa saling mengenal. Maklum saja tetangga lama.

Selagi memorinya terbuka entah sejak kapan Pia sudah tidak lagi berjalan di sampingnya. Rara yang telat menyadari hal itu pun kemudian berhenti dan menoleh. Ia memandang Pia yang juga memandanginya dengan tatapan yang tidak bisa dukun mengerti sekalipun. Tubuh Rara menghadap Pia sepenuhnya

Kamudian ia menaikkan kedua bahu tanda bingung karena Pia masih tetap berdiam sambil menatapnya seolah mencari sesuatu di wajah Rara.

Rara mengerjapkan kedua matan menanggapi sorot aneh Pia, ia jadi lebih bingung lagi dari sebelumnya. Lalu karena satu menit telah berlalu tanpa Pia mengatakan apapun. Alhasil mereka hanya berdua saling mematung berhadapan dengan jarak yang lumayan jauh.

Rara diam. Pia juga diam. 'Oke, ada yang nggak beres' Tebak Rara. Sedikit gelisah, mau tidak mau ia pun memberanikan diri untuk berbicara duluan.

"Iya? Terus????" Tanya Rara. Entah kenapa dari sekian banyak awalan untuk membuka pertanyaan Rara memilih awalan yang ambigu itu. Namun tanpa di duga berkat itu pula akhirnya Pia merespon

"Ya tadi. Gue Cuma berdua sama bokap doang dirumah" 'Lo paham kan?' Pia berharap Rara segera menangkap isyaratnya sambil senyam-senyum penuh harap. Rara pun mengangguk ragu

"Yes, and then?" Tanya Rara masih belum mengerti

'Sumpah gue gak paham'. Rara kemudian menatap dalam-dalam kedua bola mata Pia. Mencari-cari maksud dari ucapannya yang ambigu dengan membawa-bawa kata bokap dalam pernyataannya dari barusan.

Tapi bukannya menjawab, Pia malah menatap balik Rara menyalurkan energi batinnya. Tapi jelas saja percuma, toh dia bukan orang sakti, dan seperti dugaan, diantara keduanya pun sama-sama tidak terjalin koneksi.

Namun anehnya Pia mengira kediaman Rara adalah karena sedang mempertimbangkan tawarannya, padahal Rara masih dalam mode menebak-nebak arah ucapannya. Hingga setelah cukup lama keduanya tenggelam dalam pikirannya masing-masing sambil bertukar pandang. Terlintas sesuatu di pikiran Rara

'Aha!' Seolah ada lampu yang menyala di dalam otaknya. Dikira akhirnya dia mengerti. Sehingga bersamaan setelah mencerna praduganya seketika kedua pundaknya melemas. Tidak tahu harus bilang apa kepada temannya itu. Ingin hati membantu. Tapi sepertinya mustahil.

Lalu dengan kikuk Rara memberanikan diri membuka pertanyaan gelombang kedua. Sambil harap-harap cemas. Ia berdoa semoga temannya tidak terlalu kecewa

"Sorry banget Pi, bu- bukannya gimana ya" Jelas Rara dengan terbata. Tak sampai ia pada kalimat yang ingin disampaikan, gantian pundak Pia yang melemas.

'Seperti dugaan'. Pikir Rara. Haruskah ia menyanggupkannya saja atau bicara seadanya? Rara tidak mampu bereaksi dengan benar kali ini. Pia pun menghampiri Rara dengan langkah yang tenang

"Kenapa? nggak mau?"Tebak Pia dengan raut dibuat tidak terlihat kecewa.

Rara menggelengkan kepala dengan kencang. Ia pun mencoba untuk menjelaskan alasannya dengan lebih detail tentang alasan ketidak sanggupannya ia membantu keinginan Pia.

"Nggak gitu maksud gue Pi. Suer!!" Jemari Rara membentuk angka V.

" Lagian kan lo tau sendiri—"

Rara tidak mampu melanjutkan kalimatnya karena reaksi Pia yang langsung lesu. Seketika ia merasa bersalah dan tidak berguna karena tidak bisa membantu mewujudkan keinginan temannya untuk mencarikan seseorang yang bisa mendampingi Papahnya. Padahal Pia berpikir lain. 'tujuan gue jemput sampe bawain tasnya kan biar kita langsung meluncur ke rumah gue'.

Pia pikir dia telah gagal membuat Rara tinggal dirumahnya. Tas yang menggantung di salah kedua bahunya pun merosot sebelah. Pasti menyenangkan kalau ada yang tinggal satu orang lagi di rumah. Apalagi Papah Pia sering sekali ke luar kota. J'adi kan nggak terlalu sepi kalau Papah lagi tugas'

Melihat respon Pia. Rara semakin serba salah, ingin bicara pun takut salah ucap. apalagi hanya diam? Bisa dikira cuma cari alasan. 'Nggak tau lagi deh'. Kalau bisa ia malah ingin merebut tasnya lalu lari secepat mungkin dari pandangan Pia, dan tidak akan pernah menemuinya lagi. Ah tapi bukannya itu terlalu berlebihan? Nggak tau deh.

Karena buntu, satu-satunya jalan yang tersisa ialah segera dia menyatukan kedua telapak tangannya sambil memohon maaf sebanyak-banyaknya seolah habis melakukan dosa besar.

"Pi sumpah. Temen gue bisa diitung, bahkan tanpa harus ngitung. dan gue juga nggak kenal banget sama janda-janda di komplek rumah gue. So gue nggak bisa bantu, lo percaya,'kan sama gue? Ini bukan alesan sumpah deh" kedua mata Rara memejam sembari menjelaskan saking tidak berani menghadapi kekecewaan temannya itu

Seketika mulut Pia menganga lebar. Ia kaget dengan pernyataan temannya. 'Kenapa jadi gue nyari janda sih?' Bingung Pia.

"Sori Pi, sorii" Rara tidak hentinya memohon maaf kepada Pia yang sedang membatu

'Wait'. Pia berpikir keras. Apa korelasinya antara dirinya dengan janda di komplek rumah Rara? Dan tanpa dijelaskan pun Pia jauh lebih tahu kalau Rara memang tidak punya teman selain dirinya semenjak mereka duduk di bangku kelas empat SD.

Pia terus memikirkan semua kemungkinan ucapan-ucapannya barusan. Ia kembali melakukan reka ulang dalam pikirannya. Tidak butuh lama, ia akhirnya tersadar. Semua ini bermula ketika ia menyebutkan bahwa dirinya hanya tinggal berdua dengan papahnya.

'Oh My Lord!' Pia jadi gemas sendiri, spontan ia memukul jidat Rara yang menunduk

"Anak setan!"

"Aw!" Rara mengusap dahinya yang perih.

"Uh luh!" Gemas Pia sembari mengepal tinjunya.

"Siapa yang butuh janda, Babi!" Geram Pia

"Ha?" Gantian sekarang mulut Rara yang menganga.

"Terus?" Penasaran Rara "Bukannya lo butuh sosok—"

"Sosak sosok sosak sosok. SOSOK GAIB?! Ngaco ya lama-lama babi aer satu ini" Ujar Pia

"Gue bukan mau cari nyokap baru ya! Nggak" Tegas Pia, saking kesalnya ia menarik nafas dalam-dalam, 'capek banget ngadepin babi aer emang'. Ia pun mencoba meluruskan kesalah pahaman konyol diantara mereka. Walaupun masih bingung Rara mencoba memfokuskan indera pendengarannya. agar tidak salah tangkap.

"Oke?? Jadi?" Fokus Rara

"Jadi maksud gue tuh, kamar dirumah gue kan ada 3 nih" Rara mengangguk.

'Oke, kamar tiga' Batin Rara

"Nah karena gue tinggal berdua doang sama bokap, jadinya ada kamar nganggur tuh satu" Rara kembali mengangguk lagi

'Yang pertama ada Kamar tiga, yang kedua katanya nganggur satu'. Oke gue masih paham Batinnya lagi.

"Berhubung kosong, jadi elu bisa pake tuh kamar. Kan dari pada ngekost? keluar duit. Mubazir nggak?" Tanyanya dengan nada dan tempo seperti sedang guru PAUD

"Mubazir" Sahut Rara

"Pinter. Jadi biar nggak mubazir gimana?" Jelas Pia sabar

Seketika bibir Rara membentuk huruf O sambil manggut-manggut. Sekarang ia paham maksudnya. 'Kamar tiga, nganggur satu, mubazir'. Rara sudah paham sepenuhnya. 'Jadi gue di suruh numpang toh?'

"Kaget gue. Kirain apaan" Lega Rara

"Bego sih di pelihara" Ketus Pia

"Nggak sengaja"

"Yaudah, deal ya?"

"Siap ibu kost"

Setelah kesalah pahaman itu, Rara pun menjadi teman serumahnya, mantan tetangga sekaligus teman baik masa kecilnya itu memang sudah akrab dengan Rara dan keluarga dulu. Begitulah awal mula bagaimana kamar yang sekarang Rara tempati terasa sangat nyaman dan familiar

Kemudian tidak terasa hari berganti hari, minggu berganti minggu, ternyata kini sudah memasuki bulan ke enam ia menetap di Jogja.

Setiap hari adalah hari-hari sibuk baginya. Tidak ada waktu hangout, tidak ada waktu main, apalagi waktu untuk bermalas-malasan. Meskipun begitu entah mengapa ia merasa seakan waktu sengaja berjalan membelakanginya. Seolah sang waktu hanya bergerak di luar dunianya saja.

Ada hari dimana ia merasa segalanya begitu sulit dan rumit. ada pula hari-hari dimana ia merasa hampa dan ingin menangis sepanjang hari. Meskipun begitu ia sadar. Hidup adalah hidup. Entah itu berjalan atau pun tidak. 'Dunia tidak akan mengalah hanya karena aku menyerah'. Itulah yang Rara yakini.

"Baru balik?" Pia melirik jam dinding yang terpasang di atas televisi ruang tamu. Sudah jam dua belas malam.

"Hmm" Sahutnya malas. Rara pun langsung merobohkan dirinya di atas sofa, tepat di samping Pia yang sedang fokus pada layar televisi

"Gimana? Betah?" Tanyanya Setengah penasaran setengah nonton tivi.

"B" Sahut Rara singkat

Pia melirik sinis "Datar banget kayak muka" Sindir Pia, lalu ia pun kembali fokus pada layar televisi yang sedang menayangkan adegan saling pandang memandangan zoom in zoom out cukup lama.

"Terus gue musti jawab C?"

Pia mendecak sebal "G!" (2). Rara tidak berniat menjawab lagi.

Sambil mengunyah potongan buah ditangannya, Pia terhanyut dalam imajinasinya sendiri. Berkhayal ia adalah 'main character' perempuan dalam serial film tersebut sambil senyam-senyum tidak jelas.

Dengan malas Rara menjulurkan tangannya ke atas meja bermaksud mengambil potongan buah yang hanya tersisa satu milik Pia. Tapi belum juga dapat. Pia segera menyadarinya dan dengan cekatan memukul tangan Rara hingga merah.

"Aw! Sakit"

"Dikulkas banyak, ambil sendiri" Ujarnya tanpa berpaling dari televisi

Rara cemberut sembari mengusap tangannya keperihan. Dengan malas ia pun bangkit dari rebahannya lalu duduk, tidak lupa sambil memaki tentunya

"Pelit!" Ketus Rara. Pia puas, ia pun menjulurkan lidah

"Dari lahir! wee"

"Cih! Makan tuh pilem" Sinis Rara sembari melempar bangku sofa ke arah televisi dan berlari secepat kilat ke dapur.

"ANAK BABI!" Geram Pia

"Cih. Anak sama bokap beda banget sifatnya, curiga gue nih dia anak pungut jangan-jangan" Dumal Rara sengaja suaranya di keraskan

"KEDENGERAN!" Rara pun tertawa puas.

Meskipun lelah, mau tidak mau ia harus menuju kulkas. demi sepotong semangka. Setelah itu susah payah mendapatkan potongan semangka, ia pun membawa si semangka bersamanya ke tempat rebahannya semula.

Manis dan dingin meleleh jadi satu memanjakan lidahnya. Setidaknya, hiburan untuk tubuh. Penasaran, ia pun memeriksa film apa yang sedari tadi asyik Pia tonton, seketika ia mengangkat sebelah alisnya

"Masih jaman nonton serigala?" Rara menggigit lagi semangkanya

"Yang maen ganteng sih" Pia senyam-senyum tidak jelas.

Rara menatap geli temannya. Lalu ia mengambil dan menyodorkan cermin kecil tepat di depan wajah Pia

"Yang ganteng juga pilih-pilih kali"

"Issss…."

Pia meraih bantal sofa. Tapi tidak keburu, kaki temannya itu lebih gesit dari pada lemparan Pia. Rara sudah kabur secepat kilat menuju kamar mandi sambil tertawa mengejek

"Pergi Lo!"

***

Begitulah keseharian Rara, hingga tidak terasa hamper satu tahun waktu sudah berjalan. Tapi entah kenapa rasanya seperti sudah melewati tiga kali puasa tiga kali lebaran. Rara mulai rindu masakan mamanya. Mulai rindu bercanda dengan adiknya.

'Ada kesedihan mendalam. Ada rasa sakit dan perih meski pun raga ini tidak terluka sama sekali, jika memang ini semua adalah suratan. Setidaknya izinkan aku mengirim surat balasan. Hati ini terlalu hancur menahan amarah dari rasa kecewa, aku merasa semua terlalu tidak adil. Satu-satunya hal berharga yang aku miliki. Hal yang paling ingin aku lindungi dari pada diriku sendiri selama ini. telah terbawa oleh senandung pilu yang tidak akan pernah bisa aku nyanyikan'.

'Nyatanya, kehilangan adalah hal paling tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tanpa terkecuali air mata'.

bagi Rara tidak ada yang namanya putar balik. baik itu di dalam perjalanan ataupun di dalam kehidupan. Nafas ini hanya punya dua pilihan. Hembus, atau diam. Karena kehidupan bukanlah sebuah pilihan. Tapi keharusan. 'Ya, diam-diam aku manusia menyedihkan. Hidup bagaikan mati. Mati di kehidupan'.

Namun setelah semuanya, bukannya mengutukku. Tuhan malah memberikanku sebuah hadiah kecil. Lalu di titik inilah semuanya dimulai. Aku menemukan manusia yang mengajariku caranya berputar arah. Dia lah yang menuntunku bagaimana caranya sampai ke tujuan dengan berjalan.

Tuhan menitipkan banyak sekali pelajaran melalui dia. Meski dia juga yang membuatku selalu bingung dengan arah pulang di tengah hujan. Kemudian jika tanah basah lagi, mari kita bertemu disana.

(1) salah satu dialog populer dalam Kdrama berjudul Goblin

(2) Means Nggak Perlu tapi singkat ngomongnya

nb: Sekali lagi diingatkan perihal tanda (') san tanda (") barang kali ada yang tau caranya bikin tulisan miring disini boleh dong infonya.. makasih ^^

Happy reading, maaf belum expert

salam kentang

Kamja_creators' thoughts