webnovel

Seorang Wanita?

Sudah tiga hari sejak hal itu terjadi.

Anna berusaha hati-hati kala bekerja, mendongkak kesana kemari memastikan apakah Ryan ada di dalam ruangan yang mau ia bersihkan atau sebaliknya.

Lepas mengetahui kalau Ryan tidak ada, maka Anna akan segera membersihkan ruangan itu.

Namun jikalau menemukan Ryan di dalam, maka ia tidak akan membersihkan ruangan itu.

Terpaksa membiarkannya sampai Anna melihat Ryan keluar dari tempat itu lalu melanjutkan pekerjaannya.

Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Anna sudah siap dengan berbagai pekerjaannya utamanya.

Dia menghempas tubuh dan menyandar tubuh tepat di atas kursi meja makan.

"Fiuh! Akhirnya selesai."

Ia menyeka peluh menetes di kening. Rasa senang menjalar sampai ke seluruh urat tubuhnya.

Pekerjaan utama selesai, itu tandanya ia bisa istirahat selama tiga puluh menit seperti biasanya.

Di depan sudah tersedia banyak jenis makanan.

Memang ia tidak mengerti mengapa Ryan menggebu-gebu saat menyuruh Anna memasak sungguh banyak makanan.

"Apa akan ada tamu, hari ini?"

Mengingat hari ini adalah hari libur nasional, Anna pikirannya jatuh ke sana.

Ting…

Nong…

Ting…

Nong…

Suara bel di pencet berkali-kali. Anna melangkah lamban sedikit rasa berat, waktu tiga puluh menit istirahatnya hanya terbayar tiga menitnya, selain itu… Tidak ada.

"Sebenarnya siapa sih dia? Ribut sekali," ia berdecak kesal. Tetapi kala mengingat dia siapa di rumah ini, sudahlah. Ini sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai pelayan yang baru tiga bulan bekerja.

Ceklek.

Anna membuka pintu, "Selamat pagi, nona," ucap ramahnya tak lupa memperlihatkan senyum manis.

"Hm!" hanya dijawab deheman singkat.

Anna mundur corong ke samping pintu saat seorang wanita berpakaian sabrina tipis, juga ketat seperti akan memperlihatkan lekuk tubuh berisi depan dan belakang. Bohay.

"Nona perlu apa ya, datang kemari?" lagi-lagi berbicara ramah.

Wanita yang sedaritadi hanya berdiri namun pandangannya mengarah keseluruh penjuru arah kini berbalik dan menatap dingin Anna.

"Perkenalkan, saya Thelma… Kekasih Ryan!" wanita itu tersenyum miring. Kembali membalikkan tubuh memandangi seisi ruangan yang sudah tersusun rapi Anna buat.

'Kekasih Ryan?' Anna termenung untuk sesaat. 'Mungkin kah…'

Segera Anna sadar. Dia memperbaiki senyuman dan pakaiannya selama berjalan tiga langkah ke depan Thelma, wanita itu.

"Nona. Nona mau bertemu dengan tuan Ryan?"

Menurunkan dagu yang sedaritadi diperlihatkan naik ke atas. Thelma menatap sinis Anna dengan penampilan jauh dari standar 'wanita' yang pernah ia temui di rumah Ryan.

"Kamu, pacar Ryan bukan?"

Anna segera menggeleng. "T-tidak, nona. Tidak. Saya bukan pacar tuan Ryan," aduh… Bagaimana mungkin dengan penampilan lusuh seperti ini Anna dianggap sebagai kekasih Ryan." Anna tersenyum kik-kuk sambil menyisipkan rambut sisa ke telinganya.

"Oh, bukan ya," Thelma tampak sedikit kecewa. Sungguh membuat Anna bingung bukan kepalang.

"Nona, saya panggilkan tuan Ryan saja ya. Nona silahkan duduk, dan tunggu di sini. Nikmati cemilan jikalau nona menyukainya." Anna berjalan beberapa langkah hendak menjauh dari wanita itu.

Tetapi suasa bariton yang selalu membuat ia merinding berhasil menghentikan langkah gadis itu.

"Anna! Tetap pada posisimu!"

Ryan datang dari balik tembok. Wajah dingin dan juga datarnya itu berhasil membuat Anna kembali menunduk menatap susunan marmer.

Tangannya lagi-lagi mengepal. Dia menggigit bagian bawah bibirnya.

"Dan kamu Thelma, untuk apa kamu datang kemari lagi? Sudah habis kah uang si tua bangka, Job itu maka kamu minta kemari?" tanya Ryan meledek.

Perlahan memiringkan kepalanya mencoba menatap situasi yang kini bukan lah masalahnya.

Namun Anna merasa ikut dalam gelombang yang mulai memanas di antara Ryan dan Thelma selaku kekasihnya… Atau mantan kekasih? Anna bingung.

Thelma yang dilihat Anna perlahan merendahkan dirinya. Tertunduk, menyatukan kedua telapak tangan dan menangis tersedu-sedu.

"Ryan… Tolong, ini bukan masalah laki-laki brengsek yang sudah merebut keperawananku."

"Lantas? Apa maksud tersendirimu datang kemari, Thelma?" Ryan menatap selidik Thelma yang begitu dipandang rendah oleh decihan tersembunyi Ryan.

"Aku… Aku minta uang senilai satu miliar."

Mata Anna seketika membulat, 'Amazing!' itulah kata pertama yang muncul dalam benak Anna. Dia tidak percaya, wow! Begitu mudahnya 'kah?

"Hahahah!" Ryan tertawa sumbang. "Untuk apa meminta uang sebanyak itu! Apa kamu mau merampokku!?"

"Bu-bukan begitu, Ryan! Ayahku, ibuku. Mereka disekap! Hampir dibunuh juga oleh para mafia keji itu! Apakah kamu mau merelakan kedua orangtuaku yang baik mati di tangan mereka?"

'Alasan yang cukup kuat,' Anna pikir Thelma akan meminta uang semena-mena untuk kesenangan pribadinya. Ternyata tidak.

"Kenapa tidak minta saja pada Job!?". langkah kaki tegas Ryan mendekat pada Thelma.

"Dia sudah meninggal, Ryan! Otaknya terlalu sempit dalam berpikir. Ayah dan ibuku sudah pasti sedang sekarat di tempat menjijikan itu, dan semua karena laki-laki bejat itu!" Thelma berkata nada terisak.

Sungguh, mendengar ucapan Thelma berhasil membuat Anna merasa simpati dengan Thelma.

"Lalu? Apa hubunganku dengan semua masalah yang kini menimpamu!? Memang uang tidak masalah bagiku! Sampai kapan pun tidak akan habis. Tetapi kesetiaan, kamu bahkan menghilangkan rasa itu dari hatiku sejak melihatmu bersama tua bangka itu bermesraan di kamar!"

"Tidak Ryan… Semua tidak seperti yang kamu lihat. Semua tidak benar, Ryan. Tidak benar," Thelma terlihat putus asa.

Anna sudah bisa bayangkan bagaimana putus hatinya Thelma saat ini. Perlu pertolongan malah ditolak. Memang menurut kata-kata mereka, Thelma di sini yang salah pada awalnya.

Tetapi tidak sepantasnya Ryan menolak si peminta agar ditolong. Ryan orang kaya, tidak seharusnya Ryan mengabaikan orang miskin jauh di bawahnya.

Anna hanya bisa melihat. Iba, memang. Ketidak adanya biaya untuk dirinya sendiri saja membuatnya harus bekerja dengan upah seadanya. Bagaimana mau menolong orang?

"Sudah, aku merasa muak dengan wajah penghianatmu itu! Sana pergi! Pergi jauh jauh dari hadapanku!" Ryan mengusir Thelma.

Tampak Thelma menghela napas prustasi. Ia merasa gagal dari wajah bersedihnya itu.

Hingga…

Bruk!

Tubuh Thelma terjatuh tepat saat ia hendak berdiri. Anna cekatan berlari menopang tubuh Thelma yang terasa berat itu.

"Nona Thelma, bangun!" Anna menepuk pipi Thelma dan memijat paru-paru dadanya.

Sedikit menoleh kepada pria itu, sama sekali tak berkata apapun hanya melirik keduanya.

"Tu-tuan… Saya mohon kebaikan hati anda. Biarkan nona Thelma mendapat pengobatan. Ia sungguh pucat terlihat, tuan," mohon Anna.

Tidak ada jawaban.

"T-tuan… Saya janji, akan turuti apapun yang tuan inginkan terjadi. Tolong buka hati dan pikiran tuan. Nona Thelma begitu dingin suhu tubuhnya," pinta sekali lagi. Semoga tuan Ryan bisa diajak kompromi kali ini.

"Saya setuju."

Sempat senyuman terletak jelas di sudut bibir Anna.

"Jadilah kekasihku!"

"A-apa tuan?"

"Jadilah kekasihku!"

Sungguh, Anna tidak mengerti apa yang kini ia dengar. Bahkan sampai kedua kalinya Anna bertanya, ungkapan Ryan tidak berubah selain berkata, "Jadilah kekasihku!"

"A-anda tidak bercanda, tuan?"

"Tidak! Jadilah kekasihku, Anna. Aku serius!"