webnovel

Jadilah Kekasihku!

"Bagaimana? Setuju apa tidak?" laki-laki itu malah kembali bertanya pada Anna.

Anna pun bingung bagaimana akan menjawabnya. Ini merupakan kondisi gawat dan tidak sepantasnya Ryan memanfaatkan kondisi ini.

Tapi tidak berani juga Anna menolak setidaknya berkata tidak.

Mulutmu harimaumu.

Kalimat yang pernah Anna baca dan terus menjadi pegangan hidupnya, itu sebabnya ia selalu berkata hal penting saja.

Walau memang, terkadang kata menurutnya baik menjadi ketidak sukaan bagi orang lain. Menjadi perkara besar bagi dirinya.

Meresahkan.

Menarik hembuskan napas, mungkin hal ini mampu menyegarkan kepalanya.

"B-baiklah, tuan. Saya setuju," ia akhirnya menjawab.

Rasa sangat tidak percaya bisa mengatakannya. Itu berarti mulai detik ini ia sah menjadi kekasih tuannya sendiri.

Sedangkan Ryan sedaritadi sudah tersenyum kecil. Raut wajah datar berangsur ubah, tidak dingin seperti hendak memakan Anna bulat-bulat saja.

"Sekarang kamu panggil dokter Wilman. Nomornya ada di ponselku. Ini dia," mengambil ponsel dari dalam saku celananya. Ryan memberikan, Anna menerimanya.

Mencari nomor dalam aplikasi WhatsApp, ada tulisan dokter Wilman di sana. Anna menekan tombol bergambar 'telepon' panggilan langsung terhubung.

"Selamat pagi tuan Ryan. Adakah yang bisa saya bantu?"

Tidak ada kalimat berikutnya, Anna sungguh gugup. Saat melihat Ryan yang baru meletakkan Thelma di atas sofa, membaringkan tubuh berat yang mungkin saja terasa ringan bagi lengan laki-laki itu.

'Bagaimana ini tuan?' Seakan bertanya lewat sorotan mata, Ryan sepertinya tahu apa yang dimaksud perempuan itu.

"Jawab saja seruannya," ungkap laki-laki itu bicara normal, biasa.

Menempelkan kembali ponsel ke telinga, "Sas-saya, Anna. Bub-bukan tut-tuan Ryan," ungkap terbata-bata Anna.

"Owh, nona Anna. Selamat pagi nona Anna, apa yang bisa saya bantu untuk nona?" kembali bertanya lewat jaringan dalam ponsel.

"Jad-jadi begini tuan Dokter. A-ad-ada yang sakit di rumah ini."

"Tuan Ryan 'kah?"

"Tid-tidak tuan Dokter. Dia perempuan. Katanya memiliki nama Thelma."

"Owh. Baiklah, saya akan datang segera."

Panggilan di tutup. Anna kini mampu bernapas lega.

"Sudah ya? Bagaimana, apa yang dikatakan dokter Wilman padamu."

Anna memberikan ponsel, "Katanya tuan, tuan dokter akan datang."

"Hanya itu?" tampaknya Ryan ragu. "Kamu tidak jelaskan keluhan mengapa kamu hubungi dokter Wilman?" sembari menerima ponsel kembali. Ryan menatap biasa. Dingin, pada Anna.

"Itu…" walau sudah mengatakannya tadi pada dokter Wilman, tetap saja Anna merasa gugup berbicara dengan tuan Ryannya ini. Wajahnya itu loh, menyeramkan sekali bagi Anna.

"Sudah kamu katakan, tidak?" tampaknya Ryan sedikit merasa terganggu yang menyebabkan dirinya kesal. Ia meninggikan suaranya hingga kembali membuat Anna menunduk ketakutan.

Ryan menghela napas berat, "Sudah kamu katakan pada dokternya mengenai alasan?" ia berkata nada lembut selembut-lembutnya.

Mendengar kelembutan suara itu, Anna seperti mendapat angin segar yang menyebabkan diri berani berbicara, "Sud-sudah, tuan."

Usai mengangguk, Anna mematung. Menunggu detik-detik waktunya diperlukan 'menurutnya'.

Setengah jam kemudian.

Tuk. Tuk. Tuk.

Suara pintu diketuk. Pandangan Anna dan Ryan terpaku pada pintu terbuka lebar itu.

"Selamat pagi, tuan Ryan, nona Anna."

"Selamat pagi."

Ryan meninggalkan Thelma dan Anna dan menuju pintu menemui dokter Wilman untuk berbicara singkat dengannya.

Sedangkan Anna, ia perlahan memberanikan dari untuk duduk di sofa tempat kaki Thelma bertempat.

Ia memijat kaki wanita itu. Begitu dingin membuatnya tak tega…

Dokter Wilman dan Ryan datang. Dokter mulai memeriksa Thelma teliti.

Ryan dan Anna hanya memperhatikan apa saja yang dilakukan pria paruh baya seusia ayah Anna dan tuan besar keluarga Agrenisya, keluarga yang disandang Ryan.

"Nona Thelma, Dia hanya kelelahan, tuan dan nona. Ditambah tidak mendapat asupan makanan sudah sangat lama. Hanya kandungan mineral, itu pun tidak cukup untuk tubuhnya yang sekarang mengandung."

"Mengandung?!" beo Ryan membulatkan mata tidak percaya.

"Iya, tuan Ryan. Nona Thelma sedang mengandung."

"Bagaimana bisa!?" Ryan tak habis pikir.

"Memang itulah kenyataannya, tuan Ryan. Jika tuan tidak percaya, tuan bisa cek ke dokter kandungan untuk mastikan lebih jelasnya."

"Berapa bulan?" tanya Ryan menatap jijik ke arah Thelma yang berbaring lemas.

"Menurut perkiraan saya, ada sekitar tiga bulan," jawab dokter.

Berarti waktu itu. Batin Ryan mendadak kesal. Lihatlah, dia mengepalkan kedua tangannya dan menggigit giginya sendiri.

Seperti begitu paham dengan keadaan sekarang, dokter Wilman segera mengemasi barang-barangnya dan memberikan resep obat pada Anna.

"Nona Anna," seru pria paruh baya itu ramah.

"Eh, iya, tuan Dokter?" balas Anna sambil tersenyum.

"Ini resep obat, setelah dibeli, berikan obat ini pada nona Thelma setelah nona Thelma bangun, ya," pesan Dokter William berangsur pergi dari sana.

***

"Menyebakkan!"

Terdengar gumanan Ryan setelah Anna mengantar dokter William ke luar rumah.

Anna memperhatikan semuanya hanya paham satu hal, Ryan itu masih mencintai nona Thelma.

"An!"

"I-iya, tuan!?" pandangan Anna seketika tertuju pada Ryan. Mengangkat kepala entah sudah berapa derajat. Tubuh Ryan dan Anna memiliki perbedaan 21 cm.

"Makanan banyak yang tadi kamu masak, tolong berikan pada dia. Saya akan ke kamar!"

Anna mengangguk setuju. "Iya… Baiklah tuan."

Ryan berjalan menuju tangga, masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu itu menggunakan kunci kamarnya.

Anna keluar sebentar pergi ke apotek. Membeli obat sesuai resep yang ditentukan dokter William tadi.

Setelahnya ia pulang ke rumah Ryan, melangkah mendekati nona Thelma. Tubuh wanita itu memang tampak berlemak, namun lemak yang tak sehat.

Anna merasa kasihan dengan nona ini. Masa lalu yang begitu aneh bin luar biasa menurutnya.

"Bagaimana mungkin ada cerita masa lalu yang seperti ini." gumam Anna tak bisa berkata banyak.

Tampaknya Thelma adalah 'salah satu' kekasih tuan Ryan. Walau tidak tahu spesifiknya, Anna bisa mengerti lewat sorotan mata Ryan sewaktu ia berkata, "Menyebalkan!"

Tampak sekali keputus-asaan terletak di sana. Satu pertanyaan dalam benaknya terselesaikan!

Ternyata bukan salah satu, namun satu satunya. Itu sebabnya sejak pertama Anna memasuki rumah besar warisan orang tua Ryan ini, tingkah laki-laki itu sudah seperti wajib militer terhadap pelayannya sendiri.

Itu sebabnya tak ada yang tahan walau sudah dibayar mahal bekerja seminggu dapat gaji.

"Lalu, aku ini bagaimana?"

Kembali mengingat ungkapan tak masuk akal Ryan. Demi mengobati nona Thelma, Anna harus menjadi kekasih tuannya. Sungguh terasa aneh.

"Mungkin tuan Ryan kini sedang mempermainkanku."

Ia merasa biasa saja. Mengingat sudah menjadi kebiasaan Ryan melakukan hal tersebut bagi Anna. Maka dengan mudahnya Anna memutuskan.

Hanya sekedar candaan..

Tidak mungkin nyata.

Lagi pula selama Anna dengar cerita orang, ia tidak pernah dengar kalau hubungan asmara cinta antara atasan dan bawahan akan terjadi.

Karena selain jalur yang begitu rumit mengingat 'orang kaya' itu selalu bersikap kasar dan suka marah terhadap pelayannya.

Anna pun merasa tidak pantas kala–kalau benar hal itu terjadi.

"Nona Thelma, ayo bangun. Kita makan," seru Anna sembari menyendokkan nasi ke hadapan nona Thelma.

Thelma yang baru bangun itu tampaknya merasa bingung dengan keadaan, "Aku di mana?" ia bertanya sembari menggangguk tengkuk.

"Oh, nona. Nona masih berada di dalam rumah tuan Ryan," jawab singkat Anna. "Ayo nona. Kandungan nona perlu asupan. Setelah itu nona harus makan suplemen penguat janin," ungkap lembut Anna.

Entah mengapa mata nona Thelma seketika membulat. "Apa!?" teriak wanita itu sambil menutup mulutnya. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar...

Anna menghentikan acara mendinginkan nasi dengan mengangin-anginkannya. Dia letakkan sepiring nasi di atas meja, dia menatap bingung nona Thelma yang seperti tidak tahu apa yang terjadi.

"Apa nona, tidak tahu jika nona kini hamil?" ia mencoba bertanya. Wanita yang kini menangis hanya bisa mengangguk.

Anna mengambil tisu di meja samping sofa yang ditiduri Thelma. "Lap air mata nona. Anak itu anugrah. Mau bagaimana pun permulaanya."

Thelma memeluk tubuh Anna yang memberinya kesempatan menopang tubuh yang rapuh itu.

"Laki-laki itu, Anna.… Dia, dia."

"Cup, cup, cup. Sudah nona. Jangan berpikir buruk dahulu. Nona yakin kan saja, semua akan baik-baik saja."