webnovel

Jejak Masa Lalu

"Jika kau ingin memulai hidup yang baru, lupakan bayangan masa lalumu!" Ya, kata itu memang sangat mudah diucapkan oleh semua orang termasuk diriku sendiri ketika menyadari untuk memulai kehidupan baru di masa depan. Tapi nyatanya...

Michella91 · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
287 Chs

Ternyata dia...

Pulang sekolah, aku melangkah gontai begitu turun dari mobil bus yang kunaiki dari halte bus di sekolah. Siang ini, entah kenapa sinar matahari begitu tajam seakan menusuk melalui pori-pori kulitku.

"Akh, rasanya haus sekali." aku berbicara seorang diri, beberapa dari banyak orang yang berlalu lalang melewatiku dengan mengendarai sepeda motor, tidakkah mereka merasa kasihan melihatku?

Aku terus berjalan dengan langkah cepat untuk sampai di rumah lalu merebahkan tubuhku di atas kasur. Segala bayangan makanan dan minuman sudah membaur di benakku, kuharap kali ini ibu akan benar-benar menyiapkan makan siang seperti yang kuinginkan.

Saat hendak masuk ke sebuah gang jalanan setapak yang akan menuju ke rumahku, lagi dan lagi entah ini di sengaja atau tidak. Aku bertemu dengan teman Reno, yang sudah kutemui mengingat pagi tadi.

"Hai, Rose!" sapanya padaku dengan senyuman manis, bahkan kini dia mulai berani mengerlingkan matanya padaku.

"Hhai..." sapaku sedikit canggung.

"Kau mau kuantar?"

"Eh? Antar? Me-ngan-tarku pulang?" tanyaku terbata-bata.

Dia kembali tersenyum, senyuman dan tatapannya sungguh lembut. Aku baru menyadari, dia memang tampan dilihat secara dekat.

"Iya, kau terlihat lelah," sahutnya kembali.

"Eng, tidak. Tidak apa-apa, aku sudah biasa pulang dengan berjalan kaki sampai di rumah."

"Rose, kuharap setelah sampai di rumah kau tidak akan marah padaku."

Aku mengernyitkan dahi, mendengarnya berkata demikian secara tiba-tiba, kenapa? Ada apa? Bahkan kini senyumannya seperti mengandung banyak makna.

"Ih, apa yang kau bicarakan? Aku tidak mengerti," balasku mengalihkan.

"Kau akan mengerti saat tiba di rumah nanti."

Aku kembali tercengang, tanpa menjawabnya lagi.

"Ya sudah, aku duluan ya! Sampai berjumpa kembali nanti," ujarnya berpamitan membuyarkan lamunanku.

"Ah, ya! Sampai jumpa," sahutku menanggapinya dengan gelagapan.

Aku pun tak berani menolehnya ke belakang untuk memastikan apakah dia benar-benar sudah pergi atau tidak. Entah kenapa mendadak jantungku berdegub kencang.

Kulangkahkan kaki dengan cepat, sampai kini tiba di depan rumah kak Janet. Kulihat dia duduk di teras berkutat dengan ponselnya, dan kupikir sepertinya dia sedang bertukar pesan dengan seseorang sehingga dia selalu menebar senyuman. Mungkinkah itu Choco?

Arrght... Sial! Tidak seharusnya aku memikirkan tentangnya lagi.

Aku terus melangkah, berpura-pura acuh meski sedikit kuarahkan lirikanku pada kak Janet. Dia sungguh berubah, membuat hati ini sedih. Tidak ada lagi kata sapaan yang begitu ramah darinya, yang selalu menyapa setiap kali aku melewatinya.

Sungguh, aku semakin membenci Choco. Dia bukan hanya memporak-porandakan hati ini, dia juga merusak persahabatanku, kedekatanku dan hubungan baikku dengan kak Janet beserta sang suami.

"Aku pulang..." ucapku ketika sampai di rumah dan membuka pintu rumah.

"Kau baru datang?" tanya ibu menghampiri. Kuraih tangannya dengan santun menyalaminya.

Ini adalah salah satu etika dan ajaran ayah serta ibuku sejak dini. Jika aku melewati hal ini, telingaku bisa melayang.

"Iya, Bu. Aku lapar sekali, aku juga haus. Sangat lelah berjalan kaki dari sisi jalan raya sampai kemari, tidak ada satupun orang yang menawarkan tumpangan padaku. Aku kesal!" aku mengeluhkan segala kekesalanku hari ini.

Sebetulnya bukan hanya itu, aku ingin sekali marah. Tapi pada siapa? Mengingat apa yang kak Janet lakukan tadi, sikapnya sungguh menyinggungku. Aku jadi berpikir mungkin saja itu benar Choco, mereka berhubungan menggila meski ada hubungan darah sekalipun.

"Tuntutlah ilmu dengan ikhlas, kau akan mendapatkan hasil yang memuaskan nanti."

Aku menoleh saat mendengar ucapan dari suara yang sangat aku kenali dan kurindukan.

"Ayah..." segera kumelompat lalu memeluknya dengan erat. "Kapan ayah datang? Aaah... Rose rindu." aku merengek manja dalam dekapan ayahku.

"Sungguh? Kau rindu ayah? Hem... Sepertinya gadis kecil ayah ini hanya rindu pada uang ayah saja," sahut ayah menggodaku.

Aku menyipitkan kedua mataku menatapnya tajam di sertai dengan bibir manyun. Ayah tertawa lepas melihatku demikian, lalu kembali memelukku.

"Hah... Ayah juga rindu, maafkan ayah jarang di rumah dan menemanimu. Ayah harus bekerja, agar kelak kau bisa terus menempuh pendidikanmu sampai tuntas."

"Hem..." kujawab singkat ucapan ayah dengan tatapan haru padanya.

"Cepat, ganti baju seragammu. Lalu makan, ibu masak menu kesuakaanmu." ibu menyela dengan ucapan yang merubah raut wajahku jadi sumringah seketika.

Aku melangkah pergi menuju kamar, rasa bahagia dan haru menjadi satu setelah melihat ayah kembali ke rumah setelah beberapa minggu dia sibuk di luar kota dengan pekerjaannya.

Setelah mengganti seragam sekolahku dengan baju santai, aku berniat segera langsung menuju ke ruang dapur. Akan tetapi, pandangan dan jiwaku seakan tertarik pada ponsel pribadiku.

Aku meraihnya, sebuah pesan pribadi datang dari nomor yang selama ini menjadi penggangguku.

"Aku berharap kau mau menerima tawaranku lain kali. Maaf, selama ini aku tidak berani mengakui siapa aku di depanmu, Rose. Aku sungguh tidak memiliki keberanian yang lebih, karena kau selalu cantik di depanku."

Degh!

Jantungku terasa berhenti, aku sulit bernapas saat ini, kedua tanganku, ah tidak. Sekujur tubuhku, kini mulai gemetaran.

Jadi, benar? Yang selalu menjadi peneror dengan berkedok seorang penggemarku, ialah DIA. Teman kerja Reno, yang kuketahui bernama Choco.

Kyaaaaa...!!!

Kenapa harus bernama Choco lagi, kenapa? Ini sangat menakutkan!

Huh, bagaimana aku akan membalasnya saat ini? Apa yang harus aku katakan saat ini.

"Rose..."

Aku tersentak mendengar suara ibu memanggil di luar kamarku, saat aku sedang mondar mandir mencari jawaban yang tepat untuk membalas pesan laki-laki itu.

"I-iya, Bu?" jawabku terbata-bata dengan segera.

"Cepat makan!"

"Iya, iya. Sebentar lagi Rose keluar," sahutku lagi.

Aku bingung, rasa lapar dan haus yang sejak tadi kutahan sepertinya membuatku tidak bisa berpikir dengan jernih dan dengan akal yang sehat.

Aku meletakkan kembali ponselku di atas bantal. Biarlah, kan kubalas pesan laki-laki itu nanti. Setelah aku mengisi tenaga untuk menyiapkan mentalku, mengatakan banyak hal padanya.

Aku keluar kamar, menuju ruang dapur lalu duduk di meja makan seorang diri. Ayah dan ibu tentu sudah lebih dulu menikmati makan siang bersama tadi.

Makanan di atas meja memang benar menu favorite dan terenak buatan ibu untukku. Akan tetapi, mendadak rasa gugup dan terkejut oleh pesan tadi membuatku jadi hilang selera makan.