webnovel

Janji Suci Yang Ternoda

Lentera_Hati · Sci-fi
Peringkat tidak cukup
15 Chs

Bab 12

Pukul sebelas siang, kedua orang tua Nadine berpamitan untuk pulang terlebih dahulu. Dan saat ini Devian baru kembali setelah beberapa menit keluar. Devian masuk ke dalam ruang rawat Nadine dengan sedikit tergesa-gesa. Nadine yang melihatnya merasa heran, karena tidak biasanya suaminya seperti itu. Devian berjalan menghampiri sang istri sembari membereskan barang yang akan ia bawa pulang.

"Ada apa, Mas?" tanya Nadine.

"Sebelum ayah dan bunda membawamu pulang. Aku akan lebih dulu membawa kamu pergi jauh dari sini," jawab Devian. Ia membantu Nadine bangkit dari tidurnya.

"Mas mau bawa aku kabur." Nadine mengernyit heran.

Devian menghentikan aktivitasnya sejenak. "Tidak ada seorang suami yang membawa istrinya sendiri kabur. Yang ada suami membawa istrinya pergi, agar tetap bersamanya."

"Kenapa kamu diam, apa kamu tidak mau pergi denganku. Kamu tidak mau hidup denganku." Devian menatap wanita yang masih tetap diam di atas berangkar.

"Bukan begitu, Mas. Tapi .... "

"Nadine, aku tahu kesalahanku memang besar. Tapi apa salah jika aku ingin memperbaikinya, tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki dan mempertahankan pernikahan kita." Devian menangkup wajah sendu istrinya.

"Mas sungguh-sungguh ingin mempertahankan pernikahan kita?" tanya Nadine, ia butuh kepastian.

"Iya, Sayang. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakanmu. Kamu mau kan maafin kesalahan aku," ungkap Devian dan dibalas dengan anggukan oleh Nadine.

Tanpa diduga Devian mendaratkan kecupannya di kening Nadine, bahkan dari kening turun ke bawah. Itu adalah untuk pertama kalinya, setelah mereka menikah dan hidup bersama. Selepas itu, Devian merengkuh tubuh mungil istrinya dan memeluknya dengan erat. Nadine begitu menikmati pelukan hangat dari sang suami, rasa nyaman membuat Nadine menenggelamkan wajahnya di dada bidang Devian.

Tiba-tiba saja ponsel Devian berdering, entah siapa yang meneleponnya. Dengan sedikit terpaksa pria berkemeja putih itu mengambil benda pipih itu. Satu panggilan masuk, tertera nama Amara di layar ponselnya. Awalnya Devian ingin membiarkannya, tetapi ia takut ada yang penting. Alhasil Devian menerima panggilan tersebut.

[ Halo, ada apa ]

[ Dev cepat ke kantor sekarang. Ada meeting mendadak ]

[ Apa, memangnya tidak bisa di cancel dulu ]

[ Nggak bisa, makanya aku hubungi kamu. Buruan ke kantor ]

[ Iya ]

Setelah itu Devian mematikan sambungan teleponnya. Pria berkemeja putih itu kembali mendekati sang istri, Devian merasa bimbang. Haruskah ia pergi ke kantor untuk meeting atau tetap di RS dan segera membawa Nadine pergi. Devian menatap wanitanya, sementara Nadine mengernyit bingung.

"Ada apa, Mas?" tanya Nadine.

"Amara nelpon, katanya ada meeting mendadak," jawab Devian.

"Ya sudah, Mas ke kantor dulu aja," sahut Nadine.

"Kalau aku ke kantor, nanti .... "

"Mas jangan khawatir, dokter kan belum ngijinin aku pulang." Nadine memotong ucapan Devian, dengan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir sang suami.

Devian terdiam sejenak. "Baiklah, aku hanya sebentar kok. Setelah urusanku selesai, aku langsung kembali ke sini dan kita pergi."

"Iya, Mas." Nadine tersenyum seraya menganggukkan kepalanya.

"Ya sudah aku pergi dulu ya." Devian mencium kening Nadine dengan begitu lembut, ia juga memeluknya untuk sejenak.

"Hati-hati ya, Mas." Nadine mencium punggung tangan Devian.

"Pasti." Devian tersenyum selepas itu, ia beranjak keluar dari ruang rawat istrinya.

Devian melangkahkan kakinya menyusuri koridor RS. Sejujurnya ada rasa gelisah dalam hati Devian. Ia juga khawatir jika setelah dari kantor mertuanya sudah membawa pulang Nadine. Namun, urusan kantor juga penting, hal itu membuat Devian harus membuang jauh-jauh firasat dan prasangka buruk dalam dirinya. Setelah tiba di parkiran, pria beralis tebal itu bergegas masuk ke mobil.

Perlahan mobil BMW i8 berwarna putih milik Devian melaju meninggalkan pelataran RS. Devian mencoba untuk fokus menyetir, tetapi tetap saja benaknya selalu memikirkan sang istri. Kata-kata kedua orang tua Nadine juga selalu terngiang-ngiang di otaknya. Devian menghembuskan napasnya, mencoba untuk berpikir positif.

***

Mobil BMW i8 berwarna putih telah berhenti di pelataran kantor, dengan segera Devian keluar dari mobil dan bergegas melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung bertingkat tersebut. Para karyawan yang melihat kedatangan Devian, segera memberinya hormat dan sapaan. Sementara Devian hanya tersenyum serta menganggukkan kepalanya. Pria berjas itu langsung melangkahkan kakinya menuju ruang meeting.

"Apa semuanya sudah siap?" tanya Devian pada Amara yang telah menunggunya di depan ruangan meeting.

"Sudah, semuanya sudah siap," jawab Amara.

"Ya sudah, ayo." Devian berjalan mendahului Amara. Sementara wanita dengan seragam kantor itu berjalan mengikuti langkah Devian.

Setibanya di dalam, Devian segera duduk di kursinya, semua orang serta persiapan meeting telah siap. Tidak ingin menunggu lama lagi, Devian langsung memulai meeting tersebut. Jujur, Devian merasa kurang fokus saat meeting berlangsung. Pikirannya terus tertuju pada sang istri, ia takut jika mertuanya benar-benar membawa Nadine pulang. Pria beralis tebal itu tidak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi.

Meeting berlangsung cukup lama, dan setelah selesai Devian bergegas keluar dari ruangan tersebut. Pria beralis tebal itu berniat untuk pulang dan kembali ke RS, tetapi niatnya terhenti saat Amara memanggilnya. Dengan sedikit terpaksa Devian mengurungkan niatnya, ia takut jika ada hal penting yang akan Amara sampaikan. Lantaran selama Devian berada di RS, urusan kantor Amara yang menghandle nya.

"Ada apa?" tanya Devian.

"Pukul tiga sore nanti akan ada pertemuan penting dengan pak Hendrik," jawab Amara.

Devian terdiam sejenak. "Apa tidak bisa dibatalkan."

"Tidak bisa, Dev. Kamu mau kerja sama perusahaan ini batal," jelas Amara. Memang antara Devian dan Hendrik sudah lama menjalin kerja sama.

"Ya sudah. Setelah ini apa ada .... "

"Ada setumpuk berkas yang harus kamu tanda tangani," potong Amara dengan cepat.

"Segera antar ke ruanganku." Devian melangkahkan kakinya menuju ke ruangannya.

"Ok." Amara tersenyum. Setelah itu ia bergegas mengambil berkas tersebut dan segera mengantarkan kepada ke ruangan Devian.

Devian menjatuhkan bobotnya di kursi kebesarannya, tak lupa ia melepas jasnya terlebih dahulu. Baru saja duduk tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Terlihat seorang wanita dengan seragam kantor berjalan masuk ke dalam dengan membawa setumpuk berkas di tangannya. Wanita itu tak lain adalah Amara, sekretaris sekaligus sahabat Devian.

"Ini berkasnya, Dev." Amara meletakkan berkas itu di atas meja.

"Ok, terima kasih," ucap Devian sembari tersenyum.

"Sama-sama, aku keluar dulu ya." Amara membalas senyuman Devian, setelah itu ia beranjak keluar dari ruangan tersebut.

Devian mengambil tumpukan berkas di hadapannya itu. Sebelum jam tiga sore ia harus menyelesaikan tugas itu. Tumpukan berkas itu harus sudah selesai, karena nanti akan ada pertemuan penting dengan rekan bisnisnya. Belum lagi Devian juga harus kembali ke RS, ia harus lebih dulu dari mertuanya. Kini Devian mulai membuka berkas tersebut dan menanda tanganinya.

***

Disebuah kamar apartemen terlihat jika seorang pria dan wanita yang baru saja melakukan hubungan suami istri. Pria itu tak lain adalah Juan, mereka telah menjalin hubungan lebih dari tiga tahun. Dan mungkin saat Alexa masih bersmaa Devian, ia juga sudah menjalin hubungan dengan Juan. Hanya saja Alexa yang terlalu pintar, sehingga Debian tidak mengetahuinya.

"Terima kasih ya, Sayang. Kamu selalu bisa memuaskanku." Juan mencium kening Alexa. Sementara wanita itu tengah menyenderkan kepalanya di dada bidang Juan.

"Sama-sama, Sayang. Aku senang bisa membuatmu selalu merasa puas," ucap Alexa. Ia semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang Juan.

"Aku punya kabar gembira untuk kamu," ujar Juan. Seketika Alexa mendongak lalu merubah posisinya menjadi duduk.

"Kabar apa?" tanya Alexa. Ia merasa penasaran dengan apa yang akan Juan sampaikan.

Juan terdiam sejenak. "Tidak lama lagi pria bodoh itu akan bercerai dengan istrinya."

"Apa, kamu serius." Alexa terkejut mendengar kabar itu.

"Untuk apa aku bohong, Sayang." Juan mencolek hidung Alexa.

"Dari mana kamu tahu?" tanya Alexa.

Juan tersenyum. "Kamu seperti tidak kenal denganku saja, kaki tanganku ada di mana-mana. Jadi sangat mudah untuk memperoleh informasi."

Memang benar apa yang Juan katakan, kaki tangannya yang banyak membuat pria itu sangat mudah untuk mencari informasi. Alexa tidak menyangka jika Juan akan melakukan hal itu. Ia merasa bingung dengan pikirannya sendiri, haruskah ia bahagia jika Devian benar-benar bercerai dengan istrinya. Namun, apa untungnya Alexa bahagia, sementara sekarang ia adalah milik Juan.

Pria yang telah bersamanya sekitar tiga tahun lamanya. Juan juga telah mengambil kehormatan Alexa sebelum mereka menjadi pasangan yang halal. Alexa merasa nyaman saat berada di samping Juan, tetapi dalam hatinya ia masih mengharapkan Devian. Menjalin hubungan sejak masih kuliah membuat Alexa tidak sangat mengenal siapa Devian.

"Sayang, kenapa bengong." Juan menepuk pundak Alexa.

"Ah, enggak kok. Sayang kita shopping yuk, udah lama nggak pergi bareng." Alexa merengek meminta pergi shopping.

Juan tersenyum sembari mencubit pelan hidung Alexa. "Kamu bisa saja, jangankan shopping. Keliling dunia pun pasti aku turuti."

Alexa tersenyum. "Ya sudah aku mandi dulu ya."

"Mandi bareng ya." Juan menahan lengan Alexa saat hendak bangkit.

"Ok, tapi jangan macam-macam," ujar Alexa. Mengingatkan.

"Baik, Sayang," ucap Juan.

Tanpa diduga Juan langsung membopong tubuh Alexa yang masih terbungkus oleh selimut. Juan membawa Alexa masuk ke dalam kamar mandi.

***

Waktu terasa begitu cepat berlalu, matahari yang awalnya berada di atas kepala kini telah tenggelam di ufuk barat sana. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore, dan Devian baru selesai dengan pekerjaan kantornya. Dengan tergesa-gesa, Devian berjalan menyusuri koridor kantor. Pria berjas hitam itu melangkahkan kakinya menuju ke parkiran. Setelah masuk ke mobil, Devian melepas jasnya dan bergegas melajukan mobilnya.

"Aku harus cepat sampai ke RS, perasaanku nggak enak." Devian melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Rasanya ia ingin cepat sampai di RS.

Saat Devian tengah fokus menyetir, tiba-tiba ponselnya berdering. Pria beralis tebal itu melirik benda pipih itu dan tertera nama Sarah, ibunya. Devian mengernyit heran saat melihat jika ibunya yang menelpon, takut ada yang penting. Devian terpaksa menepikan mobilnya terlebih dahulu, setelah itu ia mengangkat telepon dari Sarah.

[ Assalamualaikum, Ma ]

[ Wa'alaikumsalam, Dev kamu sudah pulang dari kantor kan. Tolong ke rumah ya, ada yang ingin mama bicarakan ]

[ Soal soal, Ma. Dev buru-buru mau ke RS, besok bisa kan ]

[ Nggak bisa, kamu harus ke rumah sekarang. Ada tante Mita sama Om Pram ]

[ Maaf, Ma. Dev nggak bisa, assalamualaikum ]

Tanpa menunggu jawaban dari ibunya Devian langsung mematikan sambungan telepon tersebut. Selepas itu ia meletakkan benda pipih itu dan bergegas kembali melajukan mobilnya. Perasaannya sedari tadi tidak enak, pikirannya selalu tertuju pada Nadine. Devian terus menambah laju mobilnya, ia berharap jalanan tidak macet agar bisa cepat sampai ke RS.

Tidak butuh waktu lama, kini mobil Devian sudah berhenti di pelataran RS. Dengan segera pria beralis tebal itu keluar dari mobilnya dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung bertingkat itu. Dengan tergesa-gesa Devian berjalan menuju ke lantai dua di mana ruangan Nadine berada. Setibanya di lantai dua, Devian berjalan menuju ruangan anggrek kamar nomor 2415.

Dengan napas yang sedikit terengah-engah Devian tiba di depan ruang rawat Nadine. Pria berkemeja putih itu segera membuka pintu kamar tersebut. Devian masuk ke dalam, tetapi kamar nampak kosong. Mata elangnya tertuju pada brangkar, di mana istrinya berada. Namun sayang, wanita berjilbab itu tidak ada, seketika pikiran Devian menjadi kacau. Rasa khawatir yang sedari tadi melanda hatinya seakan telah terjawab.

"Nadine, kamu di mana." Devian berjalan menuju kamar mandi, berharap istrinya berada di dalam.

Namun hasilnya nihil, Nadine tidak ada di kamar mandi. Perasaan Devian semakin tidak karuan, terlebih saat melihat berangkar sudah rapi. Barang-barang milik Nadine juga sudah tidak ada, Devian memutuskan untuk keluar dan berlari menuju ke tempat pendaftaran untuk menanyakan di mana Nadine berada.

Devian berpikir jika mertuanya yang telah membawa istrinya itu pulang. Jika benar itu tandanya ia harus berjuang untuk bisa bertemu dengan sang istri.

"Sus, pasien di ruangan anggrek kamar nomor 2415 di mana ya?" tanya Devian.

"Sebentar, Pak. Atas nama siapa ya," jawab suster tersebut.

"Nadine Alifiya Farhana," sahut Devian. Sementara suster itu segera mengeceknya.

"Maaf, Pak. Ibu Nadine sudah keluar dua jam yang lalu," balas suster tersebut.

Deg, jantung Devian terasa berhenti berdetak. Dugaannya benar jika mertuanya telah membawa Nadine pulang. Rasanya dunia berhenti berputar, persendian Devian terasa lemas. Pria berkemeja putih itu tidak menyangka jika mertuanya benar-benar ingin memisahkan dirinya dengan sang istri. Devian mengerang frustasi, ia tidak peduli meski banyak orang yang memandanginya.