"Eh, Lan, menurut loe enaknya kita selidiki Nina dari mana dulu ya? Sejujurnya gue bingung juga si. Secara 'kan ya dia anak baru dah gitu kaya ada udang dibalik bakwan-"
"Makanan mulu otak lu, Lang. Gini deh, kita 'kan udah dapet ni alamat rumah dan alasan kenapa dia pindah ke sekolah kita. Mendingan sekarang kita pantau keadaan rumahnya dulu deh."
"Iya bener sih, tapi kenapa si pake walkie talkie begini? Kita 'kan cuma kepisah tiga langkah di gang sini dan lagi kita malah jadi pusat perhatian orang karena berisik."
Gilang sontak menoleh. Ia mematikan walkie talkie yang di genggamnya dan tersenyum selebar kuda.
"Lupa gue gegara keasikan. Haha."
"Si bego."
"Lu juga sama begonya, sadar."
Gilang memberi kode ke Lana agar melambatkan jalannya dan memperhatikan rumah besar diujung jalan. Dengan gaya stylish, Lana duduk di bangku sekitar taman kecil di sana dan Gilang masuk ke cafe dan bermaksud memantaunya dari sana karena letak cafe itu tepat sekali di depan rumah Nina.
Gilang memesan secangkir kopi tanpa sekalipun melepaskan pandangannya dari rumah besar itu. Gayanya klasik dan banyak hiasan patungnya. Hm, seleranya bagus juga. Mungkin orang tua Nina adalah seniman? Atau hanya sekadar penikmat seninya saja? Bisa jadi 'kan?
Gilang menyeruput perlahan kopinya sembari mengamati keadaan sekitar. Lana juga terlihat sedang duduk santai ala oppa-oppa Korea, duduk dengan kaki terlipat rapi, tangan yang menunjukkan gesture seolah membaca, dan jangan lupa dengan fashion-nya yang trendy sekali.
Lana mendengar sayup-sayup suara Nina tak jauh dari bangku tempatnya duduk. Ia melirik dengan ekor matanya dan menangkap bahwasanya siluet itu betul Nina. Mereka bergerak melewatinya begitu saja. Mereka?
"-ras kepala kamu tuh, padahal doi dah ada yang baru. Ga percaya banget sih?"
"It's okay, aku masih mau bertahan. Aku sudah selama ini nunggu, kalau memang dia mau niatnya sudahan, ya harusnya dia hubungi aku dan bilang selesai, 'kan, Nin?"
"Kamu bener. Mungkin saking sudah nge-hype sama barang baru, doi jadi lupa bahkan hanya untuk kasih kabar."
"Dah lah, ga usah dibahas lagi, Nin."
"Oke deh, eh, kamu jadi mau nginep di rumah aku 'kan, Di?"
"Jadi-"
Lana tercenung. Ia melihat Nina dan orang yang mirip Nadia berjalan melewatinya dengan sangat perlahan. Niat hati ingin memanggil, tapi apa daya lidahnya kelu. Lana dengar betul kalau Nina memanggil temannya tadi dengan sebutan Di. Apa itu benar Nadia? Kalau benar itu Nadia, untuk apa dia menghindari Nanda yang setengah mati mencarinya? Dan mengapa gadis tadi malah berkata seolah Nanda yang melupakannya?
Gilang melihat Lana yang tergugu, tangannya meremat kuat celana bahannya. Ia tahu bahwa ada yang tak beres dengan Lana di sana. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya mendekati Lana dan mengabaikan kopinya begitu saja.
"Lana, lo gapapa?"
Lana terkejut dan mendapati Gilang sudah di hadapannya.
"Kok lo di sini?"
"Gue lihat lo kaya zone out gitu pas Nina lewat, jadi gue putusin ke sini. Kenapa sih?"
"Lah kan ada walkie talkie. Lo tu kadang suka aneh ya."
"Iya si, tapi yaudah lah ga penting, tadi kenapa?"
Lana menghembuskan nafasnya kasar. Ia dilema. Bilang atau tidak?
"Malah bengong ni bocah. Kenapa woy?"
"Duh! Duduk dulu kek sini. Bediri mulu jadi tiang lo lama-lama."
"Udah. Buru cerita, lama."
"Iya, bawel. Jadi gini, lo pasti juga lihat kalo yang lewat di depan gue tadi itu Nina 'kan? Tapi yang musti lo tau, tadi gue denger percakapan mereka."
Lana menyamankan posisi duduknya sebentar.
"Gue denger Nina manggil cewek itu Di. Dan mereka kayak lagi ngebahas hubungan Nanda sama Nadia yang lo tau lah ga ada kejelasan sampai sekarang. Gue berasumsi kalo cewek itu adalah Nadia karena emang mirip banget Lang, dan kalo itu memang bener Nadia, kenapa dia tadi bilang kalo si doi gak pernah sekalipun kasih kabar dia? Bukannya yang kita tahu itu malah Nanda selalu berusaha susah payah biar bisa hubungin Nadia? Lo tau lah perjuangan Nanda kaya apa."
Gilang nampaknya syok mendengar cerita Lana. Ia berkedip beberapa kali untuk meyakinkan bahwa ia tak salah dengar.
"Lo yakin Lan itu benar Nadia?"
"Yakin, tapi belum 100 persen. Soalnya gue cuma dengar Nina manggil Di, dan gak ada nama Nanda yang keluar dari mulut mereka juga. Pokoknya kita harus bisa cari tahu siapa si Nina ini. Kalau memang dia itu mata-matanya Nadia, berarti dia ke sekolah kita buat cari tahu kehidupan Nanda sekarang."
"Lo benar. Kita ga boleh lengah sedikitpun, Lan."
**
Pagi hari menyapa. Riuh cicit burung saling bersahutan, namun tampaknya tak bisa mengalahkan kegaduhan yang terjadi di ujung koridor kelas XI. Tidak lain tidak bukan, Nanda dan Nayla. Dua sejoli ini sudah terkenal seantero sekolah karena setiap pagi pasti ada saja yang diributkan keduanya. Ibarat air laut dan air tawar, sama-sama air tapi tidak bisa menyatu. Pasti selalu ada sekat diantara keduanya. Dan sudah jelas 'kan siapa yang jadi sekatnya?
"Ay, lo mau nyalin PR gue 'kan? Yuk ke kelas!"
"Eh, siapa yang bilang kalo lo sudah boleh ke kelas, sa-yang?"
Nayla melirik pergelangan tangannya yang digenggam oleh Nanda. Lembut memang, tapi Nayla tidak mau semakin jatuh nantinya.
"Ih, lepasin gak? Gue mau ke kelas nih. Lo gak lihat tuh Ayla sudah manyun? Dikit lagi bel masuk. Bisa diamuk gue."
"Terus lo ga takut gue yang ngamuk?"
Sabar Nay. Kalau menghadapi lelaki macam Nanda memang harus ekstra sabar. Coba pakai jurus lain mungkin bisa, Nay.
Nayla menarik napasnya perlahan dan menghembuskannya. Sejurus kemudian ia tersenyum manis dan mengusap genggaman Nanda di tangannya dengan tak kalah lembut.
"Nanti kita ketemu di lab lagi ya, sa-yang. Sekarang aku mau masuk kelas sebelum Ayla berubah jadi macan. Bye."
Nanda tergugu. Benaknya kacau balau. Tapi, tidak! Tetap ia hanya boleh memikirkan satu nama saja di hatinya. Tidak boleh lengah barang sedetik pun agar hatinya tak goyah oleh perempuan semanis Nayla.
"Oke, nanti di lab ya, sa-yang!"
Selepas dari mengganggu Nayla, Nanda berbalik dan ingin menuju kelasnya. Belum juga sampai, ia mendapati Nina berdiri membelakanginya dengan ponsel bertengger di telinganya. Rupanya ia sedang menelpon, tapi siapa yang ada di seberang sana?
"Jangan di tengah jalan kalau mau ngobrol. Merugikan orang lain saja."
Nina mendiamkannya dan hanya bergeser sedikit. Ia menyeringai di balik percakapannya.
"Dengar saja, kabarnya dia makin menjadi loh sikapnya, tapi bisa ya begitu? Padahal dia dulunya kukuh bilang setia tapi nyatanya nikung. Ya ampun, kasihan 'kan? Haha iya-"
Dengan kernyitan dalam di dahinya, Nanda mempercepat langkahnya. Entah kenapa ia merasa tersindir dengan ucapan Nina barusan. Apa itu sengaja ditujukan padanya? Tapi tidak mungkin 'kan kalau ia membicarakannya? Apa mungkin dia yang anak baru sudah tahu tentang kabar itu? Kalaupun betul, cepat sekali ia mendapat infonya.
Perempuan ini aneh dan sangat mengganggu baginya. Perasaan seperti tertusuk duri selalu hadir bila Nanda melihat Nina. Bukan. Nina bukan Nadia, tapi kenapa rasanya ada batu yang menghipit dirinya sebegini berat? Andai kata Nina adalah kunci agar ia bisa bertemu Nadia, apakah ia akan rela mencari Nina dan memohon sampai bertekuk lutut di hadapan Nina? Sedangkan Nina saja sepertinya sudah membencinya sejak pertama kali bertemu. Entahlah, Nanda tidak akan berpikir sampai sejauh itu.
Tak lama setelah Nanda masuk ke kelas, Lana dan Gilang datang mendekat dengan heboh. Betul, mereka ingin melaporkan kejadian kemarin pada Nanda secepat mungkin.
"Nan!"
"Gak usah pake teriak, Gilang. Kenapa?"
Lana duduk dan meminum air yang dibawanya dari rumah. Napasnya sedikit tersengal.
"Lo dari mana aja sih? Kita cariin juga dari tadi."
"Biasa. Emang ada apa an sih? Tumben amat."
"Kita mau kasih laporan soal cewek itu. Sebenarnya kita sudah coba kontak lo semalem, cuma kayanya lo udah tidur, jadi kita putusin ceritanya di sekolah aja."
"Terus? Kalian dapet apa kemarin?"
"Gini Nan, sebenarnya kemarin itu gue lihat yang mirip Nadia lagi bareng sama Nina di sekitar rumah Nina. Tapi, agak aneh."
"Aneh gimana, Lan?"
"Pas dia lewat depan gue, gue denger kalo dia bilang doi nya ga pernah hubungin dia, dan cuma dia yang bertahan. Di percakapan itu kita gatau persis yang lagi omongin itu bener lo apa bukan, soalnya dia gak sebut nama. Nina juga cuma manggil dia dengan sebutan Di, jadi kita juga rancu. Terlebih dia pake kursi roda kaya yang gue bilang waktu itu."
"Suaranya gimana?"
"Yee, kita 'kan gak pernah denger langsung suaranya bro, lo 'kan gak pernah ajak main bareng pas SMP dulu."
"Iya, bener. Pokoknya dia pakai aku-kamu ke Nina, suaranya agak serak dan sedikit cadel gitu."
"Nadia?"