"Kevin? Mengapa kau melamun?" Albert menjetikkan jarinya tepat di depanku.
Aku tersentak kaget.
"Hm. Seperti biasa." dia menghela napas. "Kau tahu kan, di sini kita tak boleh melamun?"
"I-iya. Tapi aku tak melamun, Albert. Aku hanya ingat obrolan dengan Jane tadi."
"Apa?" dia nampak terkejut. "Kau mengobrol dengan Jane?"
Aku mengangguk. "Kenapa?"
"Jane itu anak pengganggu yang sedang berusaha mendekati kau, Kevin. Dia berupaya mencuci otak agar kau merasa, bahwa dia adalah anak yang baik. Hantu bisa melakukan segala cara untuk menjebak manusia agar masuk dalam rencana busuknya. Mengapa kau bisa dekat dengan mereka tanpa memberitahuku? Bukankah kata Pak Peter kita berada dalam bahaya? Maksudku, kita harus berjaga-jaga dan jangan dekat dengan para hantu."
Kali ini, aku dibuat bingung dengan pernyataan Albert. Sebelumnya, aku sedikit merasa tenang saat Jane memberitahuku soalan itu. Namun saat aku mendengar Albert berbicara, aku merasa suatu hal yang lain, lagi.
Ujung mataku tiba-tiba menangkap sosok Jane yang sedang duduk di dekat piano tua itu. Ketika aku meliriknya, dia tampak memperhatikanku dengan raut datar, tanpa ekspresi.
Aku tak bisa menangkap apa maksud dari semua ini. Rasanya, aku benar-benar berada dalam lingkup yang sungguh membingungkan.
"Albert, aku rasa, aku belum pernah mendengar Pak Peter mengatakan hal itu. Dari mana kau tahu?" tanyaku penasaran. Berusaha mencari seluk beluk informasi darinya.
Lagi pula, aku tak mau merugikan siapapun. Keberadaan kami di sini, adalah sama-sama korban yang kami sendiri tak tahu kapan semua penderitaan ini akan selesai.
Kami harus sama-sama saling melindungi masing-masing. Aku dan Albert tahu jika sedikit saja kami salah melangkah, maka akan berakibat fatal.
Tentu, kami harus berhati-hati untuk itu.
"Malam tadi setelah kejadian itu, Pak Peter datang kemari."
Aku terkesiap. "Benarkah? Mengapa kau tak membangunkanku?"
"Kevin, teman mana yang tega?" Albert menyela. "Setelah kejadian itu, aku tak tega membangunkan kau karena saat itu, kau sedang terlelap pulas."
Aku membenarkan ucapannya. "Lalu, kau bicara apa saja dengan Pak Peter? Apa dia menanyakan aku?"
"Tentu. Dia kemari karena dia tahu bahwa kau telah bermimpi buruk. Katanya, dia sangat khawatir dan ingin sekali mengobrol banyak hal dengan kau. Sampai sebelum pulang, dia menitipkan sesuatu kepadaku untuk diberikan kepadamu."
"Oh ya? Apa itu?" aku merasa penasaran.
Albert beranjak pergi ke dapur. Saat kuperhatikan dari sini, dia tampak membawa sesuatu dari sebuah laci.
"Ssttt!!!"
Perhatianku seketika teralih saat mendengar Jane berusaha usil.
Aku melirik Albert yang tampak sibuk, lalu kembali melirik Jane.
"Kenapa?" tanyaku pelan.
Gadis kecil itu tertawa kecil. "Kau terlihat serius sekali. Bawa santai saja."
Aku berdecak. "Terserah aku saja!"
"Tapi itu sangat lucu."
"Sudah, sana sana!" aku memintanya pergi. "Jangan dulu ganggu aku."
"Wah marah nih?"
"Kevin?" Albert memanggilku sambil berjalan mengambil sesuatu. "Ini." setelah duduk, dia memberikan kotak berwarna coklat tua itu kepadaku.
Kotak ini terlihat asing sekali. Rasanya, aku belum pernah melihat kotak unik dengan ukiran yang begitu mewah. Meski tetap saja, benda-benda di sini selalu menyimpan misteri yang tak bisa dipahami dengan mudah oleh logika.
"Apa ini?" aku bingung.
"Coba buka." pinta Albert.
"Wow. Kalung?" aku mengambil benda kecil itu dari tempatnya. Tampak sedikit usang, namun ada batu berwarna putih yang sangat mengkilap di liontinnya.
"Wow!" Albert ikut terkesima. Dia tampak kagum melihat kalung yang aku pegang. "Bagus sekali."
"Iya. Bentuknya sangat unik. Apa kau diberi juga?"
Albert menggelengkan kepalanya. Terlihat, ada sedikit raut kecewa ketika aku meliriknya.
Aku jadi teringat kejadian malam itu, di mana Pak Peter datang dan memberikan sebuah cincin kepadaku. Rasanya, aku terlalu banyak menerima barang pemberian dari beliau sedangkan Albert, yang telah lama di sini tidak sama sekali mendapatkan benda serupa darinya.
Aku menarik tangan Albert kemudian memberikan kalung itu kepadanya. "Pakailah. Aku rasa, kalung ini lebih cocok kau yang pakai."
"Eh kenapa?" dia terkejut. "Bukankah ini hadiah untuk kau, Kevin?"
Aku tersenyum. "Tak apa, Albert. Kau pakai saja."
"Tapi, bagaimana nanti jika Pak Peter menanyakan kalung ini mengapa dipakai di leherku? Apa yang harus aku jawab?"
"Bilang saja, aku tak pantas memakainya. Nanti kalau kau tak berani, aku saja yang bicara kepada Pak Peter."
Albert tersenyum. Dengan segera dia pakai kalung itu di lehernya.
Patut aku akui, kulit Albert jauh lebih putih daripada aku. Mata dia sipit dan perawakannya tinggi, dan ideal. Ketika dia tersenyum, matanya ikut terpejam. Kadang aku tertawa melihat dirinya tertawa. Bukan karena leluconnya, tapi karena matanya yang seolah ikut terpejam ketika dia tertawa.
Maka tak heran saat sekolah dulu, Albert seringkali ditegur oleh teman-temannya dengan kalimat,
'Hei. Ini masih siang, mengapa kau masih tidur?'
Begitupun dengan kalung itu, Albert tampak lebih cocok mengenakannya daripada aku.
"Baiklah. Aku akan ke atas dulu." seruku sambil menaiki tangga yang kemudian dibalas anggukan oleh Albert.
Semakin waktu, aku mulai sedikit terbiasa dengan apa saja yang aku lihat, aku dengar, atau aku rasakan di sini. Ternyata, apa yang dikatakan oleh Albert saat itu benar. Jiwa beraniku akan terbentuk ketika tinggal lama di sebuah tempat yang penuh misteri seperti rumah ini.
Padahal jika dilihat-lihat, rasanya sayang sekali. Rumah mewah dengan desain yang begitu apik dan detail, harus dicap sebagai rumah horor dengan penghuni yang terpaksa harus berani seperti aku, hehe.
Ceklek!
Aku membuka pintu kamar dan membiarkannya terbuka.
Wushh!!!
Angin panas seketika aku rasa saat menginjakkan kaki di depan kamar Albert. Perasaan mulai tak enak.
Sesekali, aku melirik ke kanan kiri karena was-was. Rasa takut selalu menyergap tubuhku kapan saja. Apalagi, aku selalu khawatir saat bulu kuduk di tengkukku tiba-tiba meremang tanpa sebab. Entah itu di pagi hari, siang hari ataupun malam hari.
Aku pernah merasakannya semua.
"Halo? Jane?" sapaku dengan ragu.
Tidak ada jawaban satupun.
Aku lantas membuka jendela dengan lebar agar cahaya kamar semakin terang. Kalau di rumah, aku senang jika kamar terlihat redup karena cahaya yang masuk seringkali membuat mata silau dan sulit tidur. Namun jika di tempat ini, entahlah. Aku tak berani jika harus sendirian di tempat yang redup apalagi gelap.
Merasa suasana sedikit aman, aku bergegas mengambil handuk lalu mandi.
Cukup aku akui, air di sini sangat segar sekali. Tak pernah aku temui di tempat lain bahkan di air terjun sekalipun. Begitupun dengan Albert, kita berdua mengakui hal yang sama.
Ternyata benar, jika ada kekurangan di setiap tempat, pasti ada kelebihannya juga.
Meski aku banyak mengalami hal yang tak aku alami di kediamanku, namun aku banyak menjumpai keindahan yang tak aku temukan di tempatku sana.
Keberadaan aku di sini, mungkin akan menjadi cerita paling bersejarah yang pernah aku rasakan dan akan selalu aku ingat kemudian.
Itupun, jika aku bisa pulang dengan selamat...