Eve menunggu apa yang akan Ralio katakan. Batas waktu yang sangat tipis, sudah Eve luangkan karena Eve tidak ingin mendengarkan hal yang akan melukai hatinya terlalu lama.
"Nona Eve, ke mana saja beberapa hari ini?" tanya Ralio.
"Tuan Ralio, saya rasa, ke mana saya pergi, tidak perlu Anda mengetahuinya."
"Kita tidak bisa bicara di sini!"
Ralio menarik Eve bersamanya menuju sebuah mobil. Mobil mewah berwarna putih yang terparkir.
Eve mengerutkan keningnya. Dia sedikit heran dengan mobil yang saat ini sudah Eve masuki.
'Mobil ini berbeda dengan mobil yang aku lihat hari ini. Apa aku salah lihat?' batin Eve.
"Nona Eve, sebelumnya saya mau minta maaf soal kejadian malam itu..."
"Apa dia kekasihmu?" Eve tidak mau bertele-tele. Dia memutus kalimat Ralio dengan pertanyaannya yang langsung tepat pada inti.
"Apa?"
"Wanita yang bersamamu pagi ini. Apa dia kekasihmu? Kekasih yang kau katakan sebelumnya?" suara Eve terdengar setengah berteriak. Membuat Ralio menjadi sedikit gugup.
"Ah, dia..."
"Melihatmu gugup, aku rasa dugaanku benar! Kalau begitu, tidak ada yang harus kita bicarakan lagi!"
Eve membuka pintu mobil. Ralio geram karena tidak ada kata yang terucap dari bibirnya. Kata maaf bahkan penjelasan, belum ada satu kalimat tapi Eve sudah akan meninggalkannya lagi.
Apa yang sedang Eve lakukan sebenarnya? Meski hanya 5 menit waktu yanag dia berikan, seharusnya Ralio yang bicara, bukan malah Eve yang memutuskan dengan pertanyaan yang bahkan Ralio belum menjawabnya.
Ralio menarik lengan Eve sebelum Eve berhasil membuka pintu mobil. Kali ini, Ralio mencium bibir Eve. Sebuah ciuman yang terjadi disaat Eve sadar tanpa pengaruh alkohol.
'Apa-apaan pria ini? Dia menciumku tapi aku bahkan bukan kekasihnya,' batin Eve.
Ralio melepaskan ciumannya. Ralio mengusap bibir Eve dengan lembut. Bibir yang belum seberapa basah karena Ralio hanya melumatnya beberapa saat.
"Dengarkan aku bicara dulu, oke!" akhirnya Ralio tidak memakai bahasa formal lagi.
"Kalau begitu, lepaskan tanganmu!" jawab Eve.
"Aku tidak akan melepaskanmu, Eve! Kalau aku memberikanmu ruang, sudah pasti kau akan kabur dariku," ucap Ralio.
Sikap Ralio sedikit berbeda. Dia tegas, bukan seperti Ralio yang biasanya yang selalu bersikap aneh tapi terlihat manis.
'Posisinya terlalu dekat. Bagaimana aku bisa menjadi pendengar yang baik?' batin Eve.
"Dia bukan kekasihku! Aku memiliki kekasih, tapi bukan dia!" ucap Ralio tanpa mengalihkan pandangan matanya.
"Oh!" Eve tersenyum masam sembari mulai menunduk tapi Ralio mencegahnya.
"Jangan berpaling. Tetap lihat aku, Eve!"
"Mungkin saja kekasihmu sedang menunggumu."
"Sungguh? Dia bahkan menolakku. Mengatakan menyesal setelah menikmati malam yang panjang denganku. Kekasihku sangat unik. Dia mengatakan kalau dia lupa sudah merenggut kesucianku," jelas Ralio.
'Dia bahkan sudah melakukannya dengan wanita lain. Kalau kesuciannya diberikan pada kekasihnya, aku hanya dapat sisa?' batin Eve.
"Kalian sudah melakukan hal itu bersama, seharusnya kau mengejarnya."
"Aku memang sedang mengejarnya," Ralio mengecup punggung tangan Eve.
"Ralio, jangan pedulikan aku! Aku akan mendukung hubunganmu dan kekasihmu. Kau tidak perlu khawatir kalau aku akan mengacau. Malam itu diantara kita hanya..."
"Benar, bukan? Kekasihku saat ini sedang mendorongku menjauh?" Ralio semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Eve.
"Apa?"
"Bukankah malam itu kau sudah menjadi kekasihku? Dari awal, kau sudah aku anggap menjadi kekasihku. Malam itu, aku sudah menyerahkan diriku padamu, Eve."
"Ha?" Eve menjadi bodoh seketika. Semua ucapan Ralio belum masuk dalam otaknya.
"Jangan mengatakan kalau malam itu adalah sebuah kesalahan. Aku sangat bahagia melakukannya denganmu."
'Sebenarnya, Ralio mau bicara apa? Tuhan, kenapa aku menjadi bodoh? Apa penggiling kepintaran dalam otakku sedang rusak?' batin Eve panik.
Ada perasaan senang, bahagia sampai tidak bisa diungkapkan oleh kata. Tapi Eve masih menahan dirinya untuk tidak terlalu senang sebelum semuanya jelas.
"Eve, aku mencintaimu!"
'Tuhan, bolehkan aku pingsan sekarang? Jantungku mau meledak. Apa aku akan mati dengan cara konyol karena ungkapan cinta? Benar. Ralio--ralio sungguh mengatakan cinta?' batin Eve.
"Ralio, jangan menyanjungku kalau kau akan menjatuhkanku," Eve berusaha mengontrol diri.
Ralio menghela nafasnya lalu menyandarkan kepalanya dipundak Eve. Ralio terlihat lesu, seperti ada sebuah kekhawatiran yang tersimpan.
"Malam itu aku takut melakukannya tapi aku pikir, kau akan menjadi kekasihku. Aku mencintaimu, Eve. Aku kira kau juga memiliki perasaan yang sama. Aku tersadar saat pagi hari saat kau bangun."
"Ah, itu sebenarnya..."
"Aku kecewa karena aku terlalu meninggikan diriku sendiri. Aku memilih meninggalkanmu di hotel karena aku tidak sanggup melihatmu yang menolak karena sudah menghabiskan waktu bersamaku."
"Sebenarnya kau tidak mendengar semua perkataanku," Eve menjadi luluh.
"Ah? Apa ada yang jauh lebih sadis lagi? Untung saja aku sudah pergi!" Ralio menghela nafasnya.
"Bukan. Malam itu juga kau tahu kalau itu kali pertama untukku. Aku sangat senang sampai aku lupa ingin mengatakan apa tapi aku kecewa. Kecewa karena aku tidak ingat. Tidak ingat sedikitpun," jelas Eve.
"Apa sekarang kau sedang mabuk?" tanya Ralio sembari kembali menatap mata Eve.
"Tidak."
"Ayo kita lakukan lagi sampai kau ingat keindahan malam itu yang akan tertimpa dengan malam ini!"
***
Nyonya Calista sudah siap dengan apa yang akan dia bawa. Nyonya Calista ingin menemani Guin. Tanpa Gavin dan Guin, rumah yang sedang dipijaknya seperti gua. Meski terang tapi tetap tampak gelap.
"Li, kau mau pergi ke mana?" tanya Tuan Grissham.
"Melihat Putriku yang terbaring sakit!" jawab Nyonya Calista.
"Ayo kita pergi bersama," ajak Tuan Grissham.
"Maaf, hubungan kita tidak sedekat itu sampai kau bisa mengekorku!"
Luka hatinya terlalu dalam tapi cintanya juga sama. Sepertinya, sepetak harta, hak miliknya hanya alasan karena semata-mata, Nyonya Calista tidak ingin pergi dari sisi Tuan Grissham.
"Li..."
"Maaf, Nyonya! Ini teh yang Nyonya minta," ucap Bibi Ran.
Ada dua cangkir teh yang tersedia. Tuan Grissham langsung meneguk dan menghabiskannya, sedang Nyonya Clista duduk dan minum dengan begitu anggun.
"Kau tidak pernah berubah, Li. Kau tetap sama seperti kita muda dulu."
"Berhenti untuk bicara omong kosong. Aku sudah terlalu muak mendengarnya. Bukan aku yang berubah tapi kau yang mengubahku, Gris!"
Nyonya Calista beranjak dari tempatnya duduk. Sesampainya ditengah pintu, dia merasakan kepalanya sakit dan semakin berat.
BRUKKK!
Barang yang dibawa Nyonya Calista jatuh membuat Tuan Grissham terkejut. Tuan Grissham menghampiri Nyonya Calista dan memapahnya.
"Li, apa kau sedang sakit?"
"Bawa aku ke kamar!" pinta Nyonya Calista.
Ada sesuatu yang menagih. Sesuatu yang tersembunyi selama 28 tahun sejak hamil Gavin. Tubuhnya terasa panas, pandangannya mulai tidak sejalan dengan otak.
'Uhhhhh... Panas sekali,' batin Nyonya Calista.
Tuan Grissham membawa Nyonya Calista masuk ke dalam kamar. Kamar pribadi yang tidak pernah dia lihat.
"Griss, apa yang kau lakukan padaku?" teriak Nyonya Calista sembari menjauhi Tuan Grissham.
"Apa yang kau bicarakan?"
"Kau memasukkan obat apa ke dalam minumanku?"