Tringgg… (Ponsel berdering)
"Ga--gavin, ponsel milikmu…"
"Tapi aku ingin Guin yang berdering," goda Gavin.
"Tapi…"
"Hstttttt…" Gavin menyentuh bibir Guin dengan jari telunjuk miliknya. Guin langsung terdiam dengan tindakan Gavin yang berubah seperti pria dewasa yang nakal. "Guin, apa aku yang seperti ini membuatmu takut?" tanya Gavin sembari mengecup mesra jari jemari Guin.
"Ti--tidak!"
'Dasar bodoh! Aku tidak bisa menolak pesona Gavin,' batin Guin.
Ekspresi wajah Gavin yang merona, memerah, malu-malu, juga tatapan matanya yang hangat, membuat Gavin menjadi jauh lebih menggoda dari waktu ke waktu.
Guin memejamkan matanya saat lidah Gavin mulai menyentuh jemarinya. Jari telunjuk Guin, masuk ke dalam mulut Gavin, bermain dengan lidah Gavin.
Sensasi geli yang menggelitik, perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata. Guin menggigit bibirnya sendiri untuk menahan gejolak yang tidak Guin pahami.
"Jangan menggigitnya," pinta Gavin.
Tangan Gavin menutup mata Guin. Wajahnya mendekat sampai deru nafasnya menyerbu wajah Guin.
"Guin!" suara Gavin seperti suara bisikan.
Suara Gavin terdengar berat. Serak-serak basah. Membuatnya semakin sexy dalam angan-angan Guin.
"Gavin, jangan tiup!" pinta Guin.
Benar. Gavin berhenti meniup telinga Guin tapi dia melanjutkannya dengan menjilat. Guin menutup bibir Gavin.
"Jangan melakukan itu lagi!" kata Guin.
Posisi mereka sudah berubah. Bukan lagi Guin berada di bawah dan Gavin berada di atas. Posisi mereka menjadi bersebelahan. Gavin berada disebelah kiri Guin.
"Kenapa?" tanya Gavin manja.
"Ka--karena…"
'Bagaimana aku mengatakannya?' batin Guin.
"Apa waktu kita terlalu longgar sampai Istriku memiliki waktu untuk memikirkan hal lain?"
"Gavin, aku malu!" Guin membenamkan wajahnya yang memerah didada bidang Gavin.
Deg…. Seerr….
Guin mendengar debaran jantung Gavin yang hampir meletak. Darah Gavin berdesir saat tangannya menyentuh punggung halus Guin yang sudah kering dari air rambutnya yang tidak lagi menetes.
"Halus dan hangat," kata Gavin.
Gavin melepaskan kemeja yang dia pakai. Guin sampai bingung dengan tindakan demi tindakan yang Gavin lakukan.
Sebenarnya, apa yang sedang Gavin lakukan? Apakah Gavin hanya semata-mata menggoda Guin? Atau Gavin sedang melakukan praktek materi yang dia baca sesuai dengan apa yang dia katakan?
"Apa Guin sudah merasa hangat?" tanya Gavin.
"Eh!" hanya satu kata yang keluar dari mulut Guin ditengah-tengah kebingungannya.
Hari masih terlalu pagi untuk menikmati sarapan bersama. Guin tenggelam dalam pelukan Gavin. Tubuh yang merasa dingin, sekarang mulai hangat.
Gavin menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka. Handuk yang Guin pakai sudah terlepas. Tubuh Guin menempel pada tubuh Gavin yang terbuka. Gavin membuka kemejanya untuk berbagi kehangatan tubuhnya.
'Bukan hanya sekedar hangat, tapi sangat nyaman,' batin Guin.
"Guin, apa aku sudah dewasa kalau seperti ini?" tanya Gavin.
"Apa Gavin ingin melakukan hal yang lebih dewasa?"
"Apa itu?" tanya Gavin.
"Ber cin ta!" bisik Guin.
**
Selama Gavin mengulur waktu supaya Guin tidak mengganggu Eve, Ralio mencari dan mencari. Dari mulai apartement sampai tempat Eve kuliah, tempat biasa Eve nongkrong, bahkan saat ini, Ralio sedang berada di depan rumah besar, mewah dan sangat terawat.
Ralio menjadi gugup tapi dia harus menemukan Eve sebelum hubungan mereka semakin retak.
"Maaf, Tuan! Anda sudah berdiri satu jam menatap ke dalam rumah. Apa Anda sedang mencari sesuatu?" tanya security.
"Bukankah saya baru berdiri selama 10 menit?" sahut Ralio.
'Aku menghabiskan waktu selama itu dengn sia-sia?' batin Ralio.
Ralio tetap berdiri tegap tanpa kemajuan. Dia merasa sungkan atau lebih tepatnya segan untuk bertanya tentang Eve.
"Tuan, kalau Anda sedang ingin bertemu pemilik rumah ini, mereka sedang tidak ada di rumah."
"Mereka pergi ke mana?" tanya Ralio cepat.
"Mereka sedang berlibur karena Nona muda kembali," jelas security.
"Liburan ke mana?"
"Mereka selalu merahasiakannya. Tidak akan ada yang mengetahui ke mana mereka berlibur."
"Terimakasih!"
Ralio langsung berbalik. Dia masuk ke dalam mobilnya, mengambil ponsel lalu menghubungi nomor Gavin.
Tuttttt....
Berulang kali Ralio menghubungi Gavin tapi Gavin tidak menjawabnya. Jari Ralio sampai lelah menekan nomor Gavin.
"Sialan! Ke mana si berengsek ini?" maki Ralio.
Brummm... Brummm... Brummm...
Kaki Ralio sudah menginjak pedal gas. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ralio harus merasakan menempuh perjalanan jauh, dengan polusi yang tidak Ralio sukai.
Tinnnnnnnnnnnnnn...
Suara klakson mobil bersahut-sahutan. Menemani Ralio yang sendirian. Mobilnya melaju cepat tanpa terjebak oleh macetnya jalanan.
Ralio melihat seseorang yang dia kenal sedang berdiri tidak jauh dari lampu lalu lintas.
CKITTT!
Ralio menghentikan mobilnya. Ternyata, orang yang Ralio kenali adalah seorang wanita, pembisnis muda yang sedang menangis disisi jalan.
"Nona Sahira!" panggil Ralio.
Lampu lalu lintas tepat diwarna merah. Ralio keluar setelah mobilnya berhenti. Dia menghampiri Sahira.
"Tuan Ralio!"
"Anda mau ke mana? Bisa saya antar," tawar Ralio.
"Tidak perlu. Saya..."
"Sudah, ikut saja!"
Ralio tidak menarik tangan Sahira tapi dia menarik tas yang Sahaira tenteng. Ralio masih menjaga hati dan perasaan Eve meski Ralio saat ini sedang kecewa, setelah menghabiskan malam bersama, Eve justru meninggalkannya.
"Tuan, terimakasih!"
Ralio hanya tersenyum canggung. "Tujuan Nona ke mana?" tanya Ralio.
'Dasar gila! Apa yang sedang aku lakukan? Bagaimana kalau tiba-tiba bertemu Eve?' batin Ralio.
Ralio tidak bisa melihat orang yang dia kenal kesulitan. Ralio hanya berniat membantu karena kebetulan, Ralio memakai mobil kantor.
Ralio tersadar kalau dirinya sekarang bukan lagi single seperti beberapa hari yang lalu tapi Ralio sudah memiliki Eve. Sepanjang perjalanan, Ralio memikirkan Eve. Ralio khawatir kalau Eve akan salah paham lagi.
Perasaan Ralio, mungkin sama seperti seorang Suami yang takut kepergok oleh Istrinya sedang jalan dengan selingkuhan.
"Boleh saya meminta bantuan?" tanya Sahira tiba-tiba ditengah kesunyian.
"Tergantung!"
"Saya harus menghadiri perjodohan sekarang."
"Bukankah itu bagus?"
"Saya tidak ingin menikah karena perjodohan," jelas Sahira.
"Itu sebabnya, Nona menangis?"
Sahira diam. Dia kembali menatap fokus ke depan. Ralio merasa iba dengan Sahira.
"Anda ingin meminta bantuan saya? Apa yang bisa saya bantu?" tanya Ralio.
"Mungkin, Anda bisa menemani saya sebagai kekasih. Sebagai balasannya, saya akan melakukan investasi yang lebih dari kemarin," ujar Sahira.
"Hanya satu kali pertemuan? Hanya sekali ini?" tanya Ralio.
"Iya! Saya tidak berharap akan ada pertemuan selanjutnya."
***
"Eve, Putri Ayah! Kenapa bersedih hati?" tanya Tuan Hafsyah.
"Ayah, aku ingin menikah," rengek Eve.
"Pu--putri Ayah ingin menikah?" pekik Tuan Hafsyah.
"Iya." jawab Eve singkat.
"Eve ingin pria yang seperti apa? Tampan? Kaya? Emmmm atau Eve sudah memiliki kekasih seseorang yang memiliki kedudukan tinggi?"
"Eve bahkan sudah ditolak," tangis Eve.
"Cup... Cup... Cup... Lebih baik kita keluar mencari kesenangan. Bagaimana?"
"He'em!"
Eve pergi bersama Tuan Hafsyah. Sangat jarang sekali Eve tinggal di rumah. Eve selama ini memilih hidup di apartement kecilnya.
"Ayah, kalau aku menyukai pria miskin, bagaimana tanggapan Ayah?"