webnovel

Misi Ke Dunia Lain

"Misi ke dunia lain."

"Denganmu?"

"Tentu saja, kau sendirian. Jadi begini ..."

Ia menunjukkan simbol di tangannya, sudah pasti aku disuruh mencari tanda itu di dunia tersebut. Ini seperti sebuah tantangan bagiku. Ia menjelaskan ia juga akan mencari sebuah simbol di tangannya itu di dunia yang berbeda dengan dunia dalam misiku, sebab beberapa hari lagi kami akan melakukan ekspedisi penyelamatan di salah satu tempat raja iblis, jadi Tirta membutuhkan itu untuk memperkuat diri.

"Aku penasaran, apa simbol itu termasuk kekuatan astral?" tanyaku pada Tirta.

"Bisa dibilang ini campuran."

"Campuran, apa aku bisa menggunakannya?"

"Untuk sekarang mustahil, sebab seperti halnya sebuah alat yang kamu pelajari sebelumnya adalah bagaimana menggunakan senjata pistol, sedangkan simbol ini seperti menggunakan 1 negara."

Sudah jelas perbedaannya sangat jauh. Memang harus pelan-pelan. Segala sesuatu tidak bisa dipelajari secara instan. Dalam hidup aku tahu jika seringkali sesuatu yang dibangun instan berakhir dengan cara instan.

"Oh iya, sebelum itu, aku bisa minta tolong sesuatu?"

"Tentu saja, apapun akan aku bantu."

**

Kau tahu apa yang tidak boleh dilakukan dalam hidup, salah satunya adalah melakukan suatu hal yang bukan keahlianmu. Seperti sekarang, harusnya aku menolaknya saja. Tirta meminta bantuan sesuatu yang bukan keahlianku, tapi aku terlanjur bilang akan bantu.

Hal itu adalah soal potongan rambutnya, ia ingin potongan pendek pada rambutnya. Selama hidupku, aku belum pernah belajar soal memotong rambut, kini situasinya ia duduk sementara aku dibelakangnya sembari membawa sisir dan gunting rambut.

Baru kali ini aku memegang rambut seorang wanita, teksturnya benar-benar lembut. Sialnya, karena hal ini tanganku juga agak gemetar, aku takut jika nanti potongannya jadi buruk.

"Tirta, apa aku boleh berpendapat?"

"Apa itu?"

"Bukankah potongan rambut panjangmu ini sudah nampak bagus?"

Aku mencoba mengeles, barangkali akibat perkataanku, ia akan terpengaruh dan tidak jadi ingin memotong rambutnya, jadi aku dapat keluar dari situasi ini. Sempat kupelajari teknik psikologis ini di internet. Dan aku sering menemukannya di sales-sales ponsel di duniaku, yang aku sering terjebak karenanya, jadi kupikir ini bisa cukup ampuh.

"Apakah menurutmu seperti itu?"

"Ya, dari sisi ketebalan dan panjangnya bagus untuk menjaga kelembaban dan melindungi diri dari paparan sinar matahari. Juga, kamu sudah terlihat cukup anggun dengan rambut panjang."

Langkah selanjutnya, adalah puji dan sebutkan keunggulan-keunggulannya. Sehingga niatnya untuk memotong rambut menjadi lebih lemah dari sebelumnya.

"Kau sepertinya tahu banyak soal rambut ya, kalau begitu aku mempercayakannya padamu, potong pendek agar terlihat muda."

Bukannya membuat niatnya melemah, tapi malah semakin kuat, perkataanku malah membuatnya semakin yakin untuk mempercayakannya padaku. Daripada aku terus-terusan tertekan seperti ini, lebih baik aku mengaku saja.

"Tirta, sebenarnya aku belum pernah sama sekali memotong rambut."

"Kalau begitu, ini pengalaman yang bagus untukmu. Jangan khawatir, aku akan membimbingmu."

Tak kusangka tanggapanya bakal berbeda, kalau sudah begini aku tak dapat menolaknya, perlahan aku memulai momotong rambutnya sedikit demi sedikit. Seperti yang ia katakan, ia memberi arahan padaku, aku mengikuti setiap perintahnya secara hati-hati.

"Sudah lama sekali, tidak ada yang memotong rambutku," ucapnya dengan nada lirih.

"Memang siapa yang biasanya memotong rambutmu?"

"Dulu pelayanku, terkadang aku sendiri."

Entah kenapa ketika ia bercerita tentang masa lalunya, terasa menyedihkan. Itu karena dulu kehidupannya dikelilingi oleh banyak orang yang ramah kepadanya, mengharapkan sesuatu padanya. Namun sekarang semua itu tak ada.

Tak berapa lama kemudian, akhirnya sesi pemotongan rambut selesai, hasilnya lumayan. Dan kupikir ia nampak muda, ketika aku memotong rambutnya. Kurasa aku akan menarik kata-kataku sebelumnya soal melakukan sesuatu yang bukan keahlian, tergantung juga situasinya.

"Nah bisa kan kau memotong rambut, bagaimana?" Ia berdiri sembari sedikit mengibaskan rambutnya, helaian rambut yang terpotong sedikit berterbangan sehingga aku menjauh sedikit.

"Lumayan."

"Apa kamu mau aku memotong rambutmu sekalian?"

"Tidak perlu, kurasa rambutku masih cukup baik."

"Oke, aku akan mandi dulu. Mau mandi bersama?"

"Kau becanda?"

"Benar ... Haha."

Ia kemudian beranjak pergi, memotong rambut kurasa tidak sesulit yang aku kira, selama mendapat arahan dari ahlinya. Melihat Tirta ia seperti bisa melakukan segalanya, aku harus mengembalikan alat-alat ini dulu, setelahnya aku juga akan mandi karena waktu sudah akan menunjukkan malam hari.

**

Seusai aku membersihkan diri, kami bertemu lagi, kali ini di aula kerajaan.

"Bagaimana, cantik bukan aku?" Ia memperlihatkan gaunnya berwarna biru tua dengan renda-renda dan hiasan bunga di kepalanya. Aku memang belum pernah melihatnya memakai ini, memang nampak menawan sangat cocok untuk seorang bangsawan sepertinya. Entah kenapa, aku jadi berpikir ia secara tak sengaja terlihat terus-terusan menggodaku dengan parasnya yang cantik itu. Yang sebenarnya aku pikir ia memang hanya cukup ingin diperhatikan karena kehidupannya selama ini sendirian. Jadi kupikir dengan kehadiranku, ia cukup senang.

"Iya, kurasa begitu."

"Ekspresimu terlihat datar sekali."

"Lalu aku harus bagaimana?"

Sekalipun itu menawan bagiku, aku tidak mungkin seperti halnya seorang penonton ekstrimis yang melihat idolanya, lalu berteriak-teriak tidak jelas. Cukup bilang bahwa itu memang bagus, karena aku bukan orang yang suka berekspresi berlebihan, kecuali kalau dalam keadaan panik, aku memang kadang masih berlebihan karena belum bisa mengatur mental dengan baik.

"Ehem, lupakan saja, sekarang kita akan berangkat."

Ia mengatur beberapa barang bawaaan, seperti pedang yang disarungkan di pinggangnya, topi lalu tas berkemah kurasa. Dan beberapa peralatan lain yang ia taruh di saku kecil antara pahanya dan lengan. Lalu ia memakai sarung tangan.

"Kenapa kau diam saja sembari memperhatikanku?" ucapnya.

"Ya, aku menunggu perintahmu?"

"Kau hanya membawa senjata dan peralatan tempur saja, bagaimana dengan bekalmu?"

"Aku sudah membawanya di dalam tas."

Ia ke arahku yang sedang duduk kemudian memeriksa barang bawaanku, secara tak sengaja aku melihatnya mengernyitkan dahinya, aku sudah membawa bekal makanan, peralatan sehari-hari, dan obat-obatan juga. Tapi kelihatannya ia mungkin sedikit kurang suka dengan barang bawaanku yang kesannya terlalu sedikit untuk dibawa.

"Apa kau tak membawa peralatan dari laboratorium? Disana ada banyak yang berguna. Jangan terlalu sungkan. Ambil saja yang kamu inginkan."

Memang banyak peralatan laboratorium yang berguna, tapi aku masih banyak yang belum mengerti, aku memang sedikit tidak enak juga jika mengambil peralatan-peralatan itu tanpa seizinnya.

"Baiklah, kurasa aku akan memilahnya lagi."

"Tidak perlu aku sudah mengantisipasi hal ini."

Ia menepukkan tangannya lalu tiba-tiba muncul portal dari atas barang-barang itu mulai berjatuhan dan beberapa menimpaku.

"Hei, bilang kalau mau memunculkan suatu benda lagi," Sembari aku mulai mengemasinya.

"Baik, kita berangkat!"

"Tunggu-tunggu hei-"

"Semoga sukses!"

Sebuah portal perlahan menelan tempat sekitar, Tirta melemparkan sebuah buku padaku. Padahal masih banyak hal yang perlu kutanyakan, tapi belum sempat aku menanyakannya aku ikut terhisap oleh portal yang dibuat Tirta.

Brukk!!

Aku terjatuh di tempat yang asing, sebuah bukit yang penuh dengan rerumputan. Dan dari jauh melihat sebuah kota yang tengahnya terdapat tower menjulang tinggi. Aku segera mengambil barang-barang yang terjatuh dan mengemasinya. Tirta itu kadang-kadang suka seenaknya saja.

*****