webnovel

Bab 13

Langkah mereka berhenti di depan taman pinggir pantai yang dikunjungi banyak orang. Apalagi akhir pekan seperti ini, banyak sekali pasangan keluarga bergerombol di sana. Menunggu anak-anak mereka berebut membeli cilok dan siomay.

"Mega, Cakra? Ngapain kalian di sini?" Keduanya terkejut, melihat segerombolan orang menatap aneh kepadanya.

"Ibuk?" Mereka bergumam. Keduanya melihat dengan mata membulat, ketika bu moko muncul dari celah-celah gerombolan orang itu. Menatap mereka dengan tatapan tajam menyala, seperti tak suka sama sekali Mega dan Cakra berada di tempat itu.

"Itu anakmu?" Salah satu dari teman-teman Bu Moko itu bertanya. Yang lain memandang remeh pada sosok sederhana di sebelah Mega.

"Iya," Bu Moko menjawab singkat.

"Itu suaminya, kayaknya orang miskin, deh?" Celetuk yang lain. Diiringi dengan anggukan kepala dari yang lain. Ucapan lirih mereka sama, "iya, tuh," Katanya.

"Iya, sih. Tapi kami sudah mewanti-wanti, kalo dalam lima tahun hidupnya nggak berubah. Mereka harus bercerai!" Jawab Bu Moko tegas, membuat teman-temannya itu saling mengangguk paham. Ada juga yang hanya menyeringai sinis.

Mereka semua tak peduli dengan dengan perubahan wajah Mega yang mendadak memerah. Mungkin gadis itu kaget dengan ucapan ibunya barusan.

Cakra yang memahami perubahan wajah istrinya itu, segera mengeratkan jemari agar pikiran Mega lebih tenang.

"Emang apa sih kerjanya?"

"Dia itu cuma guru yang gajinya di bawah lima ratus ribu. Kalian bisa bayangkan nggak sih, buat apa uang sebesar itu?" Bu Moko berdecak sambil menggelengkan kepala, yang lain pun mengikuti.

"Kalo aku, ya. Punya mantu kayak gitu, tuh dijadikan pembantu aja, dari pada nggak ada kerjaan, kan?" Seloroh salah satu wanita berwajah menor. Tak lama, suara gelak tawa memenuhi serombongan Ibu-ibu necis itu. Saking kencangnya suara tawa mereka, membuat orang-orang di sekitar tempat itu memandang penuh tanya.

"Iya, tuh. Buat apa menantu gak ada uang gitu tetap di pelihara?" Sahut yang lain.

"Sudah, sudah. Nggak usah ngurus orang begituan. Ayo pergi aja," Bu Moko melenggang mendahului yang lain. Pergi dari hadapan Mega dan Cakra yang masih diam, tertegun.

Cakra merasakan jemari istrinya itu mencengkeram kuat tangannya. Ia menoleh, sosok di sebelah itu menunduk dalam. Mungkin terpukul dengan celotehan orang-orang tadi.

"Mega, kamu nggak apa-apa, kan?" Cakra bertanya lirih. Gadis itu hanya menggeleng lemah.

"Apa yang dikatakan Ibuk tadi benar? Nanti kita akan bercerai? Apa pernikahan ini cuma pura-pura?" Tanya Mega. Pandangan matanya menatap sendu ke arah suaminya.

Sebelum menjawab, Cakra membimbing istrinya untuk duduk di atas pembatas jalan. Digenggamnya erat tangan Mega yang terasa dingin.

"Mega, sebelumnya aku mau tanya. Apa kamu senang dengan pernikahan ini? Kita ini hanya dijodohkan tanpa saling kenal sebelumnya. Dan saat ini, Bapakmu memberikan ancaman itu kepadaku. Lalu, kamu gimana? Kalo kamu senang dengan pernikahan kita ini, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankannya,"

Mega mengerjap beberapa kali, mendengar pertanyaan terpanjang yang keluar dari mulut sang suami selama kebersamaan mereka yang belum ada seminggu ini. Beberapa saat ia menghela nafas sambil memainkan jemari, sepertinya sedang berfikir keras.

"Sebenarnya, hingga saat ini aku belum bisa sepenuhnya percaya sama laki-laki," Mega menjawab sambil menunduk.

"Emang kenapa, sih?" Sebelum menjawab, mega terlihat menghela nafas berat. Ada rasa ragu hendak mengatakannya, membuat Cakra semakin penasaran.

"Aku, aku pernah dilecehkan oleh seorang laki-laki," Jawabnya. Tentu saja membuat Cakra membelalak tak percaya.

"Dilecehkan?" Ia bergumam. Gadis itu mengangguk, tak lama tangan kanannya menyeka sudut mata. Mungkin mulai berair.

"Aku belum bisa percaya. Sekaligus nggak percaya diri, untuk dapat cinta dari seorang laki-laki. Setelah kondisiku seperti ini," Mega berucap. Kalimat terpanjang yang keluar dari mulutnya setelah kejadian itu.

Sekali lagi, mega menyeka sudut mata. Bahunya bergetar lirih, semakin lama semakin terguncang. Apalagi melihat Cakra yang hingga detik ini masih terdiam, kedua tangannya mengepal kuat. Membuat istrinya mungkin saja merasa ketakutan.

"Mega, kamu nggak perlu takut. Aku akan mencintaimu. Dan aku akan mempertahankan pernikahan kita ini. Kamu mau, kan?" Tanya Cakra. Sebelah tangannya memegangi kedua tangan Mega yang sejak tadi saling berpegangan erat.

Tak percaya dengan kalimat yang baru saja didengar, Mega mendongak. Menatap penuh tanya pada sang suami. Cakra mengulum senyum teduh.

"Kamu percaya, kan?" Tanyanya. Mega tak menjawab, membuat Cakra teringat akan ucapannya tadi.

"Kamu boleh mengumpulkan kepercayaan itu sedikit demi sedikit. Dan aku nggak akan memaksamu, kok," Ucap Cakra. Lirikan matanya sempat menangkap ada sebuah senyum kecil, terukir dari sudut bibir istrinya itu.

"Oke. Kita ke sana, yuk?" Tak ingin berlama-lama membahas hal itu, ia menuntun tangan istrinya untuk kembali berjalan. Tak lama, mereka beristirahat di hamparan pasir lembut pinggir pantai.

Menatap ke arah depan, pada arah angin yang membawa gulungan ombak terhempas ke daratan. Semilir angin itu juga menerbangkan ujung rambut Mega yang panjang tergerai.

"Mega, mau es degan?" Cakra menunjuk pada gerobak penjual es degan tak jauh dari tempat mereka duduk. Ia bangkit ketika istrinya mengangguk, berjalan menuju penjual es degan itu.

Setelah mengantri beberapa saat, Cakra kembali dengan membawa dua bungkus es degan.

"Nih. Seger, lho," tawarnya.

"Mau pulang sekarang apa nanti?" Cakra bertanya lagi.

"Sekarang aja."

"Oke, yuk."

Keduanya kembali berjalan pulang, matahari sudah tinggi ketika mereka melangkah di atas aspal panas. Orang-orang yang sejak jadi bergerombol di pinggir jalan menuju Pantai itu pun telah tiada. Sepertinya mereka semua sudah pulang sejak tadi.

Meski masih pagi, surya yang mulai menyengat membuat wajah Mega yang putih itu terlihat memerah. Sesekali menyelipkan anak rambut berhamburan ke depan wajah karena tertiup angin.

Mereka akhirnya tiba di rumah. Mega langsung menuju ke kamarnya, dengan diiringi Cakra dari belakang.

"Kamu mau istirahat di sini?" Tanya Cakra ketika mereka sudah berada di dalam kamarnya. Gadis itu hanya mengangguk saja, tanpa menjawab.

"Nggak ke dapur? Atau nunggu yang lain di ruang TV?"

"Aku di sini saja," Mega menjawab cepat. Cakra segera memaklumi, mungkin setelah kejadian yang membuatnya seperti itu, ia hanya menghabiskan hari-harinya di dalam kamar.

"Ya udah, kalo gitu aku keluar duluan, ya," Ia keluar kamar setelah mendapatkan persetujuan dari sang istri.

Karena hari Minggu, sarapan pagi keluarga besar itu jadi tertunda. Jam setengah sepuluh mereka baru duduk bersama di meja makan. Entah mengapa, pagi ini Mega tak mau lagi makan bersama yang lain di ruang makan. Padahal sebelumya ia sudah mau duduk ditempat itu.

Meski diliputi rasa tak nyaman, Cakra tetap melanjutkan makan bersama anggota keluarga yang lain.

"Di mana Mega?" Pak Moko bertanya, ketika yang lain sibuk dengan makanan di piringnya masing-masing.

"Di kamar, Pak," Cakra menjawab. Dan tak ada lagi sahutan dari pak moko maupun istrinya. Aneh sekali, mega benar-benar di biarkan begitu saja oleh orangtuanya. Ia membatin.

Proses makan pun usai, seperti biasa Cakra membersihkan meja makan dan diboyong semuanya ke dapur. Hanya saja pagi ini ada mentari yang sudah lebih dulu sibuk di sana. Awalnya ia ragu, hendak melanjutkan pekerjaan atau tidak. Namun, karena tak ingin beradu suara dengan Ibu mertuanya lagi. Akhirnya ia maju.

"Ngapain kamu?" Tanya Mentari sinis, ketika Cakra meletakkan setumpuk piring kotor di sebelahnya.

"Mau bersih-bersih," Jawabnya singkat. Tangannya lalu sibuk dengan spons berbusa yang di sapukan pada permukaan piring. Sementara Kakak iparnya itu pun melakukan hal yang sama.

Ketika piring kotor tinggal satu, tanpa sengaja tangan mereka menuju pada piring yang sama. Membuatnya saling menatap heran.

"Kalian sedang apa?"

***