"Sial, sial, siaaal!!!" Gadis itu mengumpat sepanjang jalan. Kalau saja tadi pagi ia tidak terlalu banyak berpikir dan merengek seperti bayi, mungkin ia tidak akan sekacau ini. "Brengsek!" mulutnya kembali mengumpat saat melihat rambutnya berantakan efek naik ojek tadi.
Iris cokelat gadis itu menatap sekitar dan di pelataran parkir ia melihat sebuah sedotan bekas yang kemudian dipungutnya setengah hati untuk dijadikan ikat rambut.
"Pagi, Anggi." sapa Inggrid saat ia sampai di kubikelnya. "Hellen belum datang?" tanyanya karena kubikel di depannya masih tak berpenghuni. "Dia akan mendapat ceramah terbaik sepanjang masa."
Merasa tak ada tanggapan dari sang lawan bicaranya, Inggrid mengangkat kepala yang semula sibuk memeriksa laci meja hanya untuk memastikan bahwa Anggi masih ada di sana. "Ada apa dengan wajah syokmu?" "
"Demi Tuhan, ada apa dengan penampilanmu hari ini Inggrid?" Anggi berujar setengah memekik.
Inggrid mengamati dirinya kemudian beralih mengamati Anggi. Baju yang Anggi kenakan selalu berbeda setiap harinya dan itu selalu bagus. Sepatunya juga terlihat selalu mengkilap dengan hak setinggi 1 centi, dan rambut lurus sebahunya selalu rapi dengan penjepit rambut imut yang bertengger di sana.
Sedangkan Inggrid, baju yang ia kenakan hanya kaos yang bertuliskan "I'm single and happy" yang dibalut dengan kemeja kotak-kotak merah kebesaran milik Ando. Sedangkan bagian bawahnya, Inggrid memakai jins yang sudah sering ia cuci-pakai alias sudah kusam dan robek dibeberapa tempat. Sepatu, Inggrid hanya memiliki satu, itupun sering ia gunakan untuk lari pagi di hari minggu juga. Rambutnya tidak mengkilap bahkan ia mengikatnya dengan sedotan bekas.
"Apa ada masalah?" tanya Inggrid, ia merasa tersinggung atas tatapan sahabatnya itu.
Anggi melotot tak percaya, "Apa kau sudah kehilangan akal? Lihat dirimu, Inggrid. Bagaimana Mika akan tertarik kalau kau masih berpenampilan urakan seperti itu?"
"Hah? Kenapa jadi membahas Mika?" keluh Inggrid seraya mengerutkan keningnya.
"Setelah pulang dari kantor, aku akan menemanimu berbelanja. Inggrid, penampilanmu harus di-upgrade."
"Kau pikir aku ini komputer pentium satu?!" sungut Inggrid tak terima.
Anggi tertawa, "Ya semacam itu. Virus Putra harus segera dibersihkan dari sistem otakmu agar hidupmu lebih ringan."
Cih, yang benar saja!
"Pagi Pak." sapa beberapa pegawai saat sang ketua redaktur ke luar dari dalam lift.
Inggrid merasakan perutnya mulas seketika saat melihat wajah Mika.
"Kau tidak mau menyapanya juga?" bisik Anggi yang dibalas tatapan sengit dari Inggrid.
"Pada orang sepertinya? Tidak, terimakasih. Lagipula dia sendiri yang memintaku untuk tidak bicara padanya agar dia tidak terkena masalah."
"Kau serius?"
"Hm..." gumam Inggrid seraya memberikan deathglare saat ia dan sang ketua redaktur bertemu pandang. "Asal kau tahu saja, dia bukanlah orang baik. Lihat bagaimana caranya berjalan, bagaimana caranya berbicara pada orang lain. Dia terlalu mendewakan dirinya sendiri!"
"Rasa bencimu itu tidak beralasan, Inggrid."
Apa-apan Anggi itu. Kenapa dia jadi membela Mika?
"Justru karena aku memiliki banyak alasan, maka dari itu aku sangat membencinya." Sungut Inggrid. "Lagipula, dia berteman dengan Putra. Kau tahu apa artinya? Mika pasti tidak jauh beda dengan si brengsek itu."
Gosip di pagi hari memang sangat menarik, untuk itu Anggi lekas berlari ke kubikel Inggrid, menarik kursi di kubikel sebelah untuk ia duduki.
"Bagaimana kau tahu kalau mereka berteman?"
Inggrid menghela napas. Ia tidak akan bisa lari dari situasi ini. "Semalam aku melihat mereka sedang berbincang di bar. Dan kau tahu apa buruknya? Mereka membicarakanku, membicarakan kisah cinta tololku."
"Kau bohong. Semalam Mika tidak ikut rombongan kita."
"Tidak ikut rombongan bukan berarti dia tidak bisa pergi sendiri. Lagipula semalam kau mabuk parah, Anggi! Bahkan dengan tidak tahu malunya kau mencium Boby di depan kerumunan orang."
Brak!
Inggrid berjengit kaget karena ulah Anggi barusan. "Jadi kau yang menelpon Boby untuk menjemputku?"
"Memangnya siapa lagi?"
Anggi mengerucutkan bibirnyai. "Kenapa kau menelponnya? Seharusnya kau membawaku pulang ke rumahmu saja!"
Inggrid menyeringai. Sepertinya bukan hanya dirinya saja yang mendapat masalah pasca pesta semalam. "Memang apa yang terjadi?"
"Tadi pagi aku bangun di dalam bathtub dengan setangkai bunga mawar diatas tubuhku." ucapnya dengan bibir mengerucut dan tangan terkepal.
Anggi adalah jalang yang sangat beruntung karena mendapatkan sosok seperti Boby. Pria itu terlalu sabar menghadapi sikap manja dan semena-mena Anggi, dia juga sosok pria pekerja keras, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dan juga tahan banting. Maksudnya, Anggi pernah beberapa kali menjebak Boby tapi pria itu sama sekali tidak tergoda dengan wanita-wanita yang sengaja Anggi kirim untuk menggodanya. Dan Inggrid memberikan 2 jempolnya saat mendengar terobosan baru itu. Anggi memang perlu mendapat tendangan di bokongnya.
"Demi Tuhan, aku akan membalas perlakuan kejam Boby suatu hari nanti!"
"Anggi, kau sangat mabuk semalam. Jadi sudah sewajarnya Boby marah padamu."
"Tapi-"
Inggrid menyumpal mulut Anggi dengan gorengan pisang yang dibuatnya tadi pagi sebelum berangkat ke kantor. "Dengar, dia marah karena dia peduli padamu. Kalau dia diam saja ketika mendapati tunangannya mabuk dan menari erotis dengan pria lain, itu artinya kau tidak berarti apa-apa dalam hidupnya."
Anggi merasa terharu, matanya sudah mulai berkaca-kaca saat ini. "Inggrid, kemarilah dan biarkan aku memelukmu."
Hell, Nooo!!!
Inggrid langsung melarikan diri. Orang lain bisa salah paham jika melihat mereka berpelukan. Apalagi beberapa waktu lalu sempat ada gosip miring tentang dirinya yang menyukai sesama jenis hanya karena mereka tidak pernah melihatnya berkencan ataupun dekat dengan seorang pria.
"Inggrid," seseorang baru saja memanggilnya, "seseorang menitipkan ini untukmu."
Hah?
"Terimakasih." ucapnya setelah menerima minuman kaleng elektrolit itu. Ada note kecil yang menempel di sisi kaleng tersebut. "Minumlah, aku takut kepalamu masih sama miringnya dengan semalam." Inggrid mengernyitkan keningnya saat membaca note bodoh itu. Dari gaya bahasa yang sarkas seperti itu sudah bisa Inggrid tebak siapa pengirimnya.