webnovel

Rumah Putra

2002

“Ssh.. sssh,” terdengar suara pelan dari arah pintu belakang rumah.

Malam itu, aku baru saja selesai makan malam dan berniat untuk menyimpan piring kotorku di dapur. Saat menyimpannya, tanpa sengaja aku mendengar suara-suara asing dari balik pintu belakang rumahku. Mungkin, suara itu berasal dari tempat jemuran di luar.

“Gug!!!” terdengar lagi suara dari luar dan tiba-tiba saja kakakku datang.

“Ih Nay, tadi suara anjing ya?” ucap kakak yang begitu kaget.

“Iya kayaknya, tadi juga aku dengar kayak ada suara mengendus-ngendus gitu di pintu belakang,” jawabku pada kakak.

“Ih awas! Berarti di luar ada anjing lagi berkeliaran,” kakakku mengingatkan.

Tak lama kemudian, setelah kami menyimpan piring kotor di tempat pencucian piring, kami pun segera meninggalkan dapur. Aku yang saat itu masih berusia sekitar 5 tahun rasanya takut sekali ketika mendengar kalau di luar ada anjing. Maklum, waktu kecil binatang anjing itu rasanya begitu mengerikan dan menyeramkan bagi anak-anak sepertiku.

“Bu, bu, di luar ada anjing lho!” lapor kakak pada ayah dan ibu yang sedang menonton televisi.

“Yaudah biarin aja, mungkin di asrama sini ada yang melihara anjing,” jawab ibu dengan santainya.

“Tapi siapa ya?” heran kakak.

“Ya gatau. Ya udah, biarin aja,” ujar ibu.

Akhirnya sekitar pukul 9 malam aku dan kakakku pergi ke kamar untuk bersiap-siap tidur dan melupakan perihal suara anjing tadi. Aku dan kakakku ini tidur bersama di atas kasur berukuran nomor 3. Cukup sempit untuk dipakai tidur berdua, tapi ya memang beginilah kondisi keluargaku.

“Geser ih!” ketus kakak.

“Ih ngga, geseeerrr sana!” jawabku ketus juga.

Sebenarnya kasur kami itu sudah dibagi menjadi dua wilayah dengan memanfaatkan guling sebagai pembatas di tengah-tengah kasurnya. Tapi namanya juga anak-anak, antara aku dan kakak masih saja merasa sempit dan akhirnya saling beradu mulut untuk bergeser sedikit demi kenyamanan salah satu pihak.

Aku yang tidur di pojok dan berdempetan dengan tembok, rasanya tidak terima jika harus tidur sampai mentok pada tembok. Kakakku yang tidur di ujung kasur juga rasanya tidak terima jika sampai tidur seolah dipinggir jurang. Malam itu, antara aku dan kakak belum ada yang mau mengalah untuk bergeser sedikit saja. Perang pun akhirnya dimulai dengan saling menendang kaki satu sama lain. Kakakku ini perempuan, dan usia kami hanya berbeda 4 tahun.

“Ih, Awas!” ucapku sebal.

“Kamu yang geser!” jawab kakak yang semakin sebal juga.

Mataku sudah hampir berkaca-kaca, sedang kakak kelihatannya sudah hilang kesabaran. Akhirnya, kakak pun memilih untuk pergi dari kamar dan tidur di ruang tamu saja. Ia bawa selimut dan bantal miliknya keluar dari kamar dan meninggalkanku untuk tidur sendirian.

Krik... krik.... Kamarku kini seketika menjadi sunyi, senyap, dan hampa ketika kakak meninggalkan kamar dan membiarkan aku untuk tidur sendiri. Sudah kucoba untuk terpejam, tapi rasanya tidur sendirian begini justru terasa seperti ada yang sedang mengawasiku.

Kujelajahi langit-langit kamarku dengan perasaan was-was, berharap tidak ada sesuatu yang kulihat. Belum ada 15 menit, aku pun memilih beranjak dari kamar dan mencoba untuk mengintip kakak yang sedang tidur sendirian di ruang tamu.

“Kok kakak gak takut ya tidur sendirian di ruang tamu?”

Ingin membangunkannya, tapi takut nanti kakak tambah kesal. Ingin mengajaknya tidur di kamar lagi, tapi rasanya gengsi sekali karna aku sadar telah membuatnya kesal. Ah, ya sudahlah, tidak apa-apa tidur sendirian juga. Toh, cuma malam ini saja. Besok-besok aku tidak akan melawan kakak lagi kalau disuruh geser sedikit.

“Huuuu... huuuu... huuuu.....” terdengar suara isak tangis dari kamarku.

Kulihat ke arah kakak, ia sudah cukup terlelap dalam tidur. Tidak ada tanda-tanda ia sedang bercanda. Tanpa berpikir macam-macam, aku pun langsung bergegas tidur ke dalam kamar karena malam sudah semakin larut dan keadaan rumah sudah semakin sepi.

Huuuu... huuuu.... huuuu.... Masih terdengar suara isak tangis, mungkin suaranya seperti suara anak kecil yang seumuran denganku. Otakku mulai berpikiran tak tentu arah, menafsirkan suara apa dan dari mana sumber suara itu berasal. Sambil mencengkerami selimut dengan perasaan was-was, aku mencoba untuk tenang. Tapi entah kenapa suara itu justru semakin terdengar jelas olehku.

“Oh, mungkin tetangga sebelah!” batinku memaksa untuk meyakini itu.

“Suara tetangga!” batinku meyakinkan diriku sendiri.

Jam sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB, tapi suara isak tangis itu tidak juga hilang dari pendengaranku. Samar-samar aku justru mendengarnya dari arah kolong kasurku sendiri. Merasa ada yang janggal, aku mencoba untuk tetap berpikir bahwa itu hanyalah suara yang bersumber dari tetangga sebelah. Walaupun pada kenyataannya, tetangga di sebelah kiri rumahku itu tidak memiliki anak kecil, dan tetangga di sebelah kanan rumahku juga sedang tidak ditempati alias kosong.

Pada hari itu, semalaman suntuk aku berjuang untuk bisa tertidur. Segala doa kubacakan agar aku ketiduran dan segera bertemu pagi. Tapi apa boleh buat, malam itu rasanya justru semakin panjang. Satu jam berlalu, dua jam berlalu, tiga jam berlalu, hingga menjelang subuh aku baru bisa benar-benar tertidur pulas.

***

Beberapa hari setelah kejadian berlalu, akhirnya tetanggaku kembali menempati rumahnya yang sudah sekian lama kosong.

“Bu, aku mau main sama Putra ya?” ijinku pada ibu setelah selesai mandi.

“Ya, jangan nakal ya!” pesan ibu.

Pagi itu pun aku segera mengunjungi rumah temanku. Putra, dia adalah tetangga sekaligus teman masa kecilku yang usianya sepantaran denganku. Beberapa hari terakhir ini ia dan keluarganya memang sedang ada acara, jadi terpaksa rumahnya dikosongkan. Putra ini memiliki kulit yang putih, rambut ikal, bola mata yang coklat, dan tinggi yang sepantaran denganku. Seperti biasa, aku dan Putra biasanya hanya akan bermain mobil-mobilan selama berjam-jam.

“Oh iya, seingatku, beberapa waktu lalu aku mendengar ada suara anjing dari rumahnya Putra. Apa benar Putra memelihara anjing di rumahnya?

“Tapi kenapa aku tidak melihat ataupun mencium tanda-tanda kehidupan anjing di dalam rumah ini?” sesekali aku melirik kesana-kemari karena penasaran apakah di rumah Putra ini ada anjingnya atau tidak. Kalau ada, seketika itu juga aku akan langsung berpamitan pulang karena aku takut dengan hewan tersebut.

Ah, tapi rasanya keluarga Putra ini memang tidak memelihara anjing di dalam rumahnya. Hmm... mungkin tebakan aku dan kakak salah.

“Ih, kemarin malem ibu denger suara anjing dari dapur rumahnya Putra, kaget ibu,” cerita ibu saat aku sudah pulang bermain dari rumah Putra.

“Tapi Putra gak melihara anjing ah, bu,” jawabku pada ibu.

“Nggak ada? Orang semalem ibu denger suaranya dari rumah Putra,” ucap ibu lagi.

“Aku juga suka denger suara-suara aneh dari rumah Putra pas rumahnya kosong,” cerita kakak.

“Tadi Nayshi main di rumah Putra tapi gak ada anjing, rumahnya juga bersih,” jelasku.

Seketika itu kakak dan ibu cukup merasa heran dengan apa yang mereka dengar akhir-akhir ini dari rumahnya Putra yang sering kosong. Kalau itu bukan suara anjing peliharaan tetangga sebelah, lantas itu suara apa karena jelas sekali suaranya seperti gonggongan anjing yang berada di dapur rumah tetanggaku ini.

***

Singkat cerita, di bulan berikutnya, keluarga Putra berpamitan untuk pindah rumah. Kalau tidak salah menyimak, katanya Putra sudah memiliki rumah pribadi, jadi ia tidak lagi tinggal di rumah dinas ini.

Hmm... berarti rumah sebelahku ini akan benar-benar kosong, pikirku. Tapi ya sudahlah, lagi pula rumah kosong di sebuah barak asrama ini tidak begitu mengerikan seperti rumah kosong yang ada di komplek-komplek perumahan besar.

Tapi tiba-tiba saja, “Krek... ssshh... hihihihi....”

Samar-samar terdengar suara-suara asing dari rumah Putra saat mereka sudah benar-benar melangkah pergi meninggalkan rumahnya.

“Ih, suara apa itu? Jangan-jangan...” batinku tersentak.

Dan hari-hari berikutnya, suara-suara janggal yang kian ramai itu semakin terdengar di telingaku. Sumber suaranya masih dari arah yang sama, yaitu rumah kosong sebelah rumahku, bekas rumah Putra.

“Ahahaha... Ahahaha... sekarang giliran aku ya!” Girangnya.

“Ah, ayolah, ini cuma halusinasiku saja! Mereka itu tidak ada!” pikirku meyakinkan diri sendiri.

Hari demi hari telah berlalu, satu hal yang masih membuatku janggal adalah suara anjing yang masih bisa aku dengar dari dapur rumah kosong ini. Kalau memang itu anjing peliharaan Putra, kenapa sampai sekarang suara anjingnya masih ada.

***

Sore hari, sekitar sebelum magrib aku baru saja pulang mengaji. Sambil menggendong tas ranselku yang berisi buku catatan dan iqro, aku berjalan sendirian menuju rumahku tanpa beban. Kebetulan sekali hari ini aku pulangnya lewat pintu belakang rumah, jadi ketika masuk rumah, aku bisa lebih cepat masuk ke kamar mandi untuk cuci tangan dan cuci kaki.

“(tuk tuk tuk) Bu!!!!” teriakku sambil mengetuk pintu dapur yang sudah tertutup.

“(tuk tuk tuk tuk!!!)” aku semakin keras mengetuk pintu karena matahari sudah sangat hampir tenggelam.

“Bu!!! Ibu!!!! (Tuk tuk tuk tuk!!!)” masih tidak ada yang menyahutku juga.

Hingga akhirnya.

Ssssh... ssssh... ssshhh. Terdengar lagi suara desiran angin yang membuat suasana menjadi lebih dingin dan hampa. Perasaanku juga semakin tidak enak, entah kenapa rasanya seperti ada hewan buas yang tengah memperhatikanku. Kulihat sekitarku, tapi tidak ada siapa-siapa. Sebenarnya semua orang sedang apa dan kemana ibu, kenapa pintunya tak juga dibukakan.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu, “Hah, Jangan-jangan....”

Akhirnya, dengan kekuatan super penuh aku mencoba menarik pintu rumahku yang sedaritadi hanya aku ketuk saja. Dan, benar saja.

“Hehe, pintunya gak di kunci ternyata,” batinku menertawakan diri sendiri.

Melihat aku membuka pintu sendiri dan masuk ke dalam rumah, ayah dan ibuku hanya melihatku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin pikirnya, kenapa anaknya yang satu ini rusuh sekali, padahal pintunya sama sekali tidak dikunci karena mereka jelas-jelas tahu kalau aku belum pulang mengaji. Hm, memang akunya saja yang tidak sabaran.

Sesaat setelah aku menutup pintu dan menguncinya, terdengar lagi suara aneh seperti kuku yang sedang mencakar-cakar pintu rumahku. Padahal sudah kuperhatikan sejak tadi, bahwa di luar tidak ada apa-apa, bahkan kucing liar saja sedang tidak ada yang melewat sore ini.

Klik! kuintip sekali lagi area belakang rumahku. Tapi rupanya memang kosong, tak ada apa-apa. Anehnya, suara itu masih saja terdengar jelas di telingaku. Karena aku begitu penasaran dan tidak puas hanya dengan mengintip dari pintu, akhirnya aku kembali membuka pintu rumahku lebar-lebar untuk melihat keadaan sekitar. Dihantui rasa penasaran memang sangat menyebalkan untukku. Rasanya seperti dipermainkan.

“Hah?!” batinku pun keheranan ketika melihat sesuatu yang benar-benar aneh di hadapanku.

Aku terdiam cukup lama di ambang pintu rumahku. Mataku kini sedang tertuju pada sesuatu yang sebelumnya belum pernah aku lihat. Tepat di depan pintu ruma tetangga sebelahku yang kosong, aku melihat ada seekor anjing yang sedang terduduk di depan pintunya.

Seperitnya inilah suara-suara janggal yang biasa aku dengar bersama kakak dan ibuku. Firasatku mengatakan kalau ini bukanlah anjing peliharaan seseorang, apalagi anjing peliharaan Putra yang waktu itu kami kira. Pasalnya, anjing ini berbeda dari kebanyakan anjing pada umumnya. Anjing ini berwarna hitam, kepala dan badannya memang seperti anjing pada umumnya, tapi keempat kakinya justru seperti tangan manusia yang sedang merangkak.

“A-apa itu?” batinku tersentak dan badanku tiba-tiba saja kaku.

“Hai,” sapanya dengan suara yang menurutku mengerikan.

“A-apa? Kenapa dia bisa bicara?Kenapa dia bisa bahasa manusia?” pikiranku mulai kacau. Selain dihantui rasa takut, aku juga tidak tahu harus berbuat apa.

“Nayshi, ngapain? Cepet tutup pintunya udah magrib!” ucapan Ayah mengagetkan lamunanku.

_______________________________

Siapapun, tolong jelaskan padaku.

Hantu itu sebenarnya seperti apa?

Nayshi Kecil